chlopyvrsie

Podcast hari ini berjalan lancar sesuai dengan apa yang Nora harapkan. Penayangan sudah dimatikan semua staff berdiri bertepuk tangan sebagai tanda apresiasi satu sama lain.

Nora tersenyum senang akhirnya usai juga pekerjaan hari ini yang terasa panjang. “Thanks ya, Gafa. Udah mau dateng ke Podcast gue,” ucap Nora.

“Sama-sama, Nora. Thanks juga nih udah mau ngundang gue hehe,” balas Gafa terkekeh.

“Lancar ya buat new single lagu lo nanti.”

Aamiinn. Doain aja, ya?”

“Pasti!” Gafa tersenyum senang bisa ngobrol dengan Nora, walaupun ia tadi sudah ngobrol panjang juga dipodcast bersamanya. Tapi bisa deket dengan Nora adalah salah satu pencapaian untuk bisa lebih mengenal dirinya. Apalagi Gafa dan Nora terikat tentang pekerjaan.

Nora mengalihkan pandangan pada sudut ruangan yang terdapat manangernya, Kak Giselle yang sedang memberi kode untuk segera menghampiri dirinya.

“Gue kesana dulu, ya?” Gafa membalasnya dengan anggukan kecil.

Nora berjalan hati-hati untuk menghampiri Giselle agar tidak menganggu staff yang sedang membereskan ruangan.

“Kenapa, Kak?”

“Papah masuk rumah sakit.”

Deg!

Podcast hari ini berjalan lancar sesuai dengan apa yang Nora harapkan. Penayangan sudah dimatikan semua staff berdiri bertepuk tangan sebagai tanda apresiasi satu sama lain.

Nora tersenyum senang akhirnya usai juga pekerjaan hari ini yang terasa panjang. “Thanks ya, Gafa. Udah mau dateng ke Podcast gue,” ucap Nora.

“Sama-sama, Nora. Thanks juga nih udah mau ngundang gue hehe,” balas Gafa terkekeh.

“Lancar ya buat new single lagu lo nanti.”

Aamiinn. Doain aja, ya?”

“Pasti!” Gafa tersenyum senang bisa ngobrol dengan Nora, walaupum ia tadi sudah ngobrol panjang juga dipodcast.

Nora mengalihkan pandangan pada sudut ruangan yang terdapat manangernya, Kak Giselle yang sedang memberi kode untuk segera menghampiri dirinya.

“Gue kesana dulu, ya?” Gafa membalasnya dengan anggukan kecil.

Nora berjalan hati-hati untuk menghampiri Giselle agar tidak menganggu staff yang sedang membereskan ruangan.

“Kenapa, Kak?”

“Papah masuk rumah sakit.”

Deg!

Gadis dengan rambut ikat acak dan setelan pakaian tidur beserta cardingan pink kesayangannya bergegas membuka pin pintu apart tetangganya, yaitu Gafabel Halingga.

Setelah pintu berhasil dibuka Ia memegang gagang pintu itu dengan ragu. “Ini serius dia ngasih pin apartnya ke gue secara cuma-cuma? Ah! Nggak tau lah suka-suka dia.” Akhirnya dengan perasaan ragu sekaligus takut Nora membuka pintu tersebut lalu memanggil nama Gafa.

“Gafa? Ini gue masuk ya,” ucap Nora dengan nada sedikit berteriak. Namun, tidak ada balasan.

“Oh iya, ruang musik ‘kan kedap suara…” Nora yang baru menyadari hal itu, lalu segera mencari keberadaan sang kucing.

“Mana sih kucingnya, katanya diruang tengah.”

“Meong…. Meong….”

“Duh…. Harus dipancing whiskas nggak sih ini.” Nora terus menelusuri ruang tengah dan berbicara dengan dirinya sendiri untuk mengurangi rasa takut.

“Oh! Ini dia,” celetuk Nora saat menemukan kucing putih dengan bulu tebal terlihat seperti kucing anggora yang menyendiri dipojokan.

Segera gadis itu mengambil kucing putih dan memeluknya gemas. “Kayanya dia haus deh, Gafa dimana ya.”

Nora sudah mengetuk seluruh ruangan tapi tidak ada balasan dari dalam. Tersisa ruangan yang dipojok dekat dengan kucing itu tadi menyendiri, Nora mengetuk pintu berwarna hitam pelan.

“Gaf? Lo ada di dalem ‘kan?” ujar Nora.

Gafa yang mendengar ketukan pintu dari luar membuka sedikit celah pintu. “Udah diambil belum, Nor?” tanya pria tersebut.

“Iya, udah.”

Pintu terbuka lebar menampak ‘kan wajah tegas dan proporsi tubuh tinggi dari seorang Gafa. Terlihat dibelakang pria itu ada banyak alat musik yang tertata rapih.

“Nih kucingnya.” Nora menempatkan kucing tersebut di depan wajah Gafa. Gafa yang alergi dengan bulu kucing otomatis mundur, menjauh dari kucing tersebut.

“Oh, sorry sorry gue lupa,” ucap Nora canggung.

“Gapapa santai.” Gafa tertawa canggung sambil mengaruk hidungnya yang gatal.

“Lo ada air nggak? Ini kucingnya haus butuh minum.”

“Ada ada, sebentar gue ambil.”

Nora mengikuti Gafa dari belakang masih setia dengan mengendong kucing putih. Ia melihat beberapa rangkaian saat Gafa menyiapkan air untuk seekor kucing yang kehausan. “Padahal cuma mengambil air ngapain gue harus perhatiin dia.” Batin Nora.

