chlopyvrsie

Malam hari ini tanggal 22 desember 2021 yang dijadwalkan untuk acara nikahan dari Janendra sang mantan kekasihnya.

Nakeya dan Gibran sudah memasuki area Ballroom tempat acara itu berlangsung. Pernikahan ini bisa dibilang begitu sangat mewah, karena furniture putih dan emas yang bersatu memancarkan kemewahan.

Saat ini pengantin sudah keluar menuju tempat untuk berjanji suci. Janendra mengandeng Ariel dengan rasa tulusnya.

Mereka berhadap-hadapan dengan satu microphone yang digenggam Janendra.

Janendra menatap netra Ariel dalam lalu mengangkat microphonenya gugup, “Atas izin Tuhan saya berdiri disini dengan niat yang baik dan hati yang tulus, ingin mengikat janji suci wanita yang sudah saya sayangi dan cintai, yaitu Ariel Adira.”

“Saya berjanji untuk mencintai Ariel Adira sampai setetes akhir dari darah saya. Dan saya berjanji untuk selalu menemani Ariel Adira disepanjang kehidupannya.”

“Maka dari itu saya, Janendra adiksa meminta izin apakah saya boleh menemani kamu sampai tua nanti?”

Ariel yang sudah menangis haru mengangguk dan mengangkat microphonenya, “Atas izin Tuhan dan restu Mamah Papah, Ariel mengizinkan Janendra untuk menemani Ariel sampai akhir dari kehidupan.”

“Semoga dengan niat baik Janendra ini bisa membawa Ariel menjadi lebik baik dari sebelumnya untuk kita berdua.”

Hadirin yang datang bertepuk tangan meriah begitu terharu dengan pernikahan Janendra dan Ariel malam hari ini.

Sedangkan Nakeya yang hadir bersama Gibran disampingnya meneteskan air matanya. Tidak menyangka bahwa takdirnya bukan lagi Janendra, takdirnya Janendra adalah Ariel bukan dirinya.

Sedih bercampur bahagia saat melihat Janendra memeluk Ariel diatas sana, menangis terharu yang membuat hati Nakeya tidak ada lagi bentukkannya.

Sudah ia relakan kali ini demi kebaikan Janendra bersama Ariel, namun masih saja merasa sakit jika harus begini keadaannya.

Nakeya berlari keluar dari Ballroom, karena sudah tidak sanggup lagi jika harus melihat mereka bersatu dalam ikatan Tuhan.

Dengan dress berwarna putih miliknya, Nakeya berlari ke arah parkiran basement. Menangis tersedu-sedu memegang dadanya yang terasa begitu sakit.

Semesta begitu bercanda kepada dirinya. Sudah cukup rasa sakit yang begitu mendalam, karena harus melihat lelaki yang ia cintai menikah dengan perempuan lain.

Nakeya yang sudah tidak sanggup akhirnya berjongkok menunundukkan kepalanya dalam-dalam agar tangisannya tidak terdengar oleh orang lain.

Gibran yang menyusuli kemana Nakeya pergi hanya berdiri diam melihat kehancuran wanita itu yang sedang menangis kejer. Ia sangat paham bahwa Nakeya membutuhkan waktu untuk menangisi soal takdirnya yang tidak merestui ia dan Janendra.

Setelah 10 menit berlalu melihat Nakeya yang sudah lumayan tenang dan mereda tangisnya, Gibran menghampiri Nakeya dan memeluknya.

Yang dipeluk pun kembali menangis tersedu-sedu dan meremas kemeja milik Gibran. Ia merasa dirinya belakangan ini sangat emosional semenjak memutuskan hubungannya dengan Janendra.

“Janendra nikah, Gib…” ucap Nakeya yang masih menangis di dalam pelukan Gibran.

“Relain mereka berdua bahagia, ya?” ujar Gibran mengelus-elus pundak Nakeya yang masih terus menangis terluka.

“Ngga bisa, Gib. Seharusnya gue yang disana berdiri disamping Janendra…”

Gibran mengangguk paham membiarkan Nakeya terus mengeluarkan emosinya agar lebih tenang.

Lelaki yang sangat Nakeya cintai sekarang sudah menjadi suami dari perempuan lain.

