Airport flight.

Barang-barang yang sudah di packing masuk ke dalam koper. Nakeya hanya membawa satu koper saja, karena ia di Bali juga tidak terlalu lama hanya 1 bulan.

Tergantung nyaman atau ngganya si lebih tepatnya, kalau di Bali Nakeya merasa lebih aman dan bisa melupakan luka yang ada di Jakarta.

Nakeya diantar oleh Carla sang kakak yang setia menemaninya. Orang tua Nakeya tidak bisa ngantarkannya ke bandara karena sedang berkerja di luar negri, dan ia memahami itu.

Karna sudah check in Nakeya menunggu Gibran datang diruang tunggu sambil memikirkan apakah ia bisa melupakan Janendra di sana?

“Kamu nanti kalau di Bali ada apa-apa, langsung telpon Kakak, Ya?” ujar Carla yang duduk disebelah Nakeya.

“Iya, ngga bakal kenapa-napa juga kok.” jawab Nakeya sambil melihat sekitar menunggu kehadiran Gibran.

“Temen kamu masih lama?”

“Ngga tau nih, Kak. Kayanya dikit lagi sampe.”

Nakeya bangkit dari bangku dan mencari-cari dimana sosok Gibran itu berada. Ia sudah memberi tahu Gibran kalau ia ada diruang tunggu sebelum masuk pesawat.

Akhirnya Nakeya melihat Gibran yang sedang kebingungan mencari dirinya.

“Gib!! Gibran!! Gue disinii!!” teriak Nakeya melambaikan tangan ke arah Gibran.

Gibran tersenyum lalu menghampiri Nakeya dengan pelukannya, “Udah siap banget nih keknya mau ke Bali?”

“Iya dong kan mau lupain dia” ujar Nakeya dengan kekehannya.

Gibran tersenyum kecut lalu melepaskan pelukannya, “Baik-baik ya, Key! Awas lu disana malah macem-macem!!”

“Iya iya!! Santai aja kali, Gib!! kaya gue mau ngapain aja.”

Gibran terkekeh mengacak-acak rambut Nakeya gemas, “Nanti gua nyusul, kalo sempet.”

Nakeya mengangguk dan mendengar panggilan pesawat akan segera terbang.

“Sembuhin lukanya ya? Gua masih tetep nunggu disini.”

“Semoga aja.”

Mereka kembali berpelukan untuk memenuhi rasa rindunya nanti, Nakeya menangis karena harus meninggalkan kota yang ia cintai sekaligus membuatnya terluka.

Gibran menghapus air mata yang mengalir diwajah Nakeya lalu tersenyum, “Jangan sedih-sedih terus di Bali, Key.”

Nakeya mengangguk lemah lalu beralih memeluk sang Kakak yang menemaninya kali ini.

“Aku pergi dulu ya, Kak.” pamit Nakeya menangis dipelukkan Carla.

Carla mengelus-elus pundak Nakeya menciumi pucuk kepalanya, “Hati-hati, Dek. Kakak tunggu kepulangan kamu dengan kebahagiaan.”

Panggilan pesawat terus berbunyi menandakan pesawat akan segera berangkat. Nakeya segera mengeret kopernya dan meninggalkan Gibran dan kak Carla.

“HATI-HATI YA, KEY!!! SEMANGAT!!” teriak Gibran melambaikan tangan.

Nakeya memutar balikan badan lalu mengangguk, “PASTI, GIB!! TUNGGU GUE SEMBUH YA??!!”

Gibran tersenyum dan mengangguk ia sengaja tidak memberi tahu Nakeya perihal Janendra yang menitipkan salamnya, takut akan Nakeya semakin memikirkan Janendra yang sedang berbahagia.

Sedangkan Carla menahan tangisnya melihat sang adik yang sudah dewasa, namun menerima rasa saki hati yang begitu dalam.

Memasuki pesawat dengan rasa berat hati karena harus meninggalkan semua kenangannya bersama Janendra di kota ini. Tapi mau gimanapun juga perasaan milik Nakeya tetap nomor satu.

Saat pesawat melepas landasan Nakeya menangis dibalik kacamata hitam yang ia pakai.

Aku mohon untuk kali ini, biarkan aku pergi dengan semua rasa ini. Janendra aku masih menjadi seseorang yang tinggal dihati aku sampai kapanpun. Setelah hari-hari yang kita lalui bersama tidak mudah bagi aku untuk melupakan kamu dengan cepat. Justru aku bersalah jika harus tetap memikirkan kamu di setiap hari-hariku, akanku pastikan perasaan ini pudar dengan sendirinya. Janendra aku sayang kamu.