“Ini airnya. Hatcho..!” Gafa tidak sengaja bersin di depan wajah Nora saat menaruh air di meja konter dapur.

“Eh, sorry sorry nggak sengaja,” lirih Gafa menahan malu di dalam dirinya. Untung tidak ada sebuah ingus yang keluar dari hidungnya, kalau ada lebih malu lagi.

Nora yang kaget menutup matanya lalu mengusap wajahnya dengan tissue yang berada di meja.

“Lo sakit?” tanya gadis yang di depannya melihat hidung Gafa yang memerah dan mata berair.

“Nggak, cuma gatel aja,” jawabnya santai.

“Serius nih?”

“Iya, Nora.”

Nora mengangguk pasrah dan melihat kucing sedang minum dengan sangat kehausan. “Pelan-pelan nggak ada yang mau minum air punya kamu,” ujar Nora tersenyum dan mengelus-elus bulu tebalnya.

Gafa yang mendengar ucapan Nora barusan tersenyum salah tingkah. Padahal gadis itu berbicara dengan kucing bukan dengan dirinya.

“Lo suka kucing, Nor?”

“Suka, dulu gue melihara waktu kecil tapi mati. Gara-gara salah kasih makan.”

“Emang lo kasih makan apa?”

“Kasih makan singkong rebus,” jawab Nora santai tidak ada rasa bersalah.

Gafa tertawa kecil saat mendengar jawaban dari Nora yang terlihat tidak masuk akal. Nora ikut tertawa, Ia sendiri pun juga bingung kenapa dirinya mengasih makanan kucing sama dengan apa yang dulu Papahnya makan saat pagi hari. Mungkin Ia pikir selera kucing sama dengan selera manusia.

“Itu mau dibuang keluar atau gimana?” tanya Gafa yang berdiri tak jauh dari Nora.

“Kayanya ada yang punya deh, ada kalung dileher kucingnya,” jawabnya dengan pandangan yang masih fokus ke kucing.

“Mau dibawa kebawah sekarang?”

“Besok aja deh, ini gue bawa ke apart gue dulu.” Nora bergegas mengendong kucing itu kembali dan bersiap untuk pamit keluar.

“Tunggu sebentar.”

Nora menoleh ke arah Gafa. Melihat pria tersebut membuka lemari pendingin terlihat sedang mencari sesuatu.

“Nih, sebagai tanda terima kasih,” ucap Gafa mengasih sebuah coklat silverqueen yang berukuran sedang rasa almond.

Nora menerima pemberian dari Gafa, lalu mengangkat coklat itu dengan tangan kanan dan tersenyum. “Thanks, ya.”

Gafa mengangguk dan mengantarkan Nora ke depan pintu untuk berpamitan. Sempat jaga jarak untuk menghindar dengan bulu tebal dari si kucing itu.

“Alergi lo serius nggak kambuh?” tanya gadis itu lagi.

“Nggak, ini nanti gue langsung bersih-bersih kok. Besok juga ada podcast bareng lo masa gue sakit,” jawab Gafa. Padahal Ia sedari-tadi menahan rasa gatal hidungnya agar tidak bersin lagi di depan Nora.

Nora menghela nafasnya pasrah dan menyakini dirinya kalau Gafa tidak akan sakit, lalu berpamitan untuk pulang. “Gue balik, ya? See you tomorrow di podcast,” pamit Nora.

See you.” Gafa berdadah-dadah ria di depan Nora dan kucing putih.

Setelah menyelesaikan rapat pertemuan bersama beberapa orang-orang yang Ia sendiri tidak tahu apa yang mereka omongan dari-tadi. Gafa hanya menangkap kalimat, yaitu bahwa dirinya akan melakukan podcast bersama Nora lusa, pantesan saja mananger dari Nora datang hari ini.

Dengan kecepatan sedang, Gafa menginjak pedal mobil sport kesayangannya yang berwarna hitam pekat edisi keluaran terbaru. Sebenarnya pemuda itu sengaja mengendarai mobil sportnya untuk menyehatkan body dari mobil tersebut, pasalnya mobil itu lah yang jarang sekali Ia pakai untuk sehari-hari. Mengingat padat macetnya ibukota yang sangat tidak memungkinkan untuk digunakan sehari-hari, bisa terbakar hangus Ia bersama mobil kesayangannya nanti.

Hanya membutuhkan waktu 15 menit. Gafa turun dari mobil yang terbuka ke atas, dengan outfit berwarna hitam yang ditambahkan dengan jaket levis yang senada dan kacamata hitam, serta topi yang menutupi wajahnya sempurna.

Seluruh penjuru kafe menatapnya dengan tatapan kagum sekaligus heran, mengapa ada seorang berpakaian sangat tertutup saat ke kafe? Hanya seorang Gafabel Halingga. Dengan langkah besar, Gafa menghampiri teman-teman rekan kerjanya yang sudah sampai lebih dulu. Saat tiba dimeja tempat biasanya mereka duduk, Gafa menyapanya dengan ciri khas anak muda zaman sekarang, yaitu tos tinju sebagai tanda pertemanan. Katanya sih gitu.

“Pesen minuman dulu sana,” suruh Thea kepada Gafa. Mengingat Ia hanya baru memesan minuman untuk ketiga temannya.

“Iya nanti deh, nafas dulu gue.”

