chlopyvrsie

Nada dering dari handphone milik Salsa kembali berdering. Nama ‘boyfegas’ tertera di layar handphone tersebut, segera ia mengeserkan tombol hijau untuk mengangkat telepon-nya.

“Udah?” tanya Jergas dari sambung telepon.

“Udah nih.” Salsa menaruh paket tersebut ketumpukan paket lainnya.

“Itu paket siapa, Sal? Kamu?”

“Paket punya Coby, dia emang sengaja ngirimnya ke alamat sini, biar ngga ketahuan mamahnya.”

“Pantesan, aku liat tadi pagi dia lagi bukain paket, aku kira sebanyak itu punya kamu.”

“Sebagian ada punya aku, tapi selebihnya punya dia.”

Jergas ber-oh ria dan menukar posisi tidurnya menjadi duduk, selagi menunggu Salsa balik ke kamar miliknya. Mendengar gadis itu sudah menutup pintu kamarnya, Jergas mendengar suara petir yang berasal dari sambungan telepon.

“Udah tiduran belum? Kecilin AC jangan lupa, terus lampu matiin,” ucap Jergas memastikan pacarnya.

“Udah semua, aku lagi selimutan.” Salsa mengeratkan selimutnya kedinginan.

“Kamu biasanya tidur jam berapa?”

“Aku random sih…. Tapi belakangan ini aku tidur jam 2 pagi.”

“Kamu insomia apa nonton drakor?”

Both sih…”

Jergas terkekeh diujung telepon. “Nanti aku temenin kalo gitu.”

“NGGA, JANGAN!! Nanti malah jam tidur kamu ikut keganggu, aku biasa minum obat dari bunda kok.”

“Iya sewaktu-waktu nanti kalo kamu butuh temen ngobrol, sayang.”

Lalu gadis itu menjawabnya dengan dehaman, seraya berkata ‘iya’.

Hening dalam beberapa menit, hanya ada suara rintikan hujan dan gemuruh petir menyambar cukup keras, serta suara jam yang terus berputar menambahkan kesan horror. Sedangkan yang dilakukan 2 remaja itu, adalah sibuk memikirkan topik pembicaraan. Dengan Salsa mengerutukan kukunya dan Jergas yang memainkan lidah di dalam mulutnya.

“Sal.”

Yang merasa dipanggil namanya berdehem, “apa?”

Love language kamu apa?” Jergas ingin mengenal sang pacarnya lebih dalam.

“Aku quality time sama acts of service, tapi lebih ke quality time sih…. Soalnya aku ngga dapet itu dari keluarga.”

“Nanti setiap hari aku ajak kamu ketemu, Sal. Tenang aja,” celetuk lelaki itu.

“Ya ngga setiap hari juga dong, modus itu namanya.” Salsa terkekeh diakhir kalimatnya.

Jergas ikut terkekeh dengan kalimat yang Ia ucapkan tadi. “Siapa tau kamu mau, iya ‘kan?”

“Mau aja sih…. Tapi nanti takut kamu bosen, soalnya liat komok aku mulu setiap hari.”

Jergas yang mendengar itu, langsung terduduk dari tidurnya. “Ngga lah gila! Siapa juga yang bosen liat muka cantik kamu! Kalo ada yang bilang kek gitu, berarti matanya bermasalah!”

“Aku bilang kek gitu, berarti mata aku bermasalah dong?”

“Iya… bukan kamu! Orang lain maksud aku!”

Salsa tertawa, baru kali ini Ia dan Jergas berbicara panjang lewat via telepon whatsapp. Bukan bertemu dan berbicara secara langsung seperti biasanya.

“Kalo kamu apa, Jer?” tanya Salsa penasaran.

“Aku physical touch sama word of affirmation.”

“Hai, ganteng,” goda Salsa.

“Ngga kerasa itu mah,” ledeknya tertawa.

“Aku lebih suka apel daripada anggur, soalnya aku lebih suka ngapelin kamu daripada nganggurin kamu.”

“HAHAHAHAHA, belajar dari mana kamu, astaga…”

“Dari google, keren ngga?”

“Keren-keren.” Jergas bertepuk tangan sebagai tanda appreciate.

“Seharusnya aku yang gombalin kamu, malah kamu jadi yang gombalin aku.”

“Coba kamu gombalin aku, kalo aku ketawa berarti baper sedikit, kalo aku bilang cringe berarti aku baper banget.”

Karena merasa tertantang Jergas diam sejenak, menata kalimat-kalimat gombalan maut ala dirinya. Padahal satu kalimat pun belum terucap dari sana, tapi Salsa sudah tersenyum-senyum menunggu Jergas berbicara.

Membutuhkan waktu selama 8 menit lamanya, akhirnya Jergas selesai menata kalimat gombalan mautnya.

Jergas berdehem canggung, sedangkan gadis itu tersenyum lebih lebar dari yang tadi.

“Bocil epep always make jedag jedug, why you always make my heart dag dig dug.”

“HAHAHHAHA KENAPA HARUS BOCIL EPEP SIHH!!!”

“Yah ketawa, teman-teman. Kita ulang lagi ya,” ujar Jergas seraya berbicara dengan orang disampingnya, padahal ia sendirian di dalam kamarnya.

“Kenapa Spongebob warna kuning?”

“Karna spon-nya dikasih pewarna makanan kuning,” jawab Salsa ngasal.

“Salah.”

“Karna yang hijau Plankton, yang pink Patcrik, yang merah Mr. Crab, dan yang warna warni itu hari-hari aku bersamamu.”

Salsa refleks tersenyum memukul-mukul bantal yang ada disampingnya. Jergas yang mendengar pukulan-pukulan kecil dari Salsa, mencoba untuk menahan tawa agar tidak ketahuan.

“Eh, kok diem aja,cringe ya, Sal?” tanya Jergas.

“NGGA! itu, anu… Aku lagi beresin kasur! IYA BERESIN KASUR!” Alasan Salsa yang tidak terlihat masuk akal.

Jergas yang tahu Salsa berbohong pun, pura-pura tidak tahu agar Salsa tidak malu.

“Tidur gih, udah malem,” pinta Jergas melihat jarum jam yang sudah menunjukan pukul setengah 12 malam waktu indonesia bagian barat.

“Iya, ini aku mau tidur.”

“Okey, aku matiin ya? Sleep well, Tuan putri.”

Good night and sleep well, Egas!”

Jergas terkekeh mendengar Salsa menyebut namanya dengan sebutan ‘Egas’, dan mematikan sambungan telepon via whatsapp tersebut.

Bunyi sambungan terputus sudah terdengar dari telinga Salsa. Kamar tersebut menjadi serasa sepi. Namun semuanya diganti dengan teriakan salah tingkah dari mulut Salsa.

Nada dering dari handphone milik Salsa kembali berdering. Nama ‘boyfegas’ tertera di layar handphone tersebut, segera ia mengeserkan tombol hijau untuk mengangkat telepon-nya.

“Udah?” tanya Jergas dari sambung telepon.

“Udah nih.” Salsa menaruh paket tersebut ketumpukan paket lainnya.

“Itu paket siapa, Sal? Kamu?”

“Paket punya Coby, dia emang sengaja ngirimnya ke alamat sini, biar ngga ketahuan mamahnya.”

“Pantesan, aku liat tadi pagi dia lagi bukain paket, aku kira sebanyak itu punya kamu.”

“Sebagian ada punya aku, tapi selebihnya punya dia.”

Jergas ber-oh ria dan menukar posisi tidurnya menjadi duduk, selagi menunggu Salsa balik ke kamar miliknya. Mendengar gadis itu sudah menutup pintu kamarnya, Jergas mendengar suara petir yang berasal dari sambungan telepon.

“Udah tiduran belum? Kecilin AC jangan lupa, terus lampu matiin,” ucap Jergas memastikan pacarnya.

“Udah semua, aku lagi selimutan.” Salsa mengeratkan selimutnya kedinginan.

“Kamu biasanya tidur jam berapa?”

“Aku random sih…. Tapi belakangan ini aku tidur jam 2 pagi.”

“Kamu insomia apa nonton drakor?”

Both sih…”

Jergas terkekeh diujung telepon. “Nanti aku temenin kalo gitu.”

“NGGA, JANGAN!! Nanti malah jam tidur kamu ikut keganggu, aku biasa minum obat dari bunda kok.”

“Iya sewaktu-waktu nanti kalo kamu butuh temen ngobrol, sayang.”

Lalu gadis itu menjawabnya dengan dehaman, seraya berkata ‘iya’.

Hening dalam beberapa menit, hanya ada suara rintikan hujan dan gemuruh petir menyambar cukup keras, serta suara jam yang terus berputar menambahkan kesan horror. Sedangkan yang dilakukan 2 remaja itu, adalah sibuk memikirkan topik pembicaraan. Dengan Salsa mengerutukan kukunya dan Jergas yang memainkan lidah di dalam mulutnya.

“Sal.”

Yang merasa dipanggil namanya berdehem, “apa?”

Love language kamu apa?” Jergas ingin mengenal sang pacarnya lebih dalam.

“Aku quality time sama acts of service, tapi lebih ke *quality time sih…. Soalnya aku ngga dapet itu dari keluarga.”

“Nanti setiap hari aku ajak kamu ketemu, Sal. Tenang aja,” celetuk lelaki itu.

“Ya ngga setiap hari juga dong, modus itu namanya.” Salsa terkekeh diakhir kalimatnya.

Jergas ikut terkekeh dengan kalimat yang Ia ucapkan tadi. “Siapa tau kamu mau, iya ‘kan?”

“Mau aja sih…. Tapi nanti takut kamu bosen, soalnya liat komok aku mulu setiap hari.”

Jergas yang mendengar itu, langsung terduduk dari tidurnya. “Ngga lah gila! Siapa juga yang bosen liat muka cantik kamu! Kalo ada yang bilang kek gitu, berarti matanya bermasalah!”

“Aku bilang kek gitu, berarti mata aku bermasalah dong?”

“Iya… bukan kamu! Orang lain maksud aku!”

Salsa tertawa, baru kali ini Ia dan Jergas berbicara panjang lewat via telepon whatsapp. Bukan bertemu dan berbicara secara langsung seperti biasanya.

“Kalo kamu apa, Jer?” tanya Salsa penasaran.

“Aku physical touch sama word of affirmation.”

“Hai, ganteng,” goda Salsa.

“Ngga kerasa itu mah,” ledeknya tertawa.

“Aku lebih suka apel daripada anggur, soalnya aku lebih suka ngapelin kamu daripada nganggurin kamu.”

“HAHAHAHAHA, belajar dari mana kamu, astaga…”

“Dari google, keren ngga?”

“Keren-keren.” Jergas bertepuk tangan sebagai tanda appreciate.

“Seharusnya aku yang gombalin kamu, malah kamu jadi yang gombalin aku.”

“Coba kamu gombalin aku, kalo aku ketawa berarti baper sedikit, kalo aku bilang cringe berarti aku baper banget.”

Karena merasa tertantang Jergas diam sejenak, menata kalimat-kalimat gombalan maut ala dirinya. Padahal satu kalimat pun belum terucap dari sana, tapi Salsa sudah tersenyum-senyum menunggu Jergas berbicara.

Membutuhkan waktu selama 8 menit lamanya, akhirnya Jergas selesai menata kalimat gombalan mautnya.

Jergas berdehem canggung, sedangkan gadis itu tersenyum lebih lebar dari yang tadi.

“Bocil epep always make jedag jedug, why you always make my heart dag dig dug.”

“HAHAHHAHA KENAPA HARUS BOCIL EPEP SIHH!!!”

“Yah ketawa, teman-teman. Kita ulang lagi ya,” ujar Jergas seraya berbicara dengan orang disampingnya, padahal ia sendirian di dalam kamarnya.

“Kenapa Spongebob warna kuning?”

“Karna spon-nya dikasih pewarna makanan kuning,” jawab Salsa ngasal.

“Salah.”

“Karna yang hijau Plankton, yang pink Patcrik, yang merah Mr. Crab, dan yang warna warni itu hari-hari aku bersamamu.”

Salsa refleks tersenyum memukul-mukul bantal yang ada disampingnya. Jergas yang mendengar pukulan-pukulan kecil dari Salsa, mencoba untuk menahan tawa agar tidak ketahuan.

“Eh, kok diem aja,cringe ya, Sal?” tanya Jergas.

“NGGA! itu, anu… Aku lagi beresin kasur! IYA BERESIN KASUR!” Alasan Salsa yang tidak terlihat masuk akal.

Jergas yang tahu Salsa berbohong pun, pura-pura tidak tahu agar Salsa tidak malu.

“Tidur gih, udah malem,” pinta Jergas melihat jarum jam yang sudah menunjukan pukul setengah 12 malam waktu indonesia bagian barat.

“Iya, ini aku mau tidur.”

“Okey, aku matiin ya? Sleep well, Tuan putri.”

Good night and sleep well, Egas!”

Jergas terkekeh mendengar Salsa menyebut namanya dengan sebutan ‘Egas’, dan mematikan sambungan telepon via whatsapp tersebut.

Bunyi sambungan terputus sudah terdengar dari telinga Salsa. Kamar tersebut menjadi serasa sepi. Namun semuanya diganti dengan teriakan salah tingkah dari mulut Salsa.

Cuaca di sore hari ini tidak terlalu buruk, cukup cerah untuk bisa berpiknik. First date kali ini Jergas mengusulkan untuk pergi ke Situ Patenggang, Bandung.

Kenapa harus Bandung? Karena daerah yang cocok untuk berpiknik cuma ada di Bandung, pikir seorang pria itu. Walaupun jarak yang ditempuh dari Jakarta ke Bandung relatif jauh, ke manapun perginya jika ada Salsa disampingnya, tidak terasa waktu terus berlalu.

Perjalanan kali ini tidak memakan banyak waktu, karena ini hari weekday. Tidak terlalu banyak mobil berlalu lalang.

Jergas memegang tas yang berisi cemilan dan minuman. Sedangkan Salsa membawa bunga pemberian dari Jergas, serta tas keranjang rotan yang berisi pizza dan donat.

Setelah menemukan tempat yang cocok untuk melihat pemandangan indah Bandung. Mereka merapikan tempat untuk mengelar kain merah hitam sebagai alas untuk duduk.

Mereka bertukar obrolan satu sama lain. Dari yang bercanda hingga deeptalk bersama. Merasa bosan hanya duduk sambil memakan cemilan dan menonton film Disney selama 2 jam, Jergas mengajaknya untuk menaiki sebuah perahu yang ada di tepi danau.

“Kamu duduk di depan, biar aku yang dayung,” pinta pria tersebut seraya mengambil tongkat dayung yang ada disamping perahu.

Salsa mengikuti perintah sang kekasih, dan duduk di depannya. Jergas mulai mendayungkan tongkatnya ke dalam air, dan perahu tersebut berlayar di danau luas.

Angin berhembus dengan tenang, membuat rambut sang gadis itu berterbangan. Jergas yang berada dibelakangnya pun dapat mencium aroma Vanilla dari rambut pacarnya.

“Seneng ngga hari ini?” tanya Jergas membuka obrolan.

“Seneng!! Seneng banget malah bisa habisin waktu bareng kamu,” seru gadis itu.

Jergas tertawa kecil saat mendengar respon Salsa yang selalu excited saat berbicara dengan dirinya.

“Kok berhenti, Jer?” tanya Salsa bingung saat Jergas tidak lagi mendayungkan tongkatnya.

“Sengaja, aku mau liat pemandangan dari sini,” balasnya melihat disekitarnya terdapat pohon-pohon rindang.

Salsa ber-oh ria. Ia sangat beruntung dibawanya ketempat seperti ini bersamanya untuk pertama kalinya. Salsa awalnya tidak tahu kalau ada tempat seindah ini, apalagi untuk first date. Terlihat sangat mengesankan.