Bahagia selalu buat kamu, Janendra dan Ariel. Semoga dikehidupan selanjutnya kita akan ditakdirkan hidup bersama sampai akhir hayat nanti, aku seneng menjadi salah satu dari kebahagiaan kamu dari lembaran kehidupan kamu.

Perusahaan Culture Group diambang ke bangkrutan kali ini. Papah yang sebagai direkrut juga sangat pusing perihal kejadian ini.

Mereka terkena tipu dengan bekerja sama dengan perusahaan italia yang menyamar sebagai perusahaan yang cukup besar disana. Nyatanya mereka hanya membuka toko sepatu kecil di daerah italia.

Saat ini lah Papah sebagai direkrut meminta bantuan kepada perusahaan milik temannya tapi dengan satu syarat, yaitu menjodohkan anaknya.

Janendra sudah mendengar itu dari sektretarisnya pun tidak kaget lagi, karna memang cuma ini jalan keluarnya agar perusahaan kembali stabil semula.

Papah memanggil Janendra ke ruang keluarga untuk mengobrol dua mata saja. Janendra yang baru turun dari kamarnya segera menghampiri sang Papah yang sedang mengopi santai.

“Duduk, Nak. Papah ingin berbicara” ucap yang Adiksa sang Papah sudah menunggu anaknya datang.

Janendra duduk dibangku sofa sebelah Papah dan mengambil kopi yang disediakan untuknya.

“Kamu masih berpacaran dengan Nakeya, Nak?” tanya Adiksa tiba-tiba.

Janendra mengangguk, “Iya, Pah. Kenapa emang?” tanya Janendra kebingungan.

Adiksa tersenyum lalu mengelus pundak sang anak, “Hebat, kamu cukup setia ya menjadi laki-laki.”

Janendra terkekeh dan menaruh gelas kopi ke meja, “Kan contohin Papah yang setia sama Mamah sampai akhir kehidupannya.”

Adiksa tersenyum mendengar jawaban dari anaknya dan kembali membaca koran.

“Papah mau jodohin aku ya?”

Yang ditanya menurunkan bacaan korannya dan mengangguk, “Iya, Nak. Kamu bersedia?”

Janendra yang sudah tahu dari awal perihal Papah yang memanggilnya untuk membicarakan soal ini pun tidak kaget lagi.

“Aku punya Nakeya seorang, Pah.”

“Papah paham betul perasaan kamu terhadap Nakeya, tapi ini demi perusahaan, Nak. Apalagi kamu sudah menjadi CEO perusahaan tersebut.” jelas Adiksa

“Kamu punya tanggung jawab penuh dengan perusahaan, termasuk Papah yang sebagai direkrut perusahaan yang sudah Papah bangun bersama Mamahmu dahulu.” sambung Adiksa menatap sang anak.

“Kenapa ngga Kak Laura aja, Pah? Masa aku ngedahuluin Kak Laura gitu aja.” tanya Janendra cetus tidak terima kalau ia akan menikah dan meninggalkan Nakeya begitu saja.

“Karna anaknya temen Papah hanya mempunyai anak sulung perempuan, Janendra. Dan kamulah satu-satunya harapan Papah.”

Janendra yang sudah pusing dengan kerjaan yang sangat bertubi-tubi, ditambah dengan ia disuruh menikah dengan anak temen Papah. Bagaiman ia bisa meninggalkan Nakeya yang sudah ia cintai dengan tulus 3 tahun belakangan ini?

“Kamu masih punya banyak waktu, selesaikan dahulu hubungan kamu dengan Nakeya, lalu mulai pendekatan dengan Ariel anak temen Papah.” ucap Adiksa menepuk pundak Janendra dan pergi meninggalkan ruang keluarga.

Janendra mengacak-acak rambutnya frustasi dan menunduk dalam-dalam menahan rasa amarahnya. Ia cukup lelah dengan semuanya, lantas menjadi dewasa adalah tahap yang menurutnya sangat sulit, sulit dengan kehidupan, sulit dengan percintaan, dan sulit juga untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat.

Haruskah ia menikahi Ariel dan meninggalkan Nakeya sendirian? membayangkannya saja sudah tidak bisa. Nakeya tetaplah seseorang yang mengisi kebahagiaannya selama hari-hari beratnya datang.