Bevan yang sedang fokus bermain game dihandphonenya bersama Erick teralihkan. “Kenapa lo? Sakit?” tanyanya dengan kekehan.

Gafa menggelengkan kepala, “Nggak, pusing gue jadwal bakal padet.”

“Dibawa santai aja kali, Gaf. Anggap aja lagi mandi bola.” Erick si paling tertua membuka suara untuk memberi semangat.

“Kalo mandi duit mah gapapa, Bang. Asal jangan mandi bola.”

“Yeh! Kalo gitu gue juga mau kali!” seru Thea dari bangku sebrang.

Mereka berempat tertawa bersama dan bertukar pertanyaan tentang bagaimana dengan pekerjaan masing-masing, apakah berjalan lancar atau tidak. Dan berlanjut sampai tahap membahas tentang hantu-hantu yang ada digedung kantor, tentu saja yang membawa pembahasan tersebut adalah Thea.

“Tapi serius, gue liat ada yang terbang nggak nampak kakinya, cewe lagi.” Thea masih berusaha mendeskripsikan apa yang Ia lihat semalam saat pulang dari studio.

“Ah, ngantuk kali lo itu salah liat,” sangkal Bevan yang masih belum percaya dengan yang Thea jelaskan.

“Tapi katanya bang Aji lorong disitu emang agak horror sih.” Gafa menambah-nambahkan cerita yang Thea ceritakan. Padahal Ia hanya mengarang.

“Gue sering lewat situ kok, tapi nggak ada apa-apa,” ucap Erick.

“Coba sesekali liatin sekitarnya, Bang. Siapa tau ada hal-hal mistis apa yang sering gue liat.”

“Kebanyakan nonton on the spot setiap malem juma’t nih si Thea, jadi anak indigo ‘kan,” ujar Bevan yang masih tidak percaya dengan apa yang Thea bicarakan.

“Hish! Gue serius anjir.” Thea berdecak kesal karena tidak ada satupun temannya yang mempercayai ceritanya, kecuali Gafa.

Memang Thea selalu membahas hal-hal seperti goib atau mistis, apartemen miliknya saja dibilang sarang hantu. Tetapi Gafa tetap memegang prinsip bahwa apartemen-Nya adalah tempat suci, walaupun sebenarnya Ia 60% percaya dan 40% tidak percaya dengan apa yang Thea bilang.

Gafa tertawa lalu meneguk akhir minuman miliknya yang sudah Ia pesan tadi. Dengan sepersekian detik minuman itu tersembur keluar dari mulutnya akibat tepukan keras dipahanya yang buat oleh Bevan.

“Gaf! Gaf! Liat itu deh, Nora bukan sih?” Bevan menepuk paha Gafa kencang sambil menunjuk-nunjuk perempuan berambut panjang dengan bentuk tubuh ramping dan tinggi, terlihat seperti Seinora.

Gafa mengusap mulutnya dengan ujung lengan jaketnya, lalu mengikuti arah pandang yang Bevan tunjuk. Ia lihati sampai bayang-bayang punggung dari gadis itu tidak lagi terlihat.

“Benerkan gue!” seru Bevan.

Gafa masih terdiam mencoba melihat Nora dari tempat duduknya.

“Siapa sih?” tanya Erick penasaran sambil melihat apa yang kedua pemuda itu lihat tadi.

Thea ikut menimbrung. “Siapa siapa?”

“Itu si Nora tadi gue liat,” jawab Bevan.

Erick ber-oh ria dan mengangguk paham dengan situasi sekarang. Sedangkan Thea berdehem seraya menggoda teman-Nya itu.

“Yakali nggak disusul, Gaf,” ujar Thea tertawa kecil.

“Gila kali! Mati gue abis itu.”

“HAHAHAHAHA.”

Agar terlihat seperti tetangga yang baik dan punya itikad mau berkenalan, Nora ingin membawakan makanan untuk unit sebrangnya. Nora dan Elle membawa 2 box donat Jco yang dibawa masing-masing 1 box.

“Pencetin bellnya, Nor,” suruh Elle yang sudah duluan didepan unit sebrang dengan 1 box donat jco ditangan-Nya.

“Lo aja, Le. Takut beneran Om-Om deh gue.” Nora bergedik ngeri, pasalnya dulu Ia pernah bertetangga dengan Om-om yang suka mabuk. Itu sangat menganggu ketenangannya untuk beristirahat.

Elle tertawa menepuk pundak Nora refleks, Ia memang suka menepuk segala hal yang ada disampingnya saat tertawa. Menyebalkan, namun Nora sudah terbiasa dan memaklumi sejak awal berteman dimasa remaja SMA.

“Nih, pegang dulu.” Elle menaruh box donat yang Ia pegang diatas box yang Nora pegang. Elle memencet bell sekali namun tidak ada respon.

“Tidur kali orangnya, balik aja yuk takut ganggu, Le.”

“Nggak mungkin jam segini tidur, tunggu sebentar.” Elle masih memencet bellnya berulang kali. Entahlah, nanti Ia akan kena imbasnya karna menganggu kehidupan orang lain.

“Halo! Ada orang nggak?!” Ella berteriak mengedor-gedor pintu apart tersebut.

“Udah, Le. Orangnya nggak ada, balik aja ayo,” bujuk Nora agar Elle berhenti mengetuk pintu tetangganya. Kalau tetangganya mengira bahwa Ia yang mengedor pintunya, sudah hilang citranya.

Elle menghela nafasnya, “Yok, cabut aja.”

Saat mereka berbalik badan ada suara pintu terbuka. “Ada apa, ya?” tanya pemuda itu.

Nora dan Elle langsung berbalik badan. “Nah, ini dia!” seru Elle saat mendengar suara dari balik pintu. “Loh? Gafa??!”

Nora membelalakan mata, sama kagetnya dengan Elle dan Gafa. Ternyata yang menjadi tetangganya bukan Om-om, melainkan Gafabel. Seseorang yang baru belakangan ini bekerja sama dengannya, sungguh dunia ini sangat sempit menurut Nora.

“Nora? Pindahan kesini?” tanya Gafa linglung, Ia kira yang mengetuk pintu unitnya adalah orang iseng, atau macam-macam setan seperti yang Thea bilang.

“Iya, nih. Baru tadi pindahan,” jawabnya canggung.

Gafa mengangguk ber-oh ria, Ia melirik Elle yang diam membatu menatap dirinya.

Nora yang menyadari itu menyenggol pundak Elle. “Hehehe, temen gue, Gaf. Dia diunit bawah kok.”

“Oh…” Gafa masih bingung atas kedatangan Nora yang tiba-tiba dengan membawa donat box Jco ditangan-Nya.

“Oh, iya. Ini gue bawa Jco buat lo sebagai tanda pertetanggan kita.” Nora memberikan 2 box tersebut ke Gafa.

“Waduh, kebanyakan, Nor. Di apart gue nggak ada yang makan.”

“Ambil aja gap—“

“Gapapa, Gaf. Nora katanya udah kenyang kok tadi makan sebox,” tungkas Elle lalu tersenyum lebar.

“Jangan ngadi-ngadi, Le,” bisik Nora mencubit pinggang Elle.

“Tuh, kata dia gapapa kok, Gaf,” sambungnya.

Gafa melirik keduanya bingung. “Gapapa, nih?”

“Iya, gapapa kok.”

“Gapapa, Gaf.”

Gafa terkekeh lalu menerima 2 box Jco tersebut. “Makasih banyak, ya, Nor.”

“Iya, sama-sama. Maaf ya tadi Elle ketuk pintunya kekencengan, keknya lo ke ganggu.”

Gafa mengaruk tengkuknya canggung, “Nggak kok, tadi gue emang lagi diruang musik, jadi nggak kedengeran.” Gafa mencari alasan supaya Nora tidak merasa tidak enak. Padahal Ia sebenarnya ketakutan mengira itu setan seperti kata Thea.

“Oh… yaudah deh, gue balik ya, Gaf,” pamit Nora menarik Elle yang masih tersenyum lebar didepan Gafa.

“Eh, Nor. Boleh tukeran nomor nggak? Siapa tau gue atau lo ada urgent bisa saling bantu.” Alasan, Gafa sebenarnya ingin mempunyai kontak Nora untuk maksud lain, pdkt misalnya.

“Oh, iya. Boleh kok.”

Gafa mengasih handphone miliknya dan begitu juga dengan Nora. Mereka mengetik nomor telepon masing-masing, sedangkan yang dilakukan Elle masih dengan memandangi ketampanan lelaki didepannya.

“Nah, udah nih.” Nora mengembalikan handphone milik Gafa, dan Gafa juga melakukan hal yang sama.

Thank you, ya sekali lagi. Maaf ngerepotin,” ucap Gafa.

“Nggak, kok. Gue juga nanti siapa tau butuh bantuan lo.”

“Yuk, cabut. Duluan ya, Gaf.” Nora berdadah-dadah ria sambil menarik Elle kembali.

Gafa mengasih jempol, lalu ikut masuk ke dalam unitnya saat melihat tidak ada bayang-bayang gadis itu lagi.

Ia menutup pintu apartnya rapat-rapat, memastikan terkunci aman. Lalu mengepal tangan di udara seraya berkata, “YES, YES, YES. Dunia memang lagi berpihak ke gue deh, makan apa gue semalem bisa dapet tetangganya Nora langsung, bukan makhluk goib lagi.”

Agar terlihat seperti tetangga yang baik dan punya itikad mau berkenalan, Nora ingin membawakan makanan untuk unit sebrangnya. Nora dan Elle membawa 2 box donat Jco yang dibawa masing-masing 1 box.

“Pencetin bellnya, Nor,” suruh Elle yang sudah duluan didepan unit sebrang dengan 1 box donat jco ditangan-Nya.

“Lo aja, Le. Takut beneran Om-Om deh gue.” Nora bergedik ngeri, pasalnya dulu Ia pernah bertetangga dengan Om-om yang suka mabuk. Itu sangat menganggu ketenangannya untuk beristirahat.

Elle tertawa menepuk pundak Nora refleks, Ia memang suka menepuk segala hal yang ada disampingnya saat tertawa. Menyebalkan, namun Nora sudah terbiasa dan memaklumi sejak awal berteman dimasa remaja SMA.

“Nih, pegang dulu.” Elle menaruh box donat yang Ia pegang diatas box yang Nora pegang. Elle memencet bell sekali namun tidak ada respon.

“Tidur kali orangnya, balik aja yuk takut ganggu, Le.”

“Nggak mungkin jam segini tidur, tunggu sebentar.” Elle masih memencet bellnya berulang kali. Entahlah, nanti Ia akan kena imbasnya karna menganggu kehidupan orang lain.