“Aku mau kepang rambut kamu, boleh ngga?” ujar Jergas tiba-tiba.

“Eh? Ehmm—em, boleh k—kok,” ucap Salsa gugup.

“Kok gugup gitu?” ledek Jergas.

“Diem deh.”

Jergas terkekeh, sedangkan yang di depannya menahan malu setengah mati.

Pria tersebut mengeluarkan tissue basah dari kantong celana miliknya, dan membersihkan tangannya.

Merasa ada yang aneh dari Jergas, Salsa pun bertanya, “Kamu ngapain?”

“Bersihin tangan, tangan aku kotor masa pegang rambut secantik itu, nanti rusak,” jelasnya lalu kembali membersihkan tangannya.

“Aku izin pegang, ya?”

“Kalo sakit bilang, biar aku usahain kepangnya ngga sakit,” lanjutnya.

Salsa yang masih tertegun dengan sikap Jergas yang membuat wajah cantiknya itu merah padam, hanya membatu diam seribu bahasa.

Tidak ada respon dari gadis tersebut, Jergas pun menyisir pelan rambut Salsa menggunakan tangannya.

Suara burung serta ikan yang meramaikan suasana dari kedua pasangan tersebut membuatnya merasa ada di dunia tahun 80an.

Pria itu mengepang rambut pacarnya dengan telaten, agar terlihat rapih dan cantik. Sedangkan yang gadis itu lakukan sekarang adalah mengasih makan ikan-ikan, sembari menunggu sang kekasih selesai mengepang rambutnya.

“Kamu sagitarius, ya?” tanya Jergas.

Salsa menggeleng, “Salah, tebak lagi, kalo bener nanti aku kabulin satu permintaan kamu.”

Jergas berdehem seraya memikir, “Aquarius?”

“BENER!! Tebak tanggal berapa?!” seru gadis itu.

“Januari atau februari, nih?”

“Februari!”

Jergas berpikir keras agar tebakannya kali ini tidak akan melesat. “14 februari bukan?”

Salsa menganga tidak percaya, bahwa tebakan Jergas sangat tepat.

“Bener ngga?” tanyanya memajukan kepalanya disamping Salsa.

“Bener…” ucap Salsa melirik mata Jergas.

Jergas tersenyum jahil dan kembali mengepang rambut sang puan yang hampir selesai.

“Kamu mau minta apa?” ujar Salsa.

Kiss,” ucap Jergas tanpa berpikir panjang.

Salsa berdehem canggung saat Jergas mengucapkan kata ‘kiss’ itu. Sementara Jergas menahan tawanya melihat gadis itu terlihat canggung.

Kepangan demi kepangan akhirnya selesai. Jergas menyuruh Salsa untuk berbalik badan menghadap ke dirinya.

You’re so pretty,” puji Jergas saat melihat hasil kepangan-nya yang menambah kesan cantik diwajah Salsa.

Dengan wajah merqh padam Salsa tersenyum senang, “Thank you.

Jergas membalas senyuman itu dan terus menatap Salsa yang terlihat seperti bidadari.

“Jangan liatin aku mulu!” protes Salsa.

“Loh, kenapa?”

“Malu…” ucap Salsa dengan suara kecil.

Jergas yang sudah tidak dapat menahan gemas dengan tingkah Salsa, mengisyaratkan meminta izin untuk mencium lewat kontak mata satu sama lain.

“Boleh?” tanya pria itu.

Salsa mengangguk seraya mengizinkan-nya untuk menciumi dirinya.

Jergas maju 1 sentimeter untuk berdekatan dengan wajah Salsa. Menatap buah bibir yang berwarna peach membuatnya semakin ingin mencobanya.

Tanpa perasaan ragu Jergas mengecup bibir milik sang kekasih yang lama-lama menjadi suatu lumatan-lumatan kecil.

Salsa mengikuti cara Jergas yang menuntunnya larut dalam ciuman tersebut. Walaupun ini ciuman pertama bagi Salsa, yang awalnya membuatnya gugup menjadi candu.

Angin yang berhembus serta burung dan ikan menjadi saksi mereka bercumbu kasmaraan untuk pertama kalinya dengan status yang resmi.

Setelah memarkirkan mobil di depan rumah sang kekasih, lelaki itu turun menyapa perempuan yang sedang siram tanaman.

“Selamat pagi,” sapa Jergas ramah.

“Pagi, Mas. Ini pacarnya Salsa ‘kan? Masuk aja langsung ke atas,” ujar Bibi Hasnah.

“Gapapa emangnya, Bu, kalo saya langsung ke atas?” tanyanya.

“Gapapa, Mas. Bangunin aja, kalo mau minta temenin Coby, sepupu Salsa ada di dalam.”

Jergas mengangguk paham dan meminta izin untuk masuk ke dalam. Langkah kaki lelaki itu masuk ke dalam kediaman sang kekasih, melihat sekitar di dalamnya begitu takjub dengan furniture berwarna putih.

Di sisi lain ia melihat ada setumpukan paket berjajar, Jergas cukup kaget. Salsa beli apa sebanyak ini?

Sampailah langkah itu ke ruang keluarga, melihat ada seorang lelaki yang ia ketahui pasti itu sepupu Salsa.

“Hai, nama kamu Coby ‘kan?” tanya Jergas.

Coby tidak menjawabnya sama sekali sibuk dengan dunia gamenya.

“Temenin aku yuk bangunin Kak Salsa,” ajak Jergas namun Coby tetap tidak menghiraukannya.

“Nak ganteng, temenin mas ini bangunin Kak Salsa yuk. Bibi mau masak nih,” ujar Bibi Hasnah yang datang dengan bahan masakan di tangannya.

Coby berdecak kesal dan menyuruh Jergas untuk mengikuti dirinya. Jergas menelan saliva sepertinya Coby kesal di ganggu saat bermain game.

Coby mengetuk pintu kamar Salsa, “Kak, ada yang nyariin nih,” kata Coby sedikit berteriak.

“Masuk aja bang,” ucap Coby dingin.

“Eh, jangan ini ‘kan kamar perempuan.”

“Oh iya,” Coby mengetuk pintu lagi dan memasuki kamar Salsa yang sangat gelap.

Jergas menunggunya di depan kamar Salsa. “Baru sepupunya Salsa, Jer. Belum bunda sama ayahnya.” batin Jergas mengelus dada.

“Kak! Kak Salsa bangun buruan, ada cowo itu nyariin,” ucap Coby menarik-narik selimut Salsa.

“Kak buruan! Aku disuruh mama beli keperluan rumah sama kamu,” teriak Coby berusaha membangunkan sang kakak sepupu.

“Jam berapa sekarang…?” tanya Salsa dengan suara khas baru bangun.

“Jam 8! Buruan mandi cepetan! Ada cowo itu nyari kamu.”

Salsa yang tahu siapa cowo yang dimaksud Coby pun buru-buru lari ke kamar mandi untuk bersiap.

Sungguh pasti Jergas akan marah karena ia yang terlambat untuk bangun. Semalam Salsa keasikan dengan drama korea yang ia tonton sampai lupa waktu, ia tidur di jam 2 pagi hari.

Coby menutup pintu kamar Salsa dan melihat lelaki yang tingginya tak terlalu jauh dengannya. “Udah bangun Kak Salsanya, nunggu aja bang dibawah.”

Jergas mengangguk dan mengikuti Coby turun kebawah. Coby kembali sibuk dengan game yang ada di handphonenya.

“Abang temennya Kak Salsa?” tanya Coby tiba-tiba.

“Bukan, aku pacarnya,” jawab Jergas canggung.

Coby refleks menatap Jergas kaget. Setahu dirinya Salsa tidak pernah berpacaran, pernah tapi sama Harsan sewaktu sd.

“Seriusan, Bang?”

Jergas terkekeh dengan respon Coby, “Iya serius dong.”

Coby menggelengkan kepalanya tidak percaya kalau sepupunya bisa berpacaran, padahal Ayah Salsa menurutnya sangat galak.