Sosok Nakeya adalah pelangi disaat hujan menghantamnya untuk terjatuh dalam hanyut bersama rintikkan hujan yang berjatuhan ke dalam tanah.

Nakeya mengendarai mobilnya ke tempat ia dan Janendra sering datangi, yaitu Pantai. Walaupun cuaca malam ini sepertinya akan turun hujan ia akan tetap memaksakan menemui sang pacar.

Sedangkan Janendra sudah sampai lebih dulu, menunggu Nakeya akan datang di dalam mobil dengan sebuah bucket bunga favorite Nakeya dibangku sebelahnya.

Pukul 21.10 PM Nakeya memarkirkan mobil miliknya disebelah mobil Janendra dengan rapih lalu mematikan mesin mobilnya. Janendra yang melihat Nakeya sudah sampai segera turun dari mobilnya dan menghampiri Nakeya.

“Hai, Sayang! Kangen kamu banget…” sapa Janendra saat Nakeya keluar dari mobil dan memeluknya.

Nakeya tersenyum lalu membalas pelukannya, “Miss you more….

Mereka berdua bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Padahal Nakeya sudah mau menangis, akhirnya ia bertemu dengan pacarnya setelah sekian lama.

“Mau di dalem mobil aja atau di Pantai, Key?” tanya Janendra melepaskan pelukannya.

“Pantai aja, udah lama banget ngga kesana.”

Janendra mengangguk dan mengandeng tangan Nakeya ke pinggiran pantai untuk ngobrol tentang masalah yang ada di keduanya.

Nakeya mempejamkan matanya saat angin malam berhembus menerpa wajahnya dan suara ombak bergulung.

“Kerjaan kamu gimana? Lancar?” tanya Nakeya tanpa menatap Janendra.

“Bisa dibilang ngga, Key” jawab Janendra menghela nafasnya berat.

“Ada masalah ya? Sampai kamu sibuk gitu.”

“Iya, maaf ya, Key…”

Nakeya tersenyum kecut lalu mengangguk, “Gapapa, aku juga paham kok.”

Mereka berdua kembali hening sibuk dengan fikiran masing-masing, dengan suara deruan ombak yang mengisi keheningan diantaranya.

“Aku ambil sesuatu dulu ya dimobil” kata Janendra bangkit dari duduknya.

Nakeya hanya mengangguk lemah dan bermain pasir putih menulis nama ia dan sang pacar.

Janendra kembali dengan sebuah bucket bunga indah di tangannya yang ia beli sebelum datang ke tempat ini.

“Buat kamu, suka ngga?” ujar Janendra mengasih bucket bunga tersebut ke depan muka Nakeya yang sedang melamun.

Nakeya tersenyum dan mengambil bucket bunga tersebut menciumi aroma bunga yang menyeruak hidungnya.

“Wangi bangettt, aku suka!! Makasih Bubbyy!!” seru Nakeya kesenangan.

Janendra terkekeh dengan kelakuan Nakeya yang kesenangan, padahal cuma dikasih sebuat bucket bunga.

Merasa sudah pas waktunya untuk mengungkap kenapa ia begitu sibuk sama kerjaan dengan maksud lain menghindari Nakeya.

“Key, aku mau ngomong” ucap Janendra tegang.

“Iya ngomong aja.”

Janendra menghela nafasnya, berat untuk mengucapkannya, “Aku akan menikah dengan pilihan papah aku, Key.”

Nakeya yang sibuk memeluk bunga dari Janendra tiba-tiba mematung saat mendengar ucapan itu dari pacarnya.

“Kamu lagi bercanda, ya?” kata Nakeya yang masih bingung dengan ucapan Janendra.

“Aku serius, Key… Maafin aku…” dalih Janendra menahan rasa sakit mendalam di dadanya.

Ia sebenarnya juga tidak mau menerima perjodohan ini, namun karena mendesak dengan situasi kantor yang sangat menurun. Jadi mau tidak mau ia harus menerima perjodohan ini secara terpaksa.

Nakeya tersenyum kecut lalu menatap netra Janendra, “Jadi ini bunga terakhir untuk aku yang kamu kasih, ya?”