“Halo! Ada orang nggak?!” Ella berteriak mengedor-gedor pintu apart tersebut.

“Udah, Le. Orangnya nggak ada, balik aja ayo,” bujuk Nora agar Elle berhenti mengetuk pintu tetangganya. Kalau tetangganya mengira bahwa Ia yang mengedor pintunya, sudah hilang citranya.

Elle menghela nafasnya, “Yok, cabut aja.”

Saat mereka berbalik badan ada suara pintu terbuka. “Ada apa, ya?” tanya pemuda itu.

Nora dan Elle langsung berbalik badan. “Nah, ini dia!” seru Elle saat mendengar suara dari balik pintu. “Loh? Gafa??!”

Nora membelalakan mata, sama kagetnya dengan Elle dan Gafa. Ternyata yang menjadi tetangganya bukan Om-om, melainkan Gafabel. Seseorang yang baru belakangan ini bekerja sama dengannya, sungguh dunia ini sangat sempit menurut Nora.

“Nora? Pindahan kesini?” tanya Gafa linglung, Ia kira yang mengetuk pintu unitnya adalah orang iseng, atau macam-macam setan seperti yang Thea bilang.

“Iya, nih. Baru tadi pindahan,” jawabnya canggung.

Gafa mengangguk ber-oh ria, Ia melirik Elle yang diam membatu menatap dirinya.

Nora yang menyadari itu menyenggol pundak Elle. “Hehehe, temen gue, Gaf. Dia diunit bawah kok.”

“Oh…” Gafa masih bingung atas kedatangan Nora yang tiba-tiba dengan membawa donat box Jco ditangan-Nya.

“Oh, iya. Ini gue bawa Jco buat lo sebagai tanda pertetanggan kita.” Nora memberikan 2 box tersebut ke Gafa.

“Waduh, kebanyakan, Nor. Di apart gue nggak ada yang makan.”

“Ambil aja gap—“

“Gapapa, Gaf. Nora katanya udah kenyang kok tadi makan sebox,” tungkas Elle lalu tersenyum lebar.

“Jangan ngadi-ngadi, Le,” bisik Nora mencubit pinggang Elle.

“Tuh, kata dia gapapa kok, Gaf,” sambungnya.

Gafa melirik keduanya bingung. “Gapapa, nih?”

“Iya, gapapa kok.”

“Gapapa, Gaf.”

Gafa terkekeh lalu menerima 2 box Jco tersebut. “Makasih banyak, ya, Nor.”

“Iya, sama-sama. Maaf ya tadi Elle ketuk pintunya kekencengan, keknya lo ke ganggu.”

Gafa mengaruk tengkuknya canggung, “Nggak kok, tadi gue emang lagi diruang musik, jadi nggak kedengeran.” Gafa mencari alasan supaya Nora tidak merasa tidak enak. Padahal Ia sebenarnya ketakutan mengira itu setan seperti kata Thea.

“Oh… yaudah deh, gue balik ya, Gaf,” pamit Nora menarik Elle yang masih tersenyum lebar didepan Gafa.

“Eh, Nor. Boleh tukeran nomor nggak? Siapa tau gue atau lo ada urgent bisa saling bantu.” Alasan, Gafa sebenarnya ingin mempunyai kontak Nora untuk maksud lain, pdkt misalnya.

“Oh, iya. Boleh kok.”

Gafa mengasih handphone miliknya dan begitu juga dengan Nora. Mereka mengetik nomor telepon masing-masing, sedangkan yang dilakukan Elle masih dengan memandangi ketampanan lelaki didepannya.

“Nah, udah nih.” Nora memkembalikan handphone milik Gafa, dan Gafa juga melakukan hal yang sama.

Thank you, ya sekali lagi. Maaf ngerepotin,” ucap Gafa.

“Nggak, kok. Gue juga nanti siapa tau butuh bantuan lo.”

“Yuk, cabut. Duluan ya, Gaf.” Nora berdadah-dadah ria sambil menarik Elle kembali.

Gafa mengasih jempol, lalu ikut masuk ke dalam unitnya saat melihat tidak ada bayang-bayang gadis itu lagi.

Ia menutup pintu apartnya rapat-rapat, memastikan terkunci aman. Lalu mengepal tangan di udara seraya berkata, “YES, YES, YES. Dunia memang lagi berpihak ke gue deh, makan apa gue semalem bisa dapet tetangganya Nora langsung, bukan makhluk goib lagi.”

Agar terlihat seperti tetangga yang baik dan punya itikad mau berkenalan, Nora ingin membawakan makanan untuk unit sebrangnya. Nora dan Elle membawa 2 box donat Jco yang dibawa masing-masing 1 box.

“Pencetin bellnya, Nor,” suruh Elle yang sudah duluan didepan unit sebrang dengan 1 box donat jco ditangan-Nya.

“Lo aja, Le. Takut beneran Om-Om deh gue.” Nora bergedik ngeri, pasalnya dulu Ia pernah bertetangga dengan Om-om yang suka mabuk. Itu sangat menganggu ketenangannya untuk beristirahat.

Elle tertawa menepuk pundak Nora refleks, Ia memang suka menepuk segala hal yang ada disampingnya saat tertawa. Menyebalkan, namun Nora sudah terbiasa dan memaklumi sejak awal berteman dimasa remaja SMA.

“Nih, pegang dulu.” Elle menaruh box donat yang Ia pegang diatas box yang Nora pegang. Elle memencet bell sekali namun tidak ada respon.

“Tidur kali orangnya, balik aja yuk takut ganggu, Le.”

“Nggak mungkin jam segini tidur, tunggu sebentar.” Elle masih memencet bellnya berulang kali. Entahlah, nanti Ia akan kena imbasnya karna menganggu kehidupan orang lain.

“Halo! Ada orang nggak?!” Ella berteriak mengedor-gedor pintu apart tersebut.

“Udah, Le. Orangnya nggak ada, balik aja ayo,” bujuk Nora agar Elle berhenti mengetuk pintu tetangganya. Kalau tetangganya mengira bahwa Ia yang mengedor pintunya, sudah hilang citranya.

Elle menghela nafasnya, “Yok, cabut aja.”

Saat mereka berbalik badan ada suara pintu terbuka. “Ada apa, ya?” tanya pemuda itu.

Nora dan Elle langsung berbalik badan. “Nah, ini dia!” seru Elle saat mendengar suara dari balik pintu. “Loh? Gafa??!”

Nora membelalakan mata, sama kagetnya dengan Elle dan Gafa. Ternyata yang menjadi tetangganya bukan Om-om, melainkan Gafabel. Seseorang yang baru belakangan ini bekerja sama dengannya, sungguh dunia ini sangat sempit menurut Nora.

“Nora? Pindahan kesini?” tanya Gafa linglung, Ia kira yang mengetuk pintu unitnya adalah orang iseng, atau macam-macam setan seperti yang Thea bilang.

“Iya, nih. Baru tadi pindahan,” jawabnya canggung.

Gafa mengangguk ber-oh ria, Ia melirik Elle yang diam membatu menatap dirinya.

Nora yang menyadari itu menyenggol pundak Elle. “Hehehe, temen gue, Gaf. Dia diunit bawah kok.”

“Oh…” Gafa masih bingung atas kedatangan Nora yang tiba-tiba dengan membawa donat box Jco ditangan-Nya.

“Oh, iya. Ini gue bawa Jco buat lo sebagai tanda pertetanggan kita.” Nora memberikan 2 box tersebut ke Gafa.

“Waduh, kebanyakan, Nor. Di apart gue nggak ada yang makan.”

“Ambil aja gap—“

“Gapapa, Gaf. Nora katanya udah kenyang kok tadi makan sebox,” tugas Elle lalu tersenyum lebar.

“Jangan ngadi-ngadi, Le,” bisik Nora mencubit pinggang Elle.

“Tuh, kata dia gapapa kok, Gaf,” sambungnya.

Gafa melirik keduanya bingung. “Gapapa, nih?”

“Iya, gapapa kok.”

“Gapapa, Gaf.”

Gafa terkekeh lalu menerima 2 box Jco tersebut. “Makasih banyak, ya, Nor.”

“Iya, sama-sama. Maaf ya tadi Elle ketuk pintunya kekencengan, keknya lo ke ganggu.”

Gafa mengaruk tengkuknya canggung, “Nggak kok, tadi gue emang lagi diruang musik, jadi nggak kedengeran.” Gafa mencari alasan supaya Nora tidak merasa tidak enak. Padahal Ia sebenarnya ketakutan mengira itu setan seperti kata Thea.

“Oh… yaudah deh, gue balik ya, Gaf,” pamit Nora menarik Elle yang masih tersenyum lebar didepan Gafa.

“Eh, Nor. Boleh tukeran nomor nggak? Siapa tau gue atau lo ada urgent bisa saling bantu.” Alasan, Gafa sebenarnya ingin mempunyai kontak Nora untuk maksud lain, pdkt misalnya.

“Oh, iya. Boleh kok.”

Gafa mengasih handphone miliknya dan begitu juga dengan Nora. Mereka mengetik nomor telepon masing-masing, sedangkan yang dilakukan Elle masih dengan memandangi ketampanan lelaki didepannya.

“Nah, udah nih.” Nora memkembalikan handphone milik Gafa, dan Gafa juga melakukan hal yang sama.

Thank you, ya sekali lagi. Maaf ngerepotin,” ucap Gafa.

“Nggak, kok. Gue juga nanti siapa tau butuh bantuan lo.”

“Yuk, cabut. Duluan ya, Gaf.” Nora berdadah-dadah ria sambil menarik Elle kembali.

Gafa mengasih jempol, lalu ikut masuk ke dalam unitnya saat melihat tidak ada bayang-bayang gadis itu lagi.

Ia menutup pintu apartnya rapat-rapat, memastikan terkunci aman. Lalu mengepal tangan di udara seraya berkata, “YES, YES, YES. Dunia memang lagi berpihak ke gue deh, makan apa gue semalem bisa dapet tetangganya Nora langsung, bukan makhluk goib lagi.”

Gadis berambut panjang hitam pekat dengan outfit andalannya, yang berada di sudut sebuah Cafe menghela nafasnya berat. Ia sudah berada disana sejak 30 menit yang lalu, sejak pertama kali Cafe ini dibuka. Dan Nora adalah pembeli pertama dipagi hari ini.

Ia memesan minuman ice americano untuk membuka harinya. Entahlah, apa yang membuat Nora pagi ini meminum sebuah coffee. Mungkin itu akan membuat moodnya kembali, karena tidak jadi pulang ke rumah menemui sang Papah.

Tidak jarang pun ada seseorang yang mengenal gadis itu, walaupun sedang mengenakan masker yang menutup wajahnya. Ada yang sekedar menyapa, memotret dirinya bak paparazi, dan mengajaknya untuk foto bersama. Tentunya Seinora, atau biasa yang dipanggil Nora itu tidak akan pernah menolak, karena mereka lah yang membuat Nora sampai dititik ini.

Setelah mendapatkan pesan chat dari manager. Bahwa, Ia harus segera kembali untuk bersiap diri melakukan pemotretan bersama partner-Nya, yaitu Gafabel Halingga. Nora sudah membuka sebuah sosial media yang bersakutan dengan nama ‘Gafabel’, dengan kata lain mengestalk akun miliknya. Gunanya untuk mengenal seperti apa bentukan Gafabel yang banyak orang perbincangkan bebelakangan ini.

Dengan langkah santainya Nora meninggalkan Cafe tersebut, dan pergi kesebrang gedung. Saat gadis itu memasuki ruang pemotretan ternyata sudah ada Gafa yang sibuk ganti pakaian diruang ganti, sedangkan Nora ditunjuk untuk melakukan make up terlebih dahulu.

“Kenalan dulu sana, Nor.” Giselle mencolek lengan Nora saat melihat Gafa keluar dari ruang ganti.

Nora menjawabnya dengan senyuman canggung. Sesekali gadis itu melirik ke cermin, terkesima dengan aura Gafa yang sedang berjalan ke arahnya, dan berhenti dibelakangnya menatap Nora dari cermin.

“Salam kenal, ya, Nora,” sapa Gafa ramah mengulurkan tangan.

Nora yang sedang dimake up bangkit dari kursi membalas jabat tangan Gafa yang terasa dingin, mungkin Ia grogi. “Salam kenal juga, Ga—?”

“Gafa, panggil aja Gafa.”

Nora tersenyum mengayunkan tangan-Nya sekali lagi. “Okay, salam kenal Gafa.”

Lelaki di hadapannya ikut tersenyum, masih dengan jabat tangan yang belum terlepas.

“Gafa! Kamu foto duluan ya, nanti baru Nora. Selanjutnya foto bareng,” ujar salah satu staff memberi arahan.

“Gue kesana dulu, ya?” Gafa melepaskan jabat tangan. Nora mengangguk tersenyum canggung, lalu Gafa beranjak dari hadapan Nora mengikuti Bang Aji, sang manager.

“Gimana? Okay nggak?” tanya Bang Aji.

“Okay apanya Bang?”

Outfit lo lah! Apalagi emang?”

“Oh… Okay kok Bang, kirain yang lain”

Aji terkekeh menepuk punggung Gafa sebagai tanda menyemangati dirinya.


Saat Gafa sudah pergi dari hadapan Nora, Giselle berdeham meledek Nora iseng. “Salam kenal, ya, Nora,” godanya.

“Kak! Apa sih, aneh!” Nora mendelik tidak suka.

Giselle terkekeh dengan respon Nora yang terlihat kesal. Kemudian Ia kembali berkerja dengan iPad miliknya, untuk merespon chat dari berbagai brand yang mengajak Nora untuk berkerja sama.

Oh, itu yang namanya Gafabel. Kayanya anaknya humble deh…. Eh jangan sok tau, Nora! Lo baru pertama kali ketemu! Siapa tau dia nyebelin kaya Alfared itu. Nora bermonolog.

Gadis berambut panjang hitam pekat dengan outfit andalannya, yang berada di sudut sebuah Cafe menghela nafasnya berat. Ia sudah berada disana sejak 30 menit yang lalu, sejak pertama kali Cafe ini dibuka. Dan Nora adalah pembeli pertama dipagi hari ini.

Ia memesan minuman ice americano untuk membuka harinya. Entahlah, apa yang membuat Nora pagi ini meminum sebuah coffee. Mungkin itu akan membuat moodnya kembali, karena tidak jadi pulang ke rumah menemui sang Papah.

Tidak jarang pun ada seseorang yang mengenal gadis itu, walaupun sedang mengenakan masker yang menutup wajahnya. Ada yang sekedar menyapa, memotret dirinya bak paparazi, dan mengajaknya untuk foto bersama. Tentunya Seinora, atau biasa yang dipanggil Nora itu tidak akan pernah menolak, karena mereka lah yang membuat Nora sampai dititik ini.

Setelah mendapatkan pesan chat dari manager. Bahwa, Ia harus segera kembali untuk bersiap diri melakukan pemotretan bersama partner-Nya, yaitu Gafabel Halingga. Nora sudah membuka sebuah sosial media yang bersakutan dengan nama ‘Gafabel’, dengan kata lain mengestalk akun miliknya. Gunanya untuk mengenal seperti apa bentukan Gafabel yang banyak orang perbincangkan bebelakangan ini.

Dengan langkah santainya Nora meninggalkan Cafe tersebut, dan pergi kesebrang gedung. Saat gadis itu memasuki ruang pemotretan ternyata sudah ada Gafa yang sibuk ganti pakaian diruang ganti, sedangkan Nora ditunjuk untuk melakukan make up terlebih dahulu.

“Kenalan dulu sana, Nor.” Giselle mencolek lengan Nora saat melihat Gafa keluar dari ruang ganti.

Nora menjawabnya dengan senyuman canggung. Sesekali gadis itu melirik ke cermin, terkesima dengan aura Gafa yang sedang berjalan ke arahnya, dan berhenti dibelakangnya menatap Nora dari cermin.

“Salam kenal, ya, Nora,” sapa Gafa ramah mengulurkan tangan.

Nora yang sedang dimake up bangkit dari kursi membalas jabat tangan Gafa yang terasa dingin, mungkin Ia grogi. “Salam kenal juga, Ga—?”

“Gafa, panggil aja Gafa.”

Nora tersenyum mengayunkan tangan-Nya sekali lagi. “Okay, salam kenal Gafa.”

Lelaki di hadapannya ikut tersenyum, masih dengan jabat tangan yang belum terlepas.

“Gafa! Kamu foto duluan ya, nanti baru Nora. Selanjutnya foto bareng,” ujar salah satu staff memberi arahan.

“Gue kesana dulu, ya?” Gafa melepaskan jabat tangan. Nora mengangguk tersenyum canggung, lalu Gafa beranjak dari hadapan Nora mengikuti Bang Aji, sang manager.

“Gimana? Okay nggak?” tanya Bang Aji.

“Okay apanya Bang?”

Outfit lo lah! Apalagi emang?”

“Oh… Okay kok Bang, kirain yang lain”

Aji terkekeh menepuk punggung Gafa sebagai tanda menyemangati.

—-

Saat Gafa sudah pergi dari hadapan Nora, Giselle berdeham meledek Nora iseng. “Salam kenal, ya, Nora,” godanya.

“Kak! Apa sih, aneh!” Nora mendelik tidak suka.

Giselle terkekeh dengan respon Nora yang terlihat kesal. Kemudian Ia kembali berkerja dengan iPad miliknya, untuk merespon chat dari berbagai brand yang mengajak Nora untuk berkerja sama.

Oh, itu yang namanya Gafabel. Kayanya anaknya humble deh…. Eh jangan sok tau, Nora! Lo baru pertama kali ketemu! Siapa tau dia nyebelin kaya Alfared itu. Nora bermonolog.

Gadis berambut panjang hitam pekat dengan outfit andalannya, yang berada di sudut sebuah Cafe menghela nafasnya berat. Ia sudah berada disana sejak 30 menit yang lalu, sejak pertama kali Cafe ini dibuka. Dan Nora adalah pembeli pertama dipagi hari ini.

Ia memesan minuman * ice americano* untuk membuka harinya. Entahlah, apa yang membuat Nora pagi ini meminum sebuah coffee. Mungkin itu akan membuat moodnya kembali, karena tidak jadi pulang ke rumah menemui sang Papah.

Tidak jarang pun ada seseorang yang mengenal gadis itu, walaupun sedang mengenakan masker yang menutup wajahnya. Ada yang sekedar menyapa, memotret dirinya bak paparazi, dan mengajaknya untuk foto bersama. Tentunya Seinora, atau biasa yang dipanggil Nora itu tidak akan pernah menolak, karena mereka lah yang membuat Nora sampai dititik ini.

Setelah mendapatkan pesan chat dari manager. Bahwa, Ia harus segera kembali untuk bersiap diri melakukan pemotretan bersama partner-Nya, yaitu Gafabel Halingga. Nora sudah membuka sebuah sosial media yang bersakutan dengan nama ‘Gafabel’, dengan kata lain mengestalk akun miliknya. Gunanya untuk mengenal seperti apa bentukan Gafabel yang banyak orang perbincangkan bebelakangan ini.

Dengan langkah santainya Nora meninggalkan Cafe tersebut, dan pergi kesebrang gedung. Saat gadis itu memasuki ruang pemotretan ternyata sudah ada Gafa yang sibuk ganti pakaian diruang ganti, sedangkan Nora ditunjuk untuk melakukan make up terlebih dahulu.

“Kenalan dulu sana, Nor.” Giselle mencolek lengan Nora saat melihat Gafa keluar dari ruang ganti.

Nora menjawabnya dengan senyuman canggung. Sesekali gadis itu melirik ke cermin, terkesima dengan aura Gafa yang sedang berjalan ke arahnya, dan berhenti dibelakangnya menatap Nora dari cermin.

“Salam kenal, ya, Nora,” sapa Gafa ramah mengulurkan tangan.

Nora yang sedang dimake up bangkit dari kursi membalas jabat tangan Gafa yang terasa dingin, mungkin Ia grogi. “Salam kenal juga, Ga—?”

“Gafa, panggil aja Gafa.”

Nora tersenyum mengayunkan tangan-Nya sekali lagi. “Okay, salam kenal Gafa.”

Lelaki di hadapannya ikut tersenyum, masih dengan jabat tangan yang belum terlepas.

“Gafa! Kamu foto duluan ya, nanti baru Nora. Selanjutnya foto bareng,” ujar salah satu staff memberi arahan.

“Gue kesana dulu, ya?” Gafa melepaskan jabat tangan. Nora mengangguk tersenyum canggung, lalu Gafa beranjak dari hadapan Nora mengikuti Bang Aji, sang manager.

Giselle berdeham meledek Nora iseng. “Salam kenal, ya, Nora,” godanya.

“Kak! Apa sih, aneh!” Nora mendelik tidak suka.

Giselle terkekeh dengan respon Nora yang terlihat kesal. Kemudian Ia kembali berkerja dengan iPad miliknya, untuk merespon chat dari berbagai brand yang mengajak Nora untuk berkerja sama.

Oh, itu yang namanya Gafabel. Kayanya anaknya humble deh…. Eh jangan sok tau, Nora! Lo baru pertama kali ketemu! Siapa tau dia nyebelin kaya Alfared itu. Nora bermonolog.