Soup
“Mau makan diluar atau kantin?” Kenzo mengalihkan pandangnnya kepada gadis yang berjalan disampingnya.
“Kantin aja, waktunya nggak cukup ‘kan kalo makan diluar?”
“Cukup-cukup aja sebenarnya. Tapi kalo kamu mau di kantin ya… gapapa.”
Selama perjalanan menuju kantin banyak sekali orang-orang medis yang menyapa Kenzo. Ternyata ia sudah sebesar itu di dalam Rumah Sakit ini, dan tak jarang pun ada yang mengenal dirinya. Entah itu teman kerja Kenzo atau pasien-pasien yang dirawat.
Kenzo mencari tempat makan yang tidak terlalu ramai demi kenyamanan Nora sebagai artis yang sedang naik-naiknya.
“Profesor Ken! Mau makan?” seru salah satu regu memasak yang sudah mengenal Kenzo dari zaman magang.
“Iya Bu! Mau makan nih,” jawabnya ramah.
“Itu cemiwiw baru toh?” ucap Ibu tersebut menunjuk Nora dengan dagunya.
Kenzo menoleh sebentar ke arah Nora dan terkekeh. “Bukan Bu, adik tingkat kuliah dulu ini.”
“Oalah kirain…”
Nora hanya menyimak dengan telinganya dengan mata yang fokus memainkan handphone miliknya.
“Kamu mau mesen apa?”
“Adanya apa, Kak?”
“Ada banyak…”
Nora berpikir sejenak bingung ingin makan apa untuk mengisi cacing perutnya yang sudah kelaparan.
“Sop daging aja deh, Kak.” Final Nora memilih makanan.
“Minumnya j—“
“Jus mangga ‘kan?”
Ugh! Kenapa dia harus inget jus favorite gue!
“Hmm iya…”
Kenzo bangkit dari kursinya dan bergerak untuk memesan makanan untuk Nora.
Tak lama dari itu ia kembali dengan jus mangga dan botol air putih ditangan-Nya.
“Makanannya nyusul,” ucap Kenzo menaruh minuman dihadapan Nora.
Nora hanya mengangguk sebagai jawaban dan kembali fokus dengan dunianya.
“Jadi model gimana, Nor? Lancar?” Kenzo membuka obrolan.
Nora mematikan handphonenya dan beralih ke minuman.
“Lancar-lancar aja sih Kak…. Kak Kenzo sendiri gimana jadi profesor?”
“Susah hahaha. Udah bisa ditahap ini aja aku juga udah bersyukur, Nor,” jawabnya yang terlihat tidak yakin.
“Gapapa Kak, udah keren kok.” Nora mengasih jempol sebagai tanda dukungan.
Kenzo tertawa kecil. Rasanya ia ingin mengacak-acak rambut Nora tapi ia mengurung niatnya, mengingat dirinya dan Nora tidak sedekat dulu.
“Nora,” panggilnya.
“Hmm? Kenapa.”
“Lupain yang dulu-dulu, ya? Anggap aja nggak ada masalah diantara kita.”
“Tapi Ka—“
“Permisi pesanannya datang.”