Janendra tidak menjawabnya dan mengalihkan pandangannya ke langit malam. Karna ia cukup takut melihat tatapan Nakeya yang penuh dengan kekecewaan terhadap dirinya.

Sungguh jika saat ini Janendra benar-benar bercanda dengan perkataan ia tadi, Nakeya akan tertawa lepas mendengarnya dari mulut Janendra.

“Aku gapapa, Jan. Kalo kamunya gimana? Bisakan tanpa adanya aku?” Bohong, Nakeya tidak akan pernah siap dengan perpisahaan diantara keduanya. Ia tidak akan pernah merelakan Janendra menikah dengan perempuan lain.

Janendra menggelengkan kepalanya lemah, “Jelas aku ngga bisa, Key. Aku bareng sama kamu 3 tahun, itu bukan waktu yang sebentar.”

Nakeya paham, benar dengan apa yang Janendra bilang. Tiga tahun bukanlah waktu yang sangat sebentar bagi mereka yang sudah menjalankan kisah cintanya.

Namun mau gimana pun juga yang namanya takdir tidak bisa diatur dengan sendirinya. Mau beberapa lamapun mereka menjalankan kisahnya akan sia-sia jika orang tersebut bukanlah jodohnya.

“Kamu harus bisa, Jan. Lupain segalanya tentang aku dan kamu, lupain kalo kita memang pernah ada satu sama lain” ujar Nakeya dengan suara yang bergetar menahan tangisan.

“Maaf… Key, tapi aku izin ya? Izin mencintai perempuan lain dengan lebih besar dari rasa cinta aku ke kamu selama ini.”

Nakeya mengangguk lemah dengan air mata yang menetes diwajahnya, “Di izinkan, Jan. Sampai kapanpun cintai perempuan itu sampai akhir dari kehidupan kalian.”

Janendra masih dengan menatap langit-langit malam agar tidak terlihat kalau ia sedang menangis sedih, karena harus menyudahi hubungan dari keduanya.

Sedangkan Nakeya menangis dalam diam. Tidak rela akhir dari sebuah hubungannya dengan mengenaskan seperti ini.

“Key, cari kebahagian kamu ya? Cari yang bisa membuat kamu bahagia sampai bisa lupakan kita selama ini” kata Janendra menatap netra Nakeya yang terus mengalir buliran air mata.

Nakeya mengangguk dan tersenyum paksa, “Aku pastikan bisa lupain kamu dan kita, Jan.”

Mereka kembali menangis dalam diam, sungguh perpisahaan yang sangat tidak disangka malam ini begitu sakit bagi keduanya.

Janendra yang akan menempuh hidup baru dengan perempuan lain, sedangkan Nakeya yang masih memikirkan kedepannya ia harus apa jika tidak ada Janendra di kehidupannya.

“Aku pamit, ya? Lupain semuanya tentang kita, tentang malam ini dan tempat ini juga.”

Janendra tidak menjawabnya dan membiarkan Nakeya pergi sendirian meninggalkan luka yang cukup besar bagi keduanya di tempat kali ini.

Saat Nakeya membuka pintu mobil ada tangan yang melingkar diperutnya memeluknya dari belakang, sudah pasti itu Janendra.

Janendra menangis dipundak Nakeya tersedu-sedu. Sedangkan Nakeya hanya berdiri diam dan memutarkan badannya untuk memeluk mantan pacarnya.

Melihat Janendra menangis begitu menyayat hatinya begitu kerasa sakit, Nakeya ikut menangis di dada bidang milik Janendra.

Mereka menangis berpelukkan selama 10 menit lamanya dan Nakeya melepaskan pelukan tersebut menghapus buliran air mata yang masih mengalir diwajah Janendra.

“Pelukan terakhir, aku pamit ya? Bahagia selalu buat kamu.”

“Ngga ada pelukan terakhir, Key. Kamu masih bisa meluk aku dilain waktu nanti.”

Nakeya mengangguk lalu masuk ke dalam mobil berdadah-dadah ria bersama Janendra sebagai tanda selamat tinggal.

Di dalam perjalanan tangisan Nakeya pecah tersedu-sedu. Masih tidak menyangka bahwa ia dan Janendra tidak lagi mempunyai hubungan spesial, melainkan akan menjadi orang asing dari masa lalunya.

Membayangkan Janendