21.00 pm.
Nada dering dari handphone milik Salsa kembali berdering. Nama ‘boyfegas’ tertera di layar handphone tersebut, segera ia mengeserkan tombol hijau untuk mengangkat telepon-nya.
“Udah?” tanya Jergas dari sambung telepon.
“Udah nih.” Salsa menaruh paket tersebut ketumpukan paket lainnya.
“Itu paket siapa, Sal? Kamu?”
“Paket punya Coby, dia emang sengaja ngirimnya ke alamat sini, biar ngga ketahuan mamahnya.”
“Pantesan, aku liat tadi pagi dia lagi bukain paket, aku kira sebanyak itu punya kamu.”
“Sebagian ada punya aku, tapi selebihnya punya dia.”
Jergas ber-oh ria dan menukar posisi tidurnya menjadi duduk, selagi menunggu Salsa balik ke kamar miliknya. Mendengar gadis itu sudah menutup pintu kamarnya, Jergas mendengar suara petir yang berasal dari sambungan telepon.
“Udah tiduran belum? Kecilin AC jangan lupa, terus lampu matiin,” ucap Jergas memastikan pacarnya.
“Udah semua, aku lagi selimutan.” Salsa mengeratkan selimutnya kedinginan.
“Kamu biasanya tidur jam berapa?”
“Aku random sih…. Tapi belakangan ini aku tidur jam 2 pagi.”
“Kamu insomia apa nonton drakor?”
“Both sih…”
Jergas terkekeh diujung telepon. “Nanti aku temenin kalo gitu.”
“NGGA, JANGAN!! Nanti malah jam tidur kamu ikut keganggu, aku biasa minum obat dari bunda kok.”
“Iya sewaktu-waktu nanti kalo kamu butuh temen ngobrol, sayang.”
Lalu gadis itu menjawabnya dengan dehaman, seraya berkata ‘iya’.
Hening dalam beberapa menit, hanya ada suara rintikan hujan dan gemuruh petir menyambar cukup keras, serta suara jam yang terus berputar menambahkan kesan horror. Sedangkan yang dilakukan 2 remaja itu, adalah sibuk memikirkan topik pembicaraan. Dengan Salsa mengerutukan kukunya dan Jergas yang memainkan lidah di dalam mulutnya.
“Sal.”
Yang merasa dipanggil namanya berdehem, “apa?”
“Love language kamu apa?” Jergas ingin mengenal sang pacarnya lebih dalam.
“Aku quality time sama acts of service, tapi lebih ke quality time sih…. Soalnya aku ngga dapet itu dari keluarga.”
“Nanti setiap hari aku ajak kamu ketemu, Sal. Tenang aja,” celetuk lelaki itu.
“Ya ngga setiap hari juga dong, modus itu namanya.” Salsa terkekeh diakhir kalimatnya.
Jergas ikut terkekeh dengan kalimat yang Ia ucapkan tadi. “Siapa tau kamu mau, iya ‘kan?”
“Mau aja sih…. Tapi nanti takut kamu bosen, soalnya liat komok aku mulu setiap hari.”
Jergas yang mendengar itu, langsung terduduk dari tidurnya. “Ngga lah gila! Siapa juga yang bosen liat muka cantik kamu! Kalo ada yang bilang kek gitu, berarti matanya bermasalah!”
“Aku bilang kek gitu, berarti mata aku bermasalah dong?”
“Iya… bukan kamu! Orang lain maksud aku!”
Salsa tertawa, baru kali ini Ia dan Jergas berbicara panjang lewat via telepon whatsapp. Bukan bertemu dan berbicara secara langsung seperti biasanya.
“Kalo kamu apa, Jer?” tanya Salsa penasaran.
“Aku physical touch sama word of affirmation.”
“Hai, ganteng,” goda Salsa.
“Ngga kerasa itu mah,” ledeknya tertawa.
“Aku lebih suka apel daripada anggur, soalnya aku lebih suka ngapelin kamu daripada nganggurin kamu.”
“HAHAHAHAHA, belajar dari mana kamu, astaga…”
“Dari google, keren ngga?”
“Keren-keren.” Jergas bertepuk tangan sebagai tanda appreciate.
“Seharusnya aku yang gombalin kamu, malah kamu jadi yang gombalin aku.”
“Coba kamu gombalin aku, kalo aku ketawa berarti baper sedikit, kalo aku bilang cringe berarti aku baper banget.”
Karena merasa tertantang Jergas diam sejenak, menata kalimat-kalimat gombalan maut ala dirinya. Padahal satu kalimat pun belum terucap dari sana, tapi Salsa sudah tersenyum-senyum menunggu Jergas berbicara.
Membutuhkan waktu selama 8 menit lamanya, akhirnya Jergas selesai menata kalimat gombalan mautnya.
Jergas berdehem canggung, sedangkan gadis itu tersenyum lebih lebar dari yang tadi.
“Bocil epep always make jedag jedug, why you always make my heart dag dig dug.”
“HAHAHHAHA KENAPA HARUS BOCIL EPEP SIHH!!!”
“Yah ketawa, teman-teman. Kita ulang lagi ya,” ujar Jergas seraya berbicara dengan orang disampingnya, padahal ia sendirian di dalam kamarnya.
“Kenapa Spongebob warna kuning?”
“Karna spon-nya dikasih pewarna makanan kuning,” jawab Salsa ngasal.
“Salah.”
“Karna yang hijau Plankton, yang pink Patcrik, yang merah Mr. Crab, dan yang warna warni itu hari-hari aku bersamamu.”
Salsa refleks tersenyum memukul-mukul bantal yang ada disampingnya. Jergas yang mendengar pukulan-pukulan kecil dari Salsa, mencoba untuk menahan tawa agar tidak ketahuan.
“Eh, kok diem aja,cringe ya, Sal?” tanya Jergas.
“NGGA! itu, anu… Aku lagi beresin kasur! IYA BERESIN KASUR!” Alasan Salsa yang tidak terlihat masuk akal.
Jergas yang tahu Salsa berbohong pun, pura-pura tidak tahu agar Salsa tidak malu.
“Tidur gih, udah malem,” pinta Jergas melihat jarum jam yang sudah menunjukan pukul setengah 12 malam waktu indonesia bagian barat.
“Iya, ini aku mau tidur.”
“Okey, aku matiin ya? Sleep well, Tuan putri.”
“Good night and sleep well, Egas!”
Jergas terkekeh mendengar Salsa menyebut namanya dengan sebutan ‘Egas’, dan mematikan sambungan telepon via whatsapp tersebut.
Bunyi sambungan terputus sudah terdengar dari telinga Salsa. Kamar tersebut menjadi serasa sepi. Namun semuanya diganti dengan teriakan salah tingkah dari mulut Salsa.