“Sejak kapan, Bang?” tanyanya lagi.

“Baru-baru ini kok.”

Coby ber-oh ria lalu kembali sibuk dengan gamenya. Jergas mengintip sedikit melihat Coby sedang bermain “Mobile Legends” dihandphonenya.

“Rank kamu apa, By?” tanya Jergas membuka obrolan lagi.

“Epic 2, Bang. Kemarin baru season juga.”

Jergas mengangguk paham, “Ayo main bareng, aku gendong nih.”

“Emang rank punya abang apa?”

“Aku legend 1 nih, otw mythic.”

“Cepet banget naiknya, Bang,” ujar Coby tidak percaya.

“Iya aku ‘kan main bareng sama temen,” jawab Jergas terkekeh.

“Sama si Harsan ya?”

“Loh? Kamu kenal Harsan?”

“Kenal, aku sering mabar sama dia dulu. Tapi sekarang dia ngga pernah ngajak lagi, sombong.”

“Pantesan dulu Harsan bilang ada bocil smp yang ngajakin dia main bareng, ternyata kamu.”

Coby mengangguk, “Ayo, Bang. Main bareng sekalian nunggu Kak Salsa turun.”

“Ayo.”

Jergas menganggap pendekatan dirinya dengan Coby adalah peluang yang besar untuk dirinya, agar lebih dekat mengenal Salsa dalam waktu dekat ini.

Setelah selesai membersihkan diri sehabis bermain hujan-hujanan bersama Jergas. Salsa turun menghampiri sang kekasih yang baru resmi beberapa jam yang lalu.

“Kok udah bersih, Jer?” tanya Salsa saat melihat kepingan vas yang hancur sudah tidak ada.

“Udah gua bersihin tadi,” jawabnya.

“Kenapa ngga bersihin bareng-bareng?”

“Bahaya, Sal. Kena tangan lo nanti berdarah.”

“Lebay ah,” ujar Salsa lalu duduk di sebelah Jergas.

Mereka menghabiskan indomie goreng dengan menonton film dari layar TV yang ada di ruang keluarga. Tiba-tiba handphone milik Salsa bergetar dan menampilkan nama.

Ayah is calling

Salsa segera mengangkat panggilan Video Call tersebut dan melambaikan tangan ke kamera.

“*Selamat malam, Putriku,” sapa Ayah dengan tangan yang berada disamping dahi seraya hormat.

Salsa terkekeh dan mengikuti gerak sang Ayah, “Selamat malam, Ayah.”

Jergas yang mendengar kata Ayah pun keringat dingin, mengingat kata Harsan kalau Ayah Salsa adalah seorang TNI yang terbilang orang penting.

“*Ayah dengar kamu lagi di puncak, ya?” tanya Ayah melihat yang ada disekitar Salsa.

“Iya, Yah. Aku pulang besok pagi kok.”

Ayah mengangguk paham, “Disana ada siapa saja?” tanyanya.

“Aku lagi sama Jergas, Yah. Kalo Harsan sama Wawa lagi keluar sebentar,” jawab Salsa tanpa ragu.

Siapa Jergas, Nak? Ayah baru mendengar namanya, temen baru kamu?

“Temen.”

“Pacarnya, Om.”

Salsa dan Jergas saling tukar pandang. Salsa dengen ekspresi yang terkejut. sedangkan Jergas hanya cengegesan.

Salsa menelan salivanya kasar lalu kembali menatap Ayah yang ada di kamera.

Jadi teman atau pacar nih?” tanyanya sekali lagi.

“Pacar, Yah.”

“Temen, Om.”

Suara tawa Ayah terdengar dari panggilan Video Call tersebut membuat keduanya sangat panik.

Coba mana yang namanya Jergas, Ayah pengen lihat.

Salsa menatap Jergas seraya menyuruhnya untuk duduk berdekatan agar wajah Jergas terlihat.

“Hai, Om. Selamat malam,” sapa Jergas dengan senyuman ramah.

Selamat malam, Nak Je—?

“Jergas, Om. Jergas Safiktra,” jelas Jergas dengan nada gugup.

Salsa yang disebelahnya menahan ketawa melihat Jergas begitu tegang berbicara dengan sang Ayah.

Nah, Nak Jergas saya mau bertanya boleh?

“Siap! Boleh, Om. Tanya saja nanti saya jawab semaksimal mungkin.”

Salsa tertawa mencubit pinggang Jergas, “Biasa aja kali, Jer,” ujar Salsa.

Jergas menanggapinya dengan tawa kecil karena ia harus menjaga image di depan sang calon mertua.

Benar kamu pacar putri saya?” tanya Ayah dengan nada tegas.

Siap! Benar, Om.

Kamu bisa menjaga perasaan putri saya?

“Siap! Bisa, Om. Hanya ada Salsa di dalam hati saya.

Salsa yang berada disebelah Jergas hanya tersenyum-senyum mendengar cara Jergas menjawab pertanyaan dari Ayah.

Kamu siap bersedia menemani putri saya disaat ia kesulitan dan tidak ada saya disana?

“Siap! Bersedia, Om.” jawab Jergas sekali lagi.

Oke cukup, saya pegang omongan kamu. Sekarang saya akan bertanya soal kenegaraan.

Jergas menatap Salsa memberi sinyal apa yang akan ditanya oleh sang calon mertua.

“Jawab aja, sebisa lo,” kata Salsa tanpa suara menjauh dari kamera agar tidak terlihat oleh Ayah.

Boleh saya tanya, Nak?” tanyanya memastikan.

“Eh, tanya aja om. Hehehe,” ucap Jergas gugup.

Ayah tersenyum, “Apakah kamu setuju dengan ideologi komunis?

Jergas menelan saliva kasar, ia tahu jawabannya. Namun, takut jika ia salah dan hanya mempermalukan dirinya.

Bisa dijawab, Nak?

Salsa yang merasa Jergas takut untuk menjawab pertanyaan pun mengambil alih handphone miliknya. “Ayah udah ada hubungi bunda belum? Kok aku ngga dichat ya sama bunda.”

“Siniin, Sal. Aku mau jawab,” ujar Jergas tegas.

Salsa yang mendengar nada bicara Jergas hanya pasrah dan kembali mengasih handphonenya ke Jergas.

Sudah tahu jawabannya?

Jergas mengangguk, “Saya tidak setuju dan menolak keras ideologi komunis, karena itu sangat bertentangan dengan dasar negara dan ideologi negara,” jawab Jergas percaya diri.

Ayah mengernyitkan dahi seraya berpikir setelah mendengar jawaban dari Jergas. Jergas yang melihat ekspresi Ayah Salsa langsung mendundukkan kepala, pasti ia salah menjawab pertanyaan ini.

Salsa mengelus-elus tangan Jergas dari kolong meja agar Jergas lebih sedikit tenang disaat Ayah akan menjawab itu benar atau tidak.

Kamu serius dengan jawaban kamu?

Jergas menelan saliva gugup, “I-Iya, Om.”

Ayah tersenyum dan bertepuk tangan. Kaget dengan ekspresi Ayah yang tiba-tiba berubah, membuat Jergas tersenyum dan berasa jawaban dia pasti benar.

Benar, dua jempol buat kamu, Nak,” ucap Ayah.

“Kirain saya salah, Om,” kata Jergas dengan senyumannya.

Tidak, jawaban kamu sudah tepat.

“Jergas udah ketakutan juga ini,” adu Salsa ke Ayah.

“Bohong, Om. Mana ada saya ketakutan,” sangkal Jergas cepat.

Ayah tertawa melihat dua remaja di depannya ini berinteraksi satu sama lain.

Tin, tin

Suara mobil milik Jergas membuat keduanya melihat ke arah sumber suara, yang sudah pasti itu Harsan dan Wawa yang sudab kembali.

“Malam dua sejoli, saya datang membawakan makanan,” Suara itu yang sudah pasti si Harsan yang datang dari pintu depan dengan 2 box pizza di tangannya.

Harsan dan Wawa menghampiri keduanya yang berasa di ruang keluarga. Jergas dan Salsa hanga berdiam diri mengingat kejadian vas yang pecah tadi.

“Lagi Video Call sama siapa?” tanya Harsan duduk dibelakang antara mereka.

“*Harsan! Darimana saja kamu baru pulang jam segini,” tegur Ayah dari telpon.

“Waduh Om, Ketemu temen lama tadi sekalian beli makan,” jawabnya.

Ayah mengangguk paham, “Kamu sama Jergas mau saya kasih pertanyaan lagi tidak?

“Jergas udah dikasih pertanyaan duluan tadi, Om?”

Udah tadi, bisa menjawab kok dia.

“Widih, lolos dong berarti?” canda Harsan menepuk pundak Jergas dari belakang.

Lolos, gimana mau tidak?

“Lanjut nanti, Yah. Mau makan dulu ini,” sangkal Salsa agar tidak diperpanjang soal-soal dari Ayah.

Oh iya sudah malam, ya sudah kalian lanjut dulu, jangan lupa istirahat.

“Iya, dadah Ayah.”

“Dadah, Om. Ditunggu pertanyaan selanjutnya nanti,” kata Jergas melambaikan tangan ke kamera.

Siap, ditunggu ya!

Panggilan dimatikan oleh Ayah dan akhirnya Jergas dapat menghela nafasnya berat.

“Tegang amat, abis diapain lu, Jer?” tanya Wawa yang dari dapur membawa gelas air.

“Di sidang sama Ayah, Wa,” ujar Salsa tertawa melihat Jergas bersandar di pundaknya.

“Loh? Emang ngapain sampe disidang gitu?” tanya Harsan.

“Gua pacaran sama Salsa, makanya disidang,” jawab Jergas dengan nada lemas.

“HAH??!!”

“HAH??!! YANG BENER LO?”

Sudah pasti mereka akan kaget mendengar ini, siapa juga yang tidak kaget? Baru ditinggal keluar udah jadian aja.

“Kapan jadiannya anjir?” tanya Harsan.

“Emm kapan ya? Dua jam yang lalu deh,” kata Salsa.

“Akhirnya Salsa udah ngga jadi secret admirer Jergas lagi,” ujar Wawa.

“Diem deh.”

Mereka merayakan hari jadian Jergas dan Salsa dengan memakan pizza yang dibawa Harsan pulang. Namun, sepertinya ini bukan waktu yang pas untuk mengasih tahu perihal vas yang pecah itu.

Setelah mendatangi beberapa cafe dan mencobai berbagai minuman bersama Jergas, Salsa dan Jergas memutuskan untuk balik ke Villa karena hari sudah mulai gelap.

Harsan dan Wawa sudah siap untuk keluar untuk date malam hari ini, sekalian nongki bertemu dengan kawan lama di warung patra.

“Mau ikut ngga, Jer?” tanya Harsan menghampiri Jergas yang sedang mengambil air putih.

“Mau kemana lo malem-malem gini?” tanyanya balik melihat pakaian Harsan dari atas sampai bawah.

“Pacaran lah! Ngapain lagi kalo bukan pacaran,” seru Harsan menepuk pundak Jergas.

“Uhuk! Anjing gua lagi minum!” gertak Jergas kesal.

Harsan tertawa terbahak-bahak melihat Jergas yang kesusahaan untuk minum air untuk menghilangkan batuknya.

“Gua mau ke warpat atas, ikut kaga lo?” ajak Harsan sekali lagi.

“Salsa ikut ngga?”

Harsan berdecak pinggang. “Bucin emang.”

Jergas cengengesan dan mengikuti Harsan yang mau menemui Salsa yang sedang bermain bola basket sendirian dilapangan.

“Sal! Mau ikut ngga ke warpat,” seru Harsan yang dari depan lapangan.

“Ngga ikut, bau rokok disana,” jawabnya yang sedang mendribling bola, tanpa melihat ke arah Harsan dan Jergas.

“Gua juga ngga ikut, San,” timpal Jergas menepuk pundak Harsan dan memasuki lapangan, dengan sepatu yang sudah ia pakai untuk menemani Salsa bermain bola basket.

“Dasar bucin,” desis Harsan lalu pergi meninggalkan mereka dan menemui sang kekasih.


Sudah setengah jam Jergas dan Salsa bermain bola basket bersama. Namun Salsa baru mendapatkan point 8, sedangkan Jergas mendapatkan point 12 untuk kali ini.

Jergas mengambil alih basket yang di tangan Salsa, lalu dibawanya memutari lapangan yang di ikuti Salsa berusaha merebut bola itu kembali.

Nyatanya Salsa tidak bisa mengikuti langkah lebar Jergas dan keburu bolanya sudah dimasuki ke dalam tiang ring oleh Jergas.

“Udah ah! Capek gue,” keluh Salsa ngos-ngosan dan merebahkan diri dilapangan.

Jergas terkekeh lalu mengambil botol minum yang ada dipinggiran lapangan.

“Minum dulu nih,” ucap Jergas seraya mengasih botol minum untuknya.

Salsa terduduk meraih botol minum tersebut dan meneguknya dengan rasa hausnya.

Jergas merebahkan diri disebelah Salsa dan menutup wajahnya dengan tangan kanannya karena silau dari cahaya lampu.

“Nih, ngga mau minum?” tawar Salsa seraya mengasih botol minum di depan wajah Jergas.

“Taro aja disitu, nanti gua minum.”

Salsa mengangguk paham, lalu ikut merebahkan diri disamping Jergas. Melihat bintang-bintang bertaburan dengan cantik membuat Salsa terkagum.

‼️PLAY LAGUNYA‼️

“Liat deh langitnya, bagus banget! Banyak bintang,” ujar Salsa menunjuk langit-langit.

Jergas menyingkirkan tangan yang menutup wajahnya. Benar, langit malam hari ini begitu cantik sama seperti kemarin malam.

The stars is beautiful isn’t it?” ujar Jergas menoleh menghadap Salsa.

Whats means?” tanya Salsa menatap netra Jergas yang sedang menatapnya balik.

I like you.

Salsa membatu saat mendengar perkataan ’I like you’ muncul dari bibir Jergas. Ia sangat tidak mempercayai bahwa Jergas menyukai dirinya.

“Lupain,” ucap Jergas lalu mengalihkan pandangannya ke langit-langit.

“Sejak kapan?” tanyanya.

Since we became acquainted with each other, maybe?” Jergas menghela nafasnya berat. “Sorry…

Sorry for what?” tanya Salsa terkekeh.

“Lo kan lagi suka sama orang lain, tapi gua malah ngomong gini ke lo,” ucap Jergas dengan nada kecewa.

Salsa tertawa sambil memegang perutnya sakit karna tawanya.

“Hadehh, Jer! Mau tau ngga siapa orang yang gue suka 3 tahun itu?”

Jergas menoleh lagi menatap Salsa. “Siapa?”

“Jergas Safiktra namanya, baguskan?!!” seru Salsa yang masih tertawa.

“Lah??!! Serius lo??”

“Iya serius! Hahahaha.”

Mereka mentertawai kesalah pahaman Jergas, bahwa Salsa menyukai seseorang padahal orang itu tidak lain dan tidak bukan ia lah Jergas Safiktra.

“Selama itu, Sal? Kok lo sanggup tanpa bilang ke gua lagi” tanya Jergas bertubi-tubi.

Salsa mengangguk tersenyum, “Namanya juga suka, jadi gue nunggu lo sama Zille putus dulu. Bahkan sampe lo sembuh dengan luka lo.”

Jergas dibuat kagum dengan Salsa yang menyukai dirinya dengan rasa sesabar itu. Bahkan rela menunggunya sampai benar-benar lupa dengan sosok Zille.

“Kalo bisa ngasih jempol seribu, gua kasih deh buat lo, Sal,” kata Jergas disambung dengan tawanya.

“Lebay ah! Biasa aja kali, buktinya gue masih disini. Masih suka sama lo.”

“Kalo udah ngga suka, lo bakal gimana?”

“Bakal kabur lah,” canda Salsa bangkit dari tidurnya berlari ke area lapangan.

Jergas berdiri mengejar Salsa yang sedang berlarian kesana kemari dengan tawanya.

“Sini kejar kalo bisa!” ledek Salsa yang masih berlarian.

“Tantangin nih?”

“Iya! Kalo berhasil nangkep gue dapet hadiah!”

“Apa tuh hadianya?”

“Jadi pacar Salsa!” seru Salsa dibarengi dengan tawanya.

Jergas tersenyum miring, ia merasa tertantang pun berlari mengejar Salsa yang larinya semakin cepat.

Salsa yang kecapekan memperlambat larinya. Karena ia sudah memutari 4x lapangan, namun Jergas belum hasil menangkapnya.

Saat melihat lari Salsa mulai melemah Jergas langsung berlari sekuat tenaga, dan berhasil menangkap Salsa ke dalam pelukannya.

Salsa yang merasa dipeluk dari belakang pun kaget dan memberhentikan langkahnya.

“Udah berhasil di tangkep nih, jadi gimana?” tanya Jergas yang memeluk pundak Salsa dari belakang.

Salsa masih membatu tidak tahu mau ngapain. Jergas melepaskan tangannya dari pundak Salsa, beralih ke depan berhadapan langsung dengannya.

Wanna try be my priority?” ucap Jergas menundukan sedikit kepalanya agar dapat melihat wajah Salsa.

If you want it, put your hand on my shoulder.

Dengan wajah merah padam Salsa menaruh tangannya ke pundak Jergas dengan rasa gugupnya.

And then say…?

I want to be your priority, Jer…”

You got it, Babe…” ujar Jergas gemas lalu membawa Salsa ke dalam pelukannya.

Salsa membalas pelukan itu erat sama dengan rasa senangnya. Akhirnya cita-cita ingin menjadi seseorang yang dicintai oleh Jergas tercapai malam hari ini.

Rintik-rintik air hujan sudah mulai turun membasahi keduanya yang masih berpelukan erat.

Hujan semakin deras, Jergas membawa Salsa ke tepi lapangan untuk berteduh sebentar. Namun Salsa malah berlari kembali ke lapangan dengan senyuman cantiknya mengajak Jergas untuk hujan-hujanan.

“Balik sini, Sal. Hujan, nanti sakit!” perinta Jergas dengan sedikit teriak.

“Sakit sekali aja! Sini kita main hujan-hujanan!” ajak Salsa lompat-lompat kesenengan.

Melihat Salsa yang bersemangat untuk bermain hujan-hujanan, Akhirnya Jergas menurutinya dan mengikuti Salsa untuk bermain hujan-hujanan.

Mereka berdansa dibawah hujan deras, seperti saat di prom malam hari itu. Dengan Jergas yang menuntun Salsa ke dalam langkahnya, Jergas mengangkat tangan Salsa untuk berputar dan Salsa berputar bak princess yang sedang bernari.

“Cantik,” puji Jergas saat mereka sudah sampai dipenghujung tarian dansa.

“*Thank you, Mr. Jergas”

Empat sekawan sudah memasuki area rekreasi, namun hanya tertinggal Salsa yang masih di dalam mobil mencari sebuah jaket.

Harsan dan Wawa sudah masuk lebih dahulu meninggalkan Jergas dan juga Salsa yang masih di parkiran mobil.

“Pake jaket gua aja nih, ketinggalan kali jaket lo,” ujar Jergas seraya mengasih jaket miliknya ke Salsa yang masih mencari-cari jaketnya ke kursi belakang.

“Ih masa si tiba-tiba ngga ada gitu aja,” gerutu Salsa keluar dari mobil.

Jergas menghela nafas dan memakaikan jaket miliknya ke pundak Salsa. “Udah, ‘kan? Ayo masuk.”

Salsa mengangguk dan jalan berdampingan dengan Jergas.

Malam hari ini judulnya adalah Stargazing di Ranca upas. Banyak yang bilang katanya tempat ini bagus ketika malam hari, dan itu yang memaksa Wawa untuk datangi tempat ini, walaupun jaraknya sangat jauh dengan Villa yang mereka inapi.

“Jer, l-lo ngga k-kedinginnan ‘kan?” tanya Salsa yang memeluk dirinya dengan jaket milik Jergas.

“Ngga kok, gua kan pake hoodie,” jawab Jergas ketawa kecil melihat Salsa berjalan kedinginan.

Udara malam hari disini begitu sangat dingin mencapai 12 derajat kedinginannya, namun semuanya terkalahkan saat melihat langit-langit malam dari atas sini.

Langsung keduanya mencari tempat duduk yang nyaman dan tidak begitu ramai untuk melihat pemandangan indah ini.

“Cantik, Sal.”

“Iya makasih,”

“Eh? Iya langitnya emang cantik banget,” ucap Salsa mengalihkan ucapan yang salah diawal.

Jergas yang sedang memandang langit-langit terkekeh, “Ngga, lo emang cantik.”

“Jangan ngga jelas, Jer,” hardik Salsa menenggelamkan wajah malunya di jaket besar milik Jergas.

Setelah itu Keduanya menjadi canggung, tidak mau membuka obrolan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jergas yang mempunya selintas ide jahil pun iseng ingin mengerjai Salsa.

“Sal! Sal!! Awas itu ada uler!! Bangun bangun!!” seru Jergas menakut-nakuti Salsa.

“Hahh?!! Dimana ulernya!! Dimana!!” Salsa berdiri menjauh dari tempat duduknya.

“Jer!! bangun awas kena patok!!!” teriaknya sambil menyenteri cahaya dari handphone.

Jergas tertawa terbahak-bahak melihat Salsa ketakutan, ia berhasil menipunya.

“Sini Sal duduk lagi sini,” pinta Jergas yang masih tertawa.

“Ngga! Usir dulu itu ulernya, baru gue duduk situ.” gelak Salsa menunjuk tempat duduknya.

“Hahahaha! Ngga ada ulernya udah kabur.”

“Bohong.”

“Seriusan, orang gua cuma bercanda.”

“Sumpah lo?!! Ngeselin banget anjir,” omel Salsa menjewer telinga Jergas sampai memerah.

“Akhh! Iya iya ampun,” keluh Jergas memegang tangan Salsa.

Jergas berhasil menghancurkan kecanggungan tadi menjadi canda tawa dari keduanya.

“Jer.” panggil Salsa.

“Kenapa?” Jergas menoleh menatap netra Salsa.

“Menurut lo wajar ngga si suka sama orang 3 tahun, tapi dia ngga berani confess?”

“Waduh, itu si menurut gua wajar-wajar aja, Sal. Siapa tau dia emang punya alasan tersendiri, tapi kalo udah selama itu si mending kasih tau aja daripada mendem perasaan lama-lama ngga baik,” jelas Jergas panjang.

“Dianya siapa nih kalo boleh tau? Lo bukan?”

“Iya, gue.”

“Bisa suka sama orang juga si Salsa,” candanya.

“Bisa lah! gue kan juga manusia.”

“Siapa, Sal?” tanyanya.

“Apanya?” Salsa menoleh mengerutkan dahi.

“Orang yang lo suka.”

Salsa hanya menjawabnya dengan mengangkatkan bahu, tidak ingin Jergas tahu perihal perasaan yang ia pendam selama 3 tahun belakangan ini. Belum saatnya Jergas tahu.

Yang disebelahnya mengangguk kecewa paham itu adalah privasi Salsa yang seharusnya ia tidak menanyakannya.

“Sal.” panggil Jergas membuka obrolan

“Hm?” sautnya yang kedinginan.

“Lo paling ngga suka kalo orang ngelakuin hal apa?”

Salsa mengetuk dahinya dengan jari kecilnya seraya berpikir. “Gue paling ngga suka orang yang ngerokok buang putungnya sembarangan,” kata Salsa.

