chlopyvrsie

Di sinilah mereka di tempat butik baju milik Linda, kakak ipar dari Nora. Gafa sudah berpakaian rapih dengan suite jas hitam pilihan Nora dan dicocokkan oleh Linda.

Sudah lebih dari 20 menit lamanya Gafa mendengar suara adu mulut di dalam ruangan fitting, tentu saja orangnya itu adalah Nora dan Linda. Mereka dari tadi masih dengan mengukur seberapa panjang yang diperlukan untuk gaun yang ia kenakan nanti waktu pertunangan.

“Mbak! Kurang banget ini, lebih kecil lagi please! Nanti melorot jadinya di aku,” keluh Nora di dalam sana.

“Kamu makan yang banyak dong Nora, jangan jadi stress gini sebelum tunangan.”

“Ih nggak!! Aku makan banyak kok!”

“Bohong.” Nora pun terkekeh.

Seperti itulah kira-kira percakapan yang Gafa dengar dari sudut ruangan ini dengan handphone di genggamannya sebagai tanda pura-pura tidak dengar percakapan barusan.

Linda membuka tirai penutup fitting baju yang menunjukan Nora dengan gaun indahnya. Gafa yang sedang pura-pura bermain handphone sempat tertegun dengan gadis yang berada di depannya, terlihat sangat jauh lebih cantik dari biasanya.

“Gimana menurut kamu, Gaf? Bagus nggak?” tanya Linda.

Gafa yang tadinya menatap netra Nora sekilas, sekarang mengalihkan pandangannya ke arah lain gugup. “Bagus kok, cocok juga.” jawabnya singkat.

Linda tersenyum lalu menatap Nora dengan kesan meledek. “Mau yang ini aja?”

“Iya, kata Gafa juga yang ini aja.” Gafa melirik ke arah Nora saat ia menyebutkan namanya.

Gadis yang berumur lebih tua di sampingnya mengangguk paham lalu menyuruh keduanya segera berganti baju untuk dibersihkan sebelum acara.

Nora yang masuk lebih dulu meninggalkan Gafa yang hendak memasuki ruangan fitting sebelahnya untuk berganti pakaian. Namun, dihentikan oleh Linda. “Nanti ajak Nora makan yang banyak ya, Gaf. Kurusan dia sekarang, mungkin pasca stress sebelum tunangan.”

“Iya Kak, habis dari sini mungkin cari makan enak dulu,” ucap Gafa seraya melirik gorden yang menutupi ruangan ganti Nora.

“Okey! Lancar buat kalian berdua!!” seru Linda mengajak tos tangan.

Gafa pun menanggapinya dengan tos an tangan. Sedangkan di ruang ganti ada gadis yang sedang menahan rasa sakit serta mual yang bersamaaan.

Seluruh keluarga sudah berkumpul di meja makan milik keluarga Matwous. Keluarga Halingga yang datang hanya Ayah dan Mama dari Gafa, serta Geral yang sudah terlelap di kamar Nora. Jangan tanya kan kenapa Aleyyah tidak ikut ke sini. Tujuan anak gadis muda itu ikut ke Jakarta adalah bertemu dengan teman-teman lamanya.

Suasana malam ini begitu mewah dan berbahagia tentunya bagi orang tua dari Gafa maupun Nora. Tapi tidak untuk anak dari mereka.

Gafa dan Nora duduk berhadapan memakan hidangan sajian yang sudah di masak oleh para ART di rumah ini. Keduanya sama-sama canggung dan sering berkontak mata tanpa mengobrol sama sekali.

Uhukk!

“Ngobrol dong ngobrol,” ledek Jake melirik Gafa dan Nora bergantian terkekeh kecil.

Nora menatap Jake dengan tatapan tajamnya, mengisyaratkannya untuk tidak membuka suara.

“Gimana kalian? Sudah menentukan tanggal yang baik?” ujar Gibran kepada Gafa dan Nora.

Mereka berdua tidak menjawab pertanyaan dari Gibran, mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Gilang tertawa canggung, “Secepatnya mungkin ya, Gib? Hahaha.”

“Secepatnya dong! Hahaha!”

Jake ikut tertawa dan di ikuti juga dengan Hanniel.

Nora yang sudah tidak tahan untuk mendengar ocehan dari orang tua itu pun menaruh sendok berserta garpu dan bangkit dari kursi. “Nora izin cari kebelakang.”

“Oh ya sudah. Temenin sana, Gaf,” suruh Sarah kepada sang anak.

“Aku?” ucap Gafa tanpa bersuara, Sarah menjawabnya dengan anggukan.

Gafa hanya bisa menuruti kemauan mama nya dan kemudian Gafa izin pamit ikut menyusuli Nora.

Di cari-carinya Nora ke seluruh ruangan yang ada di rumah besar ini. Namun, Ia belum menemukannya sama sekali. Gafa memperhatikan perkarangan rumah dari keluarga Nora ini, menurut Gafa sepertinya Nora bukan orang biasa. Melainkan seperti orang-orang konglomerat yang hidup dengan gaya sederhana.

Mata pria tersebut tertuju dengan foto Nora kecil yang sedang memeluk seorang wanita paruh baya dengan erat. Ia hendak memegang bingkai foto itu. Namun, sudah terdahulu dengan tangan panjang dari seorang gadis.

“Kenapa?” tanyanya.

“Oh nggak. Gue disuruh temenin lo,” jawab Gafa canggung melirik ke arah yang lain.

Nora pergi meninggalkan Gafa dengan membawa bingkai foto tersebut.

“Eh, tungguin Nor!!” Gafa berlari menghampiri Nora yang sudah berjalan jauh di depannya tanpa menghiraukan yag dibelakang.

Kini mereka duduk di halaman taman belakang yang penuh dengan berbagai macam tumbuhan dan bunga yang membuat udara disana semakin sejuk. Gafa dan Nora hanya memandangi bintang-bintang dari sini yang terlihat begitu bersinar bersama sang bulan.

Mungkin dengan begini mereka bisa bertukar sama-sama nyaman menikmati angin malam sambil melihat bintang.

“Ada bintang jatuh tuh Nor! Wish dulu wish,” ujar Gafa seraya mengengam kedua tangannya erat-erat dan menutup matanya.

Nora tersenyum menatap Gafa yang berdoa dengan begitu serius. Pada akhirnya ia ikut berdoa meminta kelancaran untuk kedepannya bagi hidup Nora dan Gafa yang mungkin saja nanti bisa bersatu karena orang tua dari mereka.

Gafa membuka matanya setelah selesai meminta kemauannya, lalu memasang mata pada Nora yang masih dengan mata yang tertutup dan tangan yang mengengam erat-erat. Gafa sangat bersyukur bisa duduk berdua seperti ini sekarang dan mungkin selanjutnya bisa seperti ini lagi? Mungkin saja.

“Kalian! Ayo makan kue buatan Mama!” seru Sarah memanggil Gafa dan Nora yang sedang duduk berdua di taman.

“Mama buat kue enak loh! Ayo cobain!!” sambungnya yang masih memakai celemek untuk memasak.

Gafa melirik kebelakang lalu berteriak, “Iya Mah! Nanti kita ke sana!”

“Okay, Mama tunggu!”

Gafa dan Nora tertawa bersama melihat Sarah yang begitu bersemangat menyuruhnya untuk mencobai kue buatan miliknya.

“Tunggu sini ya. Gue beli makanan dulu disana,” ucap Gafa menunjuk salah satu toko kue kering.

“Iya, gue nitip minum boleh nggak?” pinta Nora yang sedang memangku Adik dari Gafa, yaitu Garel yang sedang tertidur pulas dalam dekapannya.

“Mau minum apa?”

“Olatte rasa apa aja.”

Gafa mengangguk hendak membuka pintu mobil. Namun, ia kembali menatap Nora dan Adiknya secara bergantian yang masih tertidur dalam dekapan Nora.

“Kalo Garel berat bilang biar gue pindahin ke belakang.”

“Nggak kok. Justru kalo dipindahin ke belakang nanti jatuh yang ada.”

“‘Kan pelan nyetirnya,” ucap Gafa sebelum keluar sepenuhnya dari mobil.

“Bener juga…”

Nora kembali bermain gadgetnya tanpa suara. Takut membangunkan Garel yang masih tertidur, Nora sangat ingin merentangkan badannya yang mulai terasa pegal. Namun, apa boleh buat ia harus menunggu Gafa kembali dan mempindahkan Garel ke bangku belakang.

Merasa bosan menunggu lebih dari 15 menit lamanya sejak Gafa pergi keluar, Nora menyalakan bluetooth dari handphone miliknya dan menyalakan lagu kebangsaannya, yaitu ME! dari Taylor Swift dengan suara pelan.

Nora mulai terbawa alun oleh lagu yang ia putar pun ikut bernyanyi yang hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali.

“A’a Gafa….”

“Eh?! Kek bangun ya? Maaf-maaf,” ucap Nora panik.

Sedangkan disebrang sana terkekeh saat mendengar suara Nora yang panik saat Garel terbangun dari tidurnya. Gafa meninggalkan handphone di mobilnya lalu ia hubungkan dalam airpods lewat spekear yang dapat mendengar apapun yang terjadi di dalam mobil. Bukan apa-apa, Gafa hanya takut terjadi sesuatu kepada Garel.


Kedua pasangan tersebut berjalan memasuki area Rumah Sakit secara berjauhan. Takut salah satu orang yang mengenal Gafa maupun Nora berspekfulasi aneh-aneh.

Nora sudah memberi tahu Gafa ruangan rawat inap Papahnya. Jadi, Nora berjalan lebih dahulu ke depan dan meninggalkan Gafa yang masih berjalan lumayan jauh dibelakang. Sedangkan, Garel dititipkan oleh Dextar untuk menjaganya sebentar saja, takutnya anak kecil tidak boleh masuk ruang inap. Untungnya Dextar sedang bergantian shift jadi bisa untuk menjaga Garel.

“Dimana Abel?” tanya Gibran yang sedang makan malam setelah kemarin operasi.

“Siapa Abe—“

“Permisi…”

“Halo Abel! Sudah lama sekali Om tidak bertemu kamu,” ucap Gibran sumringah.

Gafa tersenyum datang menghampiri Gibran lalu bersalaman. “Iya Om, hehehe.”

Para lelaki itu asik berbincang satu sama lain yang menbuat Nora kebingungan. Kenapa keduanya sangat terlihat seperti teman lama yang berjumpa kembali? Mereka terlihat cukup akrab yang sampai-sampai tidak menghiraukan kehadiran dirinya disini.

“Oh iya, Clau. Ini Gafabel dari keluarga Halingga. Dulu Papa sering main bersama Abel, karena Abel dulu mau diajak memancing daripada abangmu Jake.”

“Kalian pernah bermain bersama dulu. Mungkin kalian lupa karena sudah lama sekali waktu itu berlalu,” sambungnya bercerita.

Emang pernah ya? Terus kenapa Papa manggil Gafa dengan sebutan Abel? Jadi inget Abel twitter

“Jadi kalian kapan mau bertunangan? Bukan kah kalian terlibat salah satu pekerjaan, jadinya sudah kenal dong?” Gibran menatap Gafa dan Nora bergantian.

Nora menatap Gafa mengisyaratkan untuk menjawab apa saja asal jangan membantahnya.

“Iya Om. Selepas Om keluar dari Rumah Sakit keluarga katanya ingin bertemu secara langsung untuk memperbincangkan ini.”

“Nah itu! Bener-bener. Makanya Papa cepet sembuh biar bisa liat Clau tunangan,” ucap Nora menghampiri Gibran untuk memijat pundaknya.

“Secepatnya yang pasti!” seru Gibran.

Gafa dan Nora kembali bertukar pandang berbicara lewat kontak mata untuk tidak membahas tentang ini dulu.

Suasana menjadi canggung setelah mengetahui bahwa sepasang patner kerja kini yang ingin dijodohkan oleh keluarga masing-masing. Kini hanya ada suara garpu dan sendok yang saling beradu. Gafa dan Nora memakan makanan dengan tenang tanpa obrolan sama sekali.

Merasa tenggorokan serat Nora ingin mengambil minumannya untuk diminum. Namun, tangan ia cukup gemetar dan dingin. Nora sangat tidak ingin terlihat gugup di depan Gafa.

Dengan perasaan nekatnya Nora memegang gelas minum rasa jeruk dengan tangan yang bergemetar. Saat sudah ingin sampai di depan mulut Gafa menatap Nora dan berakhir minuman itu tumpah membasahi dress cantiknya.

Sial, kenapa harus jatuh.

Nora mengambil tissue sebanyak mungkin untuk membersihkan dressnya.

“Eh, sorry-sorry.” Gafa berdiri seraya melepaskan jas hitamnya dan mengasihkannya kepada Nora untuk menutupi dressnya yang basah.

Nora menatap Gafa dan jas ditangannya secara bergantian. Lalu mengambilnya dari tangan Gafa.

“Gue izin ke kamar mandi dulu,” ucap Nora lalu pergi setelah mendapat jawaban anggukan dari Gafa.

Gafa terkekeh membayangkan sikap Nora yang terbilang jauh berbeda saat berkerja dan dengan berdua hanya dengannya, seperti tadi. Nora sangat terlihat gugup, Gafa dapat melihatnya dengan jelas.

“Lucu,” ucapan yang secara tiba-tiba keluar dari mulut Gafa.

“Eh, apaan sih.” Gafa menepuk pipinya agar sadar. Bahwa, ia masih bersama dengan Nora. Ia harus menjaga ekspresi wajah.

Nora berjalan menghampiri Gafa setelah membersihkan dressnya yang ketumpahan minumannya sendiri, lalu mengembalikannya jas kepada sang pemilik.

“Udah selesai?”

“Udah.”

“Mau langsung pulang?”

“Boleh.”

Gafa lagi-lagi terkekeh mendengar Nora yang menjawab pertanyaannya seadanya. Gafa mendorong tangan Nora yang masih menyodorkan jas miliknya.

“Pake aja udara malem dingin.”

Gafa bangkit dari duduknya lalu berdiri disamping Nora. “Jangan gugup gitu dong, Nor,” ucap Gafa berbisik ditelinga Nora.

Seketika Nora membatu wajahnya sudah mulai merah padam seperti buah tomat.

“Atas nama Sei…?”

“Baik, kami antarkan ke meja pesanan.”

Lelaki dengan berpakaian formal suit hitam menunjukan pandangan pada gadis yang baru saja memasuki kafe ini. Ia tidak dapat melihatnya jelas, karena lampu yang disini sangat remang-remang. Entah siapa yang memilih kafe aneh ini sebagai tempat bertemuan antara ia dengan gadis itu.

Gafa berdiri hendak ingin menyapa gadis itu. Namun, ia di kagetkan dengan teriakan gadis itu secara tiba-tiba. “LO? GAFABEL?!!”

Gafa menahan nafasnya saat mendengar suara tidak asing memanggil namanya.“NORA?!! NGAPAIN DISINI?”

“Lah? Lo ngapain disini?“ Nora membalikan pertanyaan Gafa.

“Gue disuruh ke sini sama bokap,” jawabnya santai.

“GUE JUGA!!!” jawab Nora dengan semangat.

“JADI KITA..?”

“DIJODOHIN?!!”

“DIJODOHIN!!”

Sakit hati anak perempuan saat ini adalah di saat seorang Papa yang sudah tidak mau melanjutkan kehidupannya. Kalimat “Waktu Papa nggak banyak Nora. Menikahlah, Papa hanya ingin melihat putri Papa menikah dan hidup berbahagia.” terus berulang-ulang di kepala Nora. Sungguh, ini sangat berisik dan menganggunya. Gadis itu memandangi banyak sekali selang kabel yang menyatu dengan badan sang Papa. Sebenarnya ia tidak begitu kuat untuk sering berkunjung seperti ini. Namun, apa boleh buat? Ia harus tetap ada disamping sang Papa.

“Mau ngobrol nggak?” ucap Jake yang berada disampingnya menatap sang Papa teduh.

Nora menghela nafasnya berat lalu mengiyakan ajakan tersebut. Meninggalkan Mbak Linda, istri dari Jake.

Mereka pergi menuju kafe yang berada yang tidak jauh dari Rumah Sakit dan terlihat sepi, aman untuk Nora untuk tidak akan fans yang mengenal dirinya. Sepasang Abang dan Adik memesan minuman terlebih dahulu baru memulai perbincangan ini, sebenarnya ini adalah kegiatan yang mereka sering lakukan saat Jake sedang pulang ke tanah air tercinta. Bukan hanya dengan Nora saja, begitupun dengan Hanniel.

“Kabar kamu gimana? Everything good?” tanya Jake dengan senyuman.

Yeah…. Everything is good, but sometimes it doesn't go what I want,” jawab Nora dengan nada sedih.

Jake terkekeh dengan gaya bahasa Nora, tidak menyangka Adiknya sudah tumbuh besar. “Kenapa tuh? Pasti ada masalahnya.”

“Iya pasti ada ngga sih Bang disetiap kehidupan masing-masing?”

“Iya, memang selalu ada. Makanya Tuhan maha adil, Nora.”

Nora lagi-lagi menghela nafasnya berat. “Kabar Abang gimana? Seru pasti bisa sering keliling dunia.”

“Mana ada. Gua juga kerja kali nggak liburan,” jelas Jake yang matanya menuju handphone miliknya melihat ada notifikasi masuk atau tidak dari sang Istri.

“Btw, papa ngomong apa sama lo?” tanya Jake penasaran menyilangkan tangannya di meja.

“Itu… papa anu…” jawab Nora ragu.

“Apa? Bilang aja. Gue juga nggak bakal kaget kalo denger lo mau dijodohin.” Jake tertawa kecil meledek Adiknya.

“LOH??!! LO KATA SIAPA??!” Nora panik. Sebenarnya Papa tidak bilang bahwa dirinya akan dijodohkan. Cuma menyuruhnya untuk segera menikah, tapi Jake bilang ia akan dijodohkan? Wah nggak beres.

“Lah? Papa nggak ngomong gitu emang?” Jake ikut bingung dengan penjelasan dari Nora.

“NGGAK GILA!! Jangan ngarang, Bang! Spot jantung gue.” Nora mengelus dadanya sakit.

“Tapi bener kok. Lo bakal dijodohin sama salah satu temen bisnis papa.”

“Bang? Gue masih muda anjir! Masa nikah beneran,” rengek Nora yang masih tidak mempercayai fakta ini.

“Umur segini juga udah cukup buat nikah kali, Nora.”

“Tapikan gue masih mau berkarir.”

“Jodoh lo juga masih berkarir kok, tapi nggak di bidang bisnis juga sama kaya lo. Mungkin dia nanti stop? Terus lanjutin perusahaan keluarganya,” jelas Jake yang dapat membuat buku kuduk Nora terangkat merinding.

“Di bidang apa emang dia?” tanya Nora penasaran dengan siapa ia akan dijodohkan.

“Masih rahasia.”

Nora berdecak kesal lalu melamunkan diri. Setelah ini apa yang akan ia ambil? Haruskah ia menyetuji dengan perjodohan ini agar Papa senang, atau ia harus kabur dan harus tetap menjadi independent woman seperti waktu Bunda kala dulu? ini pilihan yang sulit. Disatu sisi ia ingin menyenangkan Papa dan disatu sisi lainnya ia sangat membenci pernikahan saat muda, itu akan terlihat seperti drama-drama Korea pada umumnya yang pernikahannya tidak akan bertahan lama. Nora sangat memegang prinsip untuk menikah sekali seumur hidup, ia sangat tidak ingin memegang kata janda di namanya.

“Hey!” panggil Jake memecahkan lamunan Nora.

“Nggak usah dipikirin dulu. Waktu lo masih panjang kok, nggak harus besok nikah juga.“ jelas Jake yang membuat Nora tersenyum.

“Tapi minimal tunangan di bulan ini.” Luntur sudah senyuman manis Nora di wajahnya dan kembali mendiamkan diri.

“Udah gila!” cetus Nora yang sudah kesal.

“Lusa ketemuan sama anaknya gih. Nanti Abang atur semua tempatnya bakal aman jauh dari fans-fans lo.”

“Bang…. Jangan bilang lo pulang cuma buat ngurusin ginian demi papa?” Nora yang tidak yakin dengan apa yang mereka obrolkan dari tadi hanya membahas tentang perjodohan sialan inu.

“Inget, pilihan papa nggak pernah salah. Buktinya Linda baik ‘kan ke Abang sama kalian?” ucap Jake menyakini Adiknya agar tidak terlalu takut. Toh, ini hanya pertunangan formalitas saja. Selebihnya diatur dengan perasaan masing-masing untuk tetap berlanjut atau tidak dalam ikatan pertunangan.

Nora hanya diam mencoba mencerna apa yang Abangnya itu bicarakan panjang lebar. Ini seperti mimpi menurut Nora, tolong siapapun bangunkan dirinya.

Gafa yang baru saja sampai di dalam kediamannya yang lama memantikan lampu kamar dan merebahkan badan-nya ke ranjang kasur yang mulai merasa kantuk. Perjalanan dari Jakarta ke Bandung sebenarnya tidak memakan waktu yang banyak, mengingat ia berangkat dari Jakarta pagi-pagi buta. Mungkin saja ia lelah dengan pekerjaannya dari kemarin hanya di dalam studio rekaman.

Pria tersebut mulai menutup matanya. Tangan miliknya menarik guling di samping badan-nya dan memeluknya erat-erat untuk memasuki ke alam mimpi.

Tok… Tok… Tok…

“Gafa?” panggil wanita paruh baya.

Pintu dibuka begitu saja saat tidak ada jawaban dibalik pintu. Sarah menyalakan saklar lampu dan mendekati anak sulungnya.

“A’a bangun dulu yuk? Sarapan dulu baru tidur lagi.” Gafa yang sudah mau memasuki alam mimpi pun terbangun lagi menyipitkan mata silau dari lampu kamar.

“Iya, Mah…,” ucap Gafa dengan suara khas bangun tidur dan membalikan badan membelakangi Sarah.

Sarah tersenyum kecil seraya mengelus-elus rambut anaknya dan bangkit dari duduknya meninggalkan Gafa yang masih mau terlelap dengan tidurnya.

“A’a mana, Mah?” tanya anak gadis yang sudah memakai seragam sekolah lengkap.

“Masih mau tidur dia. Kecapekan kayanya.”

Aleyyah ber-oh ria dan mengajak Sarah untuk bergabung ke meja makan untuk sarapan bersama anggota keluarga yang lainnya.


Jam menunjukkan pukul 13.55 siang hari. Yang tandanya pria tersebut tidur dalam kurung waktu yang lumayan lama. Teringat dirinya belum ngisi perutnya dari pagi hari, ia bangkit dari tidurnya dan menuju meja makan.

“Sehabis makan ke ruangan Ayah,” ucap pria tersebut dengan nada dingin dan pergi begitu saja.

Gafa hanya mengangguk pasrah dan melanjutkan makannya dengan tenang. Sebenarnya ia tahu apa yang akan Ayahnya berbincangkan nanti dengannya. Sudah pasti soal musik, Ayah dari Gafa sangat tidak menyukai anaknya terjun di dunia seni musik ini. Entahlah, ia tidak mau memberikan alasannya.

Setelah membereskan makan siangnya. Ia bangkit dari kursi dan meninggalkan piring beserta gelas minumnya yang akan dibereskan oleh asisten rumah tangga yang sudah menunggu dibelakangnya sedari tadi.

Dengan perasaan gugup campur takut Gafa membuka pintu ruang kerja milik Ayahnya dengan perlahan.

“Ayah?” panggilnya.

“Masuk,” jawab Gilang yang masih fokus dengan berkas-berkas yang acak-acakan di atas meja kerjanya.

Gafa berdiri di depan meja kerja Ayahnya dan menenggelamkan kepalanya dalam-dalam menunggu sang lawan berbicara lebih dahulu. Gilang menatap sang anak dengan tatapan mengintimidasi, lalu menghela nafasnya berat. Dan, menaruh berkas miliknya ke tempat semula.

“Pekerjaan kamu gimana? Lancar nggak?” tanya Gilang yang masih membereskan beberapa berkas.

Gafa menatap sang Ayah gugup. “ Lancar kok, Yah. Kenapa?”

“Nggak, hanya ingin bertanya.” Gilang bangkit dari kursi kerjanya menarik kursi yang lain dan memberikannya kepada Gafa.

“Duduk,” ucapnya dingin.

Gafa hanya bisa menuruti dan memandangi Gilang yang kembali duduk ke kursi kerjanya. Suasana semakin canggung. Bahkan ini hanya obrolan sebatas Ayah dan Anaknya, tetapi menurut Gafa jika sudah seperti ini pasti ada yang salah dengan dirinya. Tapi ia tidak melakukan apapun yang membuat keluarganya malu.

“Umur kakek sekarang berapa?” tanyanya.

“Tujuh puluh empat?” jawabnya ragu.

Gilang terkekeh sambil memainkan pulpen ditangannya. “Keren ya kakek masih mau memimpin perusahaan saat beliau sudah berumur segitu.”

Gafa tertawa dalam hatinya ia sudah tau obrolan ini akan menuju kemana. Sial, ia sangat membenci tentang perusahaan-perusahaan yang sama sekali tidak menarik perhatian dirinya.

“Kamu mau sampai kapan di dunia musik?” Gafa menatap Gilang dengan tatapan tajam.

“Gafa belum tau, Yah.”

“Loh, harus tau. Kamu nggak mungkin selamanya ada di dunia musik, Gafa.”

Gafa yang sudah merasa kesal hanya bisa menundukan kepala menahan emosinya dengan mengepal tangannya kuat-kuat agar tidak menonjok apapun yang ada di depannya.

“Ayah dan kakek ingin kamu segera menikah dengan pilihan kakek,” jelas Gilang menaruh tangannya menyilang di meja sambil menatap Gafa yang sedang menunduk.

Gafa bangkit dari kursi menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan omong kosong yang barusan saja keluar dari mulut sang Ayah.

“Bercandanya nggak lucu, Yah.”

Gilang tertawa kecil. “Ayah mana pernah bercanda soal ini. Mau Ayah hubungi kakek biar kamu lebih percaya?”

Pria tersebut menghela nafasnya menatap langit-langit ruangan kerja Gilang sambil tertawa. “Di zaman kaya gini udah nggak zaman yang namanya perjodohan, Yah..” ucap Gafa menahan emosinya.

“Ini bukan zaman Ayah sama kakek dulu. Udah jauh berbeda,” sambungnya.

“Kamu milih stop di dunia musik atau menikah dengan pilihan Ayah dan kakekmu?” tanya Gilang yang kembali dengan nada dingin.

“Yah…. Gafa masih terlalu muda buat menikah.”

“STOP DI DUNIA MUSIK ATAU MENIKAH!!?” tanyanya lagi dengan intonasi yang meninggi.

Suara lantang yang keluar dari mulut Gilang cukup mengangetkan Gafa. Sudahlah ia dan sang Ayah sama-sama keras kepala dan tidak akan pernah ada yang mengalah kecuali salah satu dari mereka sudah lelah berdebat.

“Nggak, Gafa nggak akan pernah mau,” jawab Gafa ketus dan hendak pergi dari pandangan sang Ayah.

“Ya sudah, bereskan barang-barangmu yang di Jakarta dan pindah bersama kami untuk melanjutkan perusahaan kakek,” jelas Gilang yang dapat memberhentikan langkah Gafa yang hendak pergi.

“Maaf, Gafa nggak bisa.” Gafa melanjutkan langkahnya pergi dari sana.

“Gafa!” teriak Gilang memanggil nama sang anak.

“Ayah ngga suka jagoan menjadi anak yang pembangkang!” ucap Gilang mencetuskan ucapan akhir kalimantnya.

“Kasih Gafa waktu buat berpikir.”

“Berapa lama?”

“Seminggu.” Gafa membuka pintu besar ruangan kerja Ayahnya dan pergi begitu saja membawa mobil miliknya meninggalkan kediamannya dengan rasa penuh emosi yang memuncak.

Gafa sudah mengenakan pakaian andalan penyamaran miliknya sebelum menancapkan gas motor untuk mencari ketenangan. Ia dahulu sering kali keluar malam untuk sekedar mencari angin malam. Namun, untuk sekarang itu sangat susah, mumpung ada waktu luang ia harus memanfaatkan kesempatan kali ini.

Ia merampas dan mengenggam kunci motor kesayangannya erat-erat. Dengan langkah gusar keluar dari apartemen menuju parkiran motor.

Gafa melihat disekelilingnya sebelum naik dari motor. Takutnya ada seseorang yang mengenal dirinya, walaupun sudah memakai pakaian penyamaran tetep saja ia takut fans akan mengenalinya.

“Itu Nora bukan ya?” Gafa menyipitkan mata untuk memastikan.

Gafa yang penasaran setengah mati pun mendekati gadis itu untuk lebih memastikan. Apakah bener itu Nora atau hantu gaib dengan rambut panjang yang duduk di bangku taman sendirian.

Dan ternyata itu benar Nora yang sedang duduk berdiam diri dengan tatapan kosong. Terlihat sedang banyak pikiran.

“Udah malem kali, Nor,” ucap pria itu tiba-tiba dan duduk di bangku kosong sebelah Nora.

“Eh? Gaf, hahaha.” Nora menoleh kaget dengan kehadiran Gafa yang tiba-tiba menghampirinya.

“Lagi mikirin sesuatu, ya?” tanya Gafa yang mengikuti arah pandang Nora di depannya.

“Iya nih, biasalah.”

Gafa tersenyum kecil dan ikut hanyut dalam keheningan yang diciptakan oleh keduanya.

“Lo mau kemana rapih banget?” tanya Nora yang dari tadi memperhatikan pakaian Gafa yang terlihat seperti penyusup bayaran.

“Mau cari angin tadinya naik motor. Terus ngeliat lo lagi duduk sendirian pengen datengin.”

“Ohh, kirain mau pergi main.”

“Hahaha, jarang ada waktu buat main, Nor.”

“Sama sih…”

Keduanya kembali hening dalam pikiran masing-masing. Hanya ada suara jangkrik dan nyamuk yang bersautan ditelinganya.

Nora menghela nafasnya berat menatap bintang-bintang dilangit yang cukup menerangi malam hari ini.

“Lagi capek banget ya, Nor?”

Nora terkekeh tanpa mengalihkan pandangannya. “Iya, capek banget sama bingung juga sama diri sendiri.”

“Mau ikut cari angin sambil keliling Jakarta nggak?” Gafa menawarkan dengan rasa percaya diri. Entahlah pasti ada kata penolakan dari Nora tentunya.

“Boleh?”

“Ya— ya boleh lah!” seru Gafa yang terlihat gugup.

Nora tersenyum bangkit dari tempat duduknya. “Ayo!” ucapnya dengan semangat.

Gafa tertawa kecil tanpa sepengetahuan Nora dan memimpin jalan untuk ngambil motornya terlebih dahulu.

“Lo ada helm dua?” tanya Nora melihat hanya ada 1 helm yang menyangkut di spion motor.

“Ada di dalem loker nanti gue ambilin. Ini buat lo dulu.” Dengan Naluri hati Gafa memakaikan helm kepada Nora dengan hati-hati.

Setelah memakaikan Nora helm ia segera bergegas mengambil helm untuk ia kenakan di dalam loker.

Dalam waktu 5 menit Gafa kembali dengan helm yang sudah terpasang di kepalanya.

“Gaf, boleh nggak gue aja yang nyetir motor lo?”

“Hah? Serius?”

“Iya serius. Janji deh nggak kenapa-napa.”

Gafa berpikir sejenak untuk mengizinkannya atau tidak. Ini perihal hidup dan matinya ada di tangan gadis tersebut. Mengingat ini permintaan dari Nora, gadis yang ia idam-idamkan untuk menjadikan kekasihnya. Jadi tanpa berpikir panjang Gafa iya-kan saja.

“Boleh nih.” Gafa mengasihkan kunci motor miliknya yang ia ambil dari saku celana.

Nora saat menerima kunci motor tersebut tersenyum lebar dan segera menaiki motor sport milik Gafa.

“Ayo naik!” seru Nora dengan senyuman yang tidak pudar sedari tadi waktu ia menyerahkan kunci motor kepadanya.

“Hahaha. Ayo! Ayo!” Gafa menaiki motornya dengan berat hati. Tapi ia harus mempercayai gadis itu tentang keselamatannya.

“Mau makan diluar atau kantin?” Kenzo mengalihkan pandangnnya kepada gadis yang berjalan disampingnya.

“Kantin aja, waktunya nggak cukup ‘kan kalo makan diluar?”

“Cukup-cukup aja sebenarnya. Tapi kalo kamu mau di kantin ya… gapapa.”

Selama perjalanan menuju kantin banyak sekali orang-orang medis yang menyapa Kenzo. Ternyata ia sudah sebesar itu di dalam Rumah Sakit ini, dan tak jarang pun ada yang mengenal dirinya. Entah itu teman kerja Kenzo atau pasien-pasien yang dirawat.

Kenzo mencari tempat makan yang tidak terlalu ramai demi kenyamanan Nora sebagai artis yang sedang naik-naiknya.

“Profesor Ken! Mau makan?” seru salah satu regu memasak yang sudah mengenal Kenzo dari zaman magang.

“Iya Bu! Mau makan nih,” jawabnya ramah.

“Itu cemiwiw baru toh?” ucap Ibu tersebut menunjuk Nora dengan dagunya.

Kenzo menoleh sebentar ke arah Nora dan terkekeh. “Bukan Bu, adik tingkat kuliah dulu ini.”

“Oalah kirain…”

Nora hanya menyimak dengan telinganya dengan mata yang fokus memainkan handphone miliknya.

“Kamu mau mesen apa?”

“Adanya apa, Kak?”

“Ada banyak…”

Nora berpikir sejenak bingung ingin makan apa untuk mengisi cacing perutnya yang sudah kelaparan.

“Sop daging aja deh, Kak.” Final Nora memilih makanan.

“Minumnya j—“

“Jus mangga ‘kan?”

Ugh! Kenapa dia harus inget jus favorite gue!

“Hmm iya…”

Kenzo bangkit dari kursinya dan bergerak untuk memesan makanan untuk Nora.

Tak lama dari itu ia kembali dengan jus mangga dan botol air putih ditangan-Nya.

“Makanannya nyusul,” ucap Kenzo menaruh minuman dihadapan Nora.

Nora hanya mengangguk sebagai jawaban dan kembali fokus dengan dunianya.

“Jadi model gimana, Nor? Lancar?” Kenzo membuka obrolan.

Nora mematikan handphonenya dan beralih ke minuman.

“Lancar-lancar aja sih Kak…. Kak Kenzo sendiri gimana jadi profesor?”

“Susah hahaha. Udah bisa ditahap ini aja aku juga udah bersyukur, Nor,” jawabnya yang terlihat tidak yakin.

“Gapapa Kak, udah keren kok.” Nora mengasih jempol sebagai tanda dukungan.

Kenzo tertawa kecil. Rasanya ia ingin mengacak-acak rambut Nora tapi ia mengurung niatnya, mengingat dirinya dan Nora tidak sedekat dulu.

“Nora,” panggilnya.

“Hmm? Kenapa.”

“Lupain yang dulu-dulu, ya? Anggap aja nggak ada masalah diantara kita.”

“Tapi Ka—“

“Permisi pesanannya datang.”

Gadis dengan raut wajah yang terlihat sangat panik setengah mati. Nora bergegas turun dari mobil berlarian menuju administrasi dengan kaki kecilnya.

“Permisi, ingin bertanya. Pasien bernama Gibran Matwous sekarang ada dimana, ya?” tanya Nora kepada salah satu revisionis.

“Pasien bernama Gibran Matwous baru saja masuk ruang rawat inap beberapa jam yang lalu bersama Profesor Ken,” jawabnya ramah.

“Mau ketemu papa, Nor?” ucap pria yang ada disebelah Nora dengan tangan yang sibuk dengan berkas kertas.

Nora yang mendengar suara tidak asing menoleh dengan mata membulat. “Kak…”

“Ikuti saya,” pintanya dingin meninggalkan berkas kertas tersebut di meja revisionis.

Gadis itu sempat mematung dan mengucapkan sumpah serapah di dalam hatinya. Kenapa ia harus bertemu dengannya di saat seperti ini, sungguh menyebalkan.

Dengan kaki yang mulai melemas Nora mengikuti langkah jenjang Profesor Kenzo yang kerap dipanggil Kak Kenzo dulunya oleh Nora. Kak Kenzo sendiri adalah mantan gebetan Nora saat masih berkuliah, Kak kenzo adalah mahasiswa kedokteran dulunya. Sedangkan, Nora ada di manajemen bersama Elle. Nora dapat mengenal Kenzo dari temannya semasa SMA yaitu, Dextar. Rupanya Kakak tingkat dari Dextar itu tertarik dengan Nora saat itu. Namun, tidak ada status pacaran diantara mereka. Mungkin pada masa seperti ini bisa dibilang friendzone. Dan mereka menghentikan hubungan yang berjalan 2 tahun tanpa status apapun karena mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

Nora memandangi punggung besar gagah dengan balutan senelli Rumah Sakit pria yang ada di depannya dengan rasa kagum. Ia sangat tidak menyangka dengan perubahan drastis dari dirinya. Dulu Kenzo yang Nora kenal adalah lelaki dengan kantung mata yang tebal, berbadan kurus tinggi, dan berengsek tentunya. Namun, sudah 4 tahun tidak bertemu sapa, semuanya yang ada di dalam diri pria tersebut berubah menjadi lebih dewasa.

Saat sudah memasuki lift yang berisi hanya mereka berdua Kenzo menekan tombol lantai 6 menuju ruangan pasien Gibran Matwous. Suasana canggung tidak ada obrolan diantara mereka, Nora memandangi angka lift yang terus berganti berdoa supaya lift cepat naik langsung ke lantai 6.

“Kabar kamu gimana, Nor?”

“Dextar ada di mana, Kak?”

Sial.

“O—oh, Dextar lagi ngurus IGD. ‘Kan masih koas,” jawab Kenzo memasuki tangan-Nya ke saku senelli.

Nora ber-oh ria dan mengangguk paham.

“Aku baik kok.”

“Hah?” jawab Kenzo bingung.

“Tadi Kak Ken nanyain kabar ‘kan?”

“Oh iya, sama kalo gitu,” ujarnya canggung.

Duh! Kenapa sih gue harus ada disituasi kaya gini.

Tinggg!

Lift terbuka saat sudah sampai di lantai nomer 6, Nora keluar dahulu. Namun, Kenzo tidak mengikuti dirinya.

“Aku nganter sampe sini aja ya? Masih ada urusan lain. Ruangan papa kamu ada di 706, nanti aku mampir lagi nemuin om Gibran.”

“Oh, yaudah gapapa Kak. Makasih ya udah nganterin aku,” ucap Nora.

“Iya sama-sama. Duluan, ya? Dadah.” Kenzo berlambaikan tangan sebelum lift tertutup rapat. Nora juga melakukan hal yang sama.

Setelah lift turun Nora bergegas mencari ruangan 706 dan menemui sang Papa yang sedang dirawat inap.