Bandung

Gafa yang baru saja sampai di dalam kediamannya yang lama memantikan lampu kamar dan merebahkan badan-nya ke ranjang kasur yang mulai merasa kantuk. Perjalanan dari Jakarta ke Bandung sebenarnya tidak memakan waktu yang banyak, mengingat ia berangkat dari Jakarta pagi-pagi buta. Mungkin saja ia lelah dengan pekerjaannya dari kemarin hanya di dalam studio rekaman.

Pria tersebut mulai menutup matanya. Tangan miliknya menarik guling di samping badan-nya dan memeluknya erat-erat untuk memasuki ke alam mimpi.

Tok… Tok… Tok…

“Gafa?” panggil wanita paruh baya.

Pintu dibuka begitu saja saat tidak ada jawaban dibalik pintu. Sarah menyalakan saklar lampu dan mendekati anak sulungnya.

“A’a bangun dulu yuk? Sarapan dulu baru tidur lagi.” Gafa yang sudah mau memasuki alam mimpi pun terbangun lagi menyipitkan mata silau dari lampu kamar.

“Iya, Mah…,” ucap Gafa dengan suara khas bangun tidur dan membalikan badan membelakangi Sarah.

Sarah tersenyum kecil seraya mengelus-elus rambut anaknya dan bangkit dari duduknya meninggalkan Gafa yang masih mau terlelap dengan tidurnya.

“A’a mana, Mah?” tanya anak gadis yang sudah memakai seragam sekolah lengkap.

“Masih mau tidur dia. Kecapekan kayanya.”

Aleyyah ber-oh ria dan mengajak Sarah untuk bergabung ke meja makan untuk sarapan bersama anggota keluarga yang lainnya.


Jam menunjukkan pukul 13.55 siang hari. Yang tandanya pria tersebut tidur dalam kurung waktu yang lumayan lama. Teringat dirinya belum ngisi perutnya dari pagi hari, ia bangkit dari tidurnya dan menuju meja makan.

“Sehabis makan ke ruangan Ayah,” ucap pria tersebut dengan nada dingin dan pergi begitu saja.

Gafa hanya mengangguk pasrah dan melanjutkan makannya dengan tenang. Sebenarnya ia tahu apa yang akan Ayahnya berbincangkan nanti dengannya. Sudah pasti soal musik, Ayah dari Gafa sangat tidak menyukai anaknya terjun di dunia seni musik ini. Entahlah, ia tidak mau memberikan alasannya.

Setelah membereskan makan siangnya. Ia bangkit dari kursi dan meninggalkan piring beserta gelas minumnya yang akan dibereskan oleh asisten rumah tangga yang sudah menunggu dibelakangnya sedari tadi.

Dengan perasaan gugup campur takut Gafa membuka pintu ruang kerja milik Ayahnya dengan perlahan.

“Ayah?” panggilnya.

“Masuk,” jawab Gilang yang masih fokus dengan berkas-berkas yang acak-acakan di atas meja kerjanya.

Gafa berdiri di depan meja kerja Ayahnya dan menenggelamkan kepalanya dalam-dalam menunggu sang lawan berbicara lebih dahulu. Gilang menatap sang anak dengan tatapan mengintimidasi, lalu menghela nafasnya berat. Dan, menaruh berkas miliknya ke tempat semula.

“Pekerjaan kamu gimana? Lancar nggak?” tanya Gilang yang masih membereskan beberapa berkas.

Gafa menatap sang Ayah gugup. “ Lancar kok, Yah. Kenapa?”

“Nggak, hanya ingin bertanya.” Gilang bangkit dari kursi kerjanya menarik kursi yang lain dan memberikannya kepada Gafa.

“Duduk,” ucapnya dingin.

Gafa hanya bisa menuruti dan memandangi Gilang yang kembali duduk ke kursi kerjanya. Suasana semakin canggung. Bahkan ini hanya obrolan sebatas Ayah dan Anaknya, tetapi menurut Gafa jika sudah seperti ini pasti ada yang salah dengan dirinya. Tapi ia tidak melakukan apapun yang membuat keluarganya malu.

“Umur kakek sekarang berapa?” tanyanya.

“Tujuh puluh empat?” jawabnya ragu.

Gilang terkekeh sambil memainkan pulpen ditangannya. “Keren ya kakek masih mau memimpin perusahaan saat beliau sudah berumur segitu.”

Gafa tertawa dalam hatinya ia sudah tau obrolan ini akan menuju kemana. Sial, ia sangat membenci tentang perusahaan-perusahaan yang sama sekali tidak menarik perhatian dirinya.

“Kamu mau sampai kapan di dunia musik?” Gafa menatap Gilang dengan tatapan tajam.

“Gafa belum tau, Yah.”

“Loh, harus tau. Kamu nggak mungkin selamanya ada di dunia musik, Gafa.”

Gafa yang sudah merasa kesal hanya bisa menundukan kepala menahan emosinya dengan mengepal tangannya kuat-kuat agar tidak menonjok apapun yang ada di depannya.

“Ayah dan kakek ingin kamu segera menikah dengan pilihan kakek,” jelas Gilang menaruh tangannya menyilang di meja sambil menatap Gafa yang sedang menunduk.

Gafa bangkit dari kursi menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan omong kosong yang barusan saja keluar dari mulut sang Ayah.

“Bercandanya nggak lucu, Yah.”

Gilang tertawa kecil. “Ayah mana pernah bercanda soal ini. Mau Ayah hubungi kakek biar kamu lebih percaya?”

Pria tersebut menghela nafasnya menatap langit-langit ruangan kerja Gilang sambil tertawa. “Di zaman kaya gini udah nggak zaman yang namanya perjodohan, Yah..” ucap Gafa menahan emosinya.

“Ini bukan zaman Ayah sama kakek dulu. Udah jauh berbeda,” sambungnya.

“Kamu milih stop di dunia musik atau menikah dengan pilihan Ayah dan kakekmu?” tanya Gilang yang kembali dengan nada dingin.

“Yah…. Gafa masih terlalu muda buat menikah.”

“STOP DI DUNIA MUSIK ATAU MENIKAH!!?” tanyanya lagi dengan intonasi yang meninggi.

Suara lantang yang keluar dari mulut Gilang cukup mengangetkan Gafa. Sudahlah ia dan sang Ayah sama-sama keras kepala dan tidak akan pernah ada yang mengalah kecuali salah satu dari mereka sudah lelah berdebat.

“Nggak, Gafa nggak akan pernah mau,” jawab Gafa ketus dan hendak pergi dari pandangan sang Ayah.

“Ya sudah, bereskan barang-barangmu yang di Jakarta dan pindah bersama kami untuk melanjutkan perusahaan kakek,” jelas Gilang yang dapat memberhentikan langkah Gafa yang hendak pergi.

“Maaf, Gafa nggak bisa.” Gafa melanjutkan langkahnya pergi dari sana.

“Gafa!” teriak Gilang memanggil nama sang anak.

“Ayah ngga suka jagoan menjadi anak yang pembangkang!” ucap Gilang mencetuskan ucapan akhir kalimantnya.

“Kasih Gafa waktu buat berpikir.”

“Berapa lama?”

“Seminggu.” Gafa membuka pintu besar ruangan kerja Ayahnya dan pergi begitu saja membawa mobil miliknya meninggalkan kediamannya dengan rasa penuh emosi yang memuncak.