“Dengan kata lain, lo juga ngga suka orang ngerokok ya?”

Salsa menggeleng, “Bukan ngga suka, itu kan juga hak masing-masing orang, Jer. Tapi yang disayangkannya itu buang putungnya sembarangan!” balasnya sambil memperhatikan rumput-rumput. “Tuh disini aja masih ada putung rokok ‘kan! Merusak alam banget.”

Yang disebelahnya terkekeh melihat Salsa yang mengkomentari tentang orang yang membuang putung rokok sembarangan. Benar katanya, memang itu dapat merusak alam sekitar. Apalagi di alam seindah ini.

“Kalo lo apa, Jer?” tanya Salsa.

“Gua ngga suka orang lelet, Sal. Ngga tau kenapa, ngga suka aja.” Jergas menghela nafasnya dingin.

“Itu mah gue tau! Lo ngeburu-buruin gue waktu kita jadi pasangan prom.”

“Iya itu, Sal! Hahaha, sorry ya.”

“Ngapain minta maaf astaga, gapapa. Berarti itu lo orangnya konsisten! Tepat waktu!” ujar Salsa menendang-nendang angin.

Jergas membalasnya dengan tawaan kecil dan kembali hening sambil menatap bintang-bintang.

Salsa yang sedari tadi mengosok-gosokkan tangan agar lebih hangat nyatanya tidak mengaruh sama sekali. Cukup dingin di atas sini, sampai-sampai bibirnya ikut memucat karena hawa dinginnya.

“Sini tangan lo,” ujar Jergas mengulurkan tangannya dari saku hoodie yang ia pakai.

“Buat apa?” tanyanya polos.

“Kedinginan ‘kan? Sini tangan lo.”

Salsa ber-oh ria lalu memberi tangannya ke Jergas. Jergas mengengam tangan kecil Salsa, lalu dibawanya masuk ke dalam saku hoodienya agar lebih hangat.

Yang mempunyai tangan tersebut menahan senyumannya agar tidak terlihat salah tingkah di depannya. Dengan perilaku-perilaku kecil seperti ini saja Salsa terlalu gampang untuk diluluhkan.

Karena angin malam yang membuat Salsa menjadi beberapa kali kantuk terbangun karena kaget dengan posisi yang salah. Jergas yang melihatnya tersenyum lalu membawanya ke pundak miliknya untuk Salsa bersandar sebentar.

20 menit rasanya sudah cukup untuk Salsa terlelap dari tidurnya. Segera Jergas menelpon Harsan untuk kembali ke Villa.

Barang-barang yang sudah di packing masuk ke dalam koper. Nakeya hanya membawa satu koper saja, karena ia di Bali juga tidak terlalu lama hanya 1 bulan.

Tergantung nyaman atau ngganya si lebih tepatnya, kalau di Bali Nakeya merasa lebih aman dan bisa melupakan luka yang ada di Jakarta ia akan tinggal lebih lama di Bali.

Nakeya diantar oleh Carla sang kakak yang setia menemaninya. Orang tua Nakeya tidak bisa ngantarkannya ke bandara karena sedang berkerja di luar negri, dan ia memahami itu.

Karna sudah check in Nakeya menunggu Gibran datang diruang tunggu sambil memikirkan apakah ia bisa melupakan Janendra di sana?

“Kamu nanti kalau di Bali ada apa-apa, langsung telpon Kakak, Ya?” ujar Carla yang duduk disebelah Nakeya.

“Iya, ngga bakal kenapa-napa juga kok.” jawab Nakeya sambil melihat sekitar menunggu kehadiran Gibran.

“Temen kamu masih lama?”

“Ngga tau nih, Kak. Kayanya dikit lagi sampe.”

Nakeya bangkit dari bangku dan mencari-cari dimana sosok Gibran itu berada. Ia sudah memberi tahu Gibran kalau ia ada diruang tunggu sebelum masuk pesawat.

Akhirnya Nakeya melihat Gibran yang sedang kebingungan mencari dirinya.

“Gib!! Gibran!! Gue disinii!!” teriak Nakeya melambaikan tangan ke arah Gibran.

Gibran tersenyum lalu menghampiri Nakeya dengan pelukannya, “Udah siap banget nih keknya mau ke Bali?”

“Iya dong kan mau lupain dia” ujar Nakeya dengan kekehannya.

Gibran tersenyum kecut lalu melepaskan pelukannya, “Baik-baik ya, Key! Awas lu disana malah macem-macem!!”

“Iya iya!! Santai aja kali, Gib!! kaya gue mau ngapain aja.”

Gibran terkekeh mengacak-acak rambut Nakeya gemas, “Nanti gua nyusul, kalo sempet.”

Nakeya mengangguk dan mendengar panggilan pesawat akan segera terbang.

“Sembuhin lukanya ya? Gua masih tetep nunggu disini.”

“Semoga aja.”

Mereka kembali berpelukan untuk memenuhi rasa rindunya nanti, Nakeya menangis karena harus meninggalkan kota yang ia cintai sekaligus membuatnya terluka.

Gibran menghapus air mata yang mengalir diwajah Nakeya lalu tersenyum, “Jangan sedih-sedih terus di Bali, Key.”

Nakeya mengangguk lemah lalu beralih memeluk sang Kakak yang menemaninya kali ini.

“Aku pergi dulu ya, Kak.” pamit Nakeya menangis dipelukkan Carla.

Carla mengelus-elus pundak Nakeya menciumi pucuk kepalanya, “Hati-hati, Dek. Kakak tunggu kepulangan kamu dengan kebahagiaan.”

Panggilan pesawat terus berbunyi menandakan pesawat akan segera berangkat. Nakeya segera mengeret kopernya dan meninggalkan Gibran dan kak Carla.

“HATI-HATI YA, KEY!!! SEMANGAT!!” teriak Gibran melambaikan tangan.

Nakeya memutar balikan badan lalu mengangguk, “PASTI, GIB!! TUNGGU GUE SEMBUH YA??!!”

Gibran tersenyum dan mengangguk ia sengaja tidak memberi tahu Nakeya perihal Janendra yang menitipkan salamnya, takut akan Nakeya semakin memikirkan Janendra yang sedang berbahagia.

Sedangkan Carla menahan tangisnya melihat sang adik yang sudah dewasa, namun menerima rasa saki hati yang begitu dalam.

Memasuki pesawat dengan rasa berat hati karena harus meninggalkan semua kenangannya bersama Janendra di kota ini. Tapi mau gimanapun juga perasaan milik Nakeya tetap nomor satu.

Saat pesawat melepas landasan Nakeya menangis dibalik kacamata hitam yang ia pakai.

Aku mohon untuk kali ini, biarkan aku pergi dengan semua rasa ini. Janendra aku masih menjadi seseorang yang tinggal dihati aku sampai kapanpun. Setelah hari-hari yang kita lalui bersama tidak mudah bagi aku untuk melupakan kamu dengan cepat. Justru aku bersalah jika harus tetap memikirkan kamu di setiap hari-hariku, akanku pastikan perasaan ini pudar dengan sendirinya. Janendra aku sayang kamu.

Barang-barang yang sudah di packing masuk ke dalam koper. Nakeya hanya membawa satu koper saja, karena ia di Bali juga tidak terlalu lama hanya 1 bulan.

Tergantung nyaman atau ngganya si lebih tepatnya, kalau di Bali Nakeya merasa lebih aman dan bisa melupakan luka yang ada di Jakarta.

Nakeya diantar oleh Carla sang kakak yang setia menemaninya. Orang tua Nakeya tidak bisa ngantarkannya ke bandara karena sedang berkerja di luar negri, dan ia memahami itu.

Karna sudah check in Nakeya menunggu Gibran datang diruang tunggu sambil memikirkan apakah ia bisa melupakan Janendra di sana?

“Kamu nanti kalau di Bali ada apa-apa, langsung telpon Kakak, Ya?” ujar Carla yang duduk disebelah Nakeya.

“Iya, ngga bakal kenapa-napa juga kok.” jawab Nakeya sambil melihat sekitar menunggu kehadiran Gibran.

“Temen kamu masih lama?”

“Ngga tau nih, Kak. Kayanya dikit lagi sampe.”

Nakeya bangkit dari bangku dan mencari-cari dimana sosok Gibran itu berada. Ia sudah memberi tahu Gibran kalau ia ada diruang tunggu sebelum masuk pesawat.

Akhirnya Nakeya melihat Gibran yang sedang kebingungan mencari dirinya.

“Gib!! Gibran!! Gue disinii!!” teriak Nakeya melambaikan tangan ke arah Gibran.

Gibran tersenyum lalu menghampiri Nakeya dengan pelukannya, “Udah siap banget nih keknya mau ke Bali?”

“Iya dong kan mau lupain dia” ujar Nakeya dengan kekehannya.

Gibran tersenyum kecut lalu melepaskan pelukannya, “Baik-baik ya, Key! Awas lu disana malah macem-macem!!”

“Iya iya!! Santai aja kali, Gib!! kaya gue mau ngapain aja.”

Gibran terkekeh mengacak-acak rambut Nakeya gemas, “Nanti gua nyusul, kalo sempet.”

Nakeya mengangguk dan mendengar panggilan pesawat akan segera terbang.

“Sembuhin lukanya ya? Gua masih tetep nunggu disini.”

“Semoga aja.”

Mereka kembali berpelukan untuk memenuhi rasa rindunya nanti, Nakeya menangis karena harus meninggalkan kota yang ia cintai sekaligus membuatnya terluka.

Gibran menghapus air mata yang mengalir diwajah Nakeya lalu tersenyum, “Jangan sedih-sedih terus di Bali, Key.”

Nakeya mengangguk lemah lalu beralih memeluk sang Kakak yang menemaninya kali ini.

“Aku pergi dulu ya, Kak.” pamit Nakeya menangis dipelukkan Carla.

Carla mengelus-elus pundak Nakeya menciumi pucuk kepalanya, “Hati-hati, Dek. Kakak tunggu kepulangan kamu dengan kebahagiaan.”

Panggilan pesawat terus berbunyi menandakan pesawat akan segera berangkat. Nakeya segera mengeret kopernya dan meninggalkan Gibran dan kak Carla.

“HATI-HATI YA, KEY!!! SEMANGAT!!” teriak Gibran melambaikan tangan.

Nakeya memutar balikan badan lalu mengangguk, “PASTI, GIB!! TUNGGU GUE SEMBUH YA??!!”

Gibran tersenyum dan mengangguk ia sengaja tidak memberi tahu Nakeya perihal Janendra yang menitipkan salamnya, takut akan Nakeya semakin memikirkan Janendra yang sedang berbahagia.

Sedangkan Carla menahan tangisnya melihat sang adik yang sudah dewasa, namun menerima rasa saki hati yang begitu dalam.

Memasuki pesawat dengan rasa berat hati karena harus meninggalkan semua kenangannya bersama Janendra di kota ini. Tapi mau gimanapun juga perasaan milik Nakeya tetap nomor satu.

Saat pesawat melepas landasan Nakeya menangis dibalik kacamata hitam yang ia pakai.

Aku mohon untuk kali ini, biarkan aku pergi dengan semua rasa ini. Janendra aku masih menjadi seseorang yang tinggal dihati aku sampai kapanpun. Setelah hari-hari yang kita lalui bersama tidak mudah bagi aku untuk melupakan kamu dengan cepat. Justru aku bersalah jika harus tetap memikirkan kamu di setiap hari-hariku, akanku pastikan perasaan ini pudar dengan sendirinya. Janendra aku sayang kamu.

Malam hari ini tanggal 22 desember 2021 yang dijadwalkan untuk acara nikahan dari Janendra sang mantan kekasihnya.

Nakeya dan Gibran sudah memasuki area Ballroom tempat acara itu berlangsung. Pernikahan ini bisa dibilang begitu sangat mewah, karena furniture putih dan emas yang bersatu memancarkan kemewahan.

Saat ini pengantin sudah keluar menuju tempat untuk berjanji suci. Janendra mengandeng Ariel dengan rasa tulusnya.

Mereka berhadap-hadapan dengan satu microphone yang digenggam Janendra.

Janendra menatap netra Ariel dalam lalu mengangkat microphonenya gugup, “Atas izin Tuhan saya berdiri disini dengan niat yang baik dan hati yang tulus, ingin mengikat janji suci wanita yang sudah saya sayangi dan cintai, yaitu Ariel Adira.”

“Saya berjanji untuk mencintai Ariel Adira sampai setetes akhir dari darah saya. Dan saya berjanji untuk selalu menemani Ariel Adira disepanjang kehidupannya.”

“Maka dari itu saya, Janendra adiksa meminta izin apakah saya boleh menemani kamu sampai tua nanti?”

Ariel yang sudah menangis haru mengangguk dan mengangkat microphonenya, “Atas izin Tuhan dan restu Mamah Papah, Ariel mengizinkan Janendra untuk menemani Ariel sampai akhir dari kehidupan.”

“Semoga dengan niat baik Janendra ini bisa membawa Ariel menjadi lebik baik dari sebelumnya untuk kita berdua.”

Hadirin yang datang bertepuk tangan meriah begitu terharu dengan pernikahan Janendra dan Ariel malam hari ini.

Sedangkan Nakeya yang hadir bersama Gibran disampingnya meneteskan air matanya. Tidak menyangka bahwa takdirnya bukan lagi Janendra, takdirnya Janendra adalah Ariel bukan dirinya.

Sedih bercampur bahagia saat melihat Janendra memeluk Ariel diatas sana, menangis terharu yang membuat hati Nakeya tidak ada lagi bentukkannya.

Sudah ia relakan kali ini demi kebaikan Janendra bersama Ariel, namun masih saja merasa sakit jika harus begini keadaannya.

Nakeya berlari keluar dari Ballroom, karena sudah tidak sanggup lagi jika harus melihat mereka bersatu dalam ikatan Tuhan.

Dengan dress berwarna putih miliknya, Nakeya berlari ke arah parkiran basement. Menangis tersedu-sedu memegang dadanya yang terasa begitu sakit.

Semesta begitu bercanda kepada dirinya. Sudah cukup rasa sakit yang begitu mendalam, karena harus melihat lelaki yang ia cintai menikah dengan perempuan lain.

Nakeya yang sudah tidak sanggup akhirnya berjongkok menunundukkan kepalanya dalam-dalam agar tangisannya tidak terdengar oleh orang lain.

Gibran yang menyusuli kemana Nakeya pergi hanya berdiri diam melihat kehancuran wanita itu yang sedang menangis kejer. Ia sangat paham bahwa Nakeya membutuhkan waktu untuk menangisi soal takdirnya yang tidak merestui ia dan Janendra.

Setelah 10 menit berlalu melihat Nakeya yang sudah lumayan tenang dan mereda tangisnya, Gibran menghampiri Nakeya dan memeluknya.

Yang dipeluk pun kembali menangis tersedu-sedu dan meremas kemeja milik Gibran. Ia merasa dirinya belakangan ini sangat emosional semenjak memutuskan hubungannya dengan Janendra.

“Janendra nikah, Gib…” ucap Nakeya yang masih menangis di dalam pelukan Gibran.

“Relain mereka berdua bahagia, ya?” ujar Gibran mengelus-elus pundak Nakeya yang masih terus menangis terluka.

“Ngga bisa, Gib. Seharusnya gue yang disana berdiri disamping Janendra…”

Gibran mengangguk paham membiarkan Nakeya terus mengeluarkan emosinya agar lebih tenang.

Lelaki yang sangat Nakeya cintai sekarang sudah menjadi suami dari perempuan lain.

Bahagia selalu buat kamu, Janendra dan Ariel. Semoga dikehidupan selanjutnya kita akan ditakdirkan hidup bersama sampai akhir hayat nanti, aku seneng menjadi salah satu bagian dari lembaran kehidupan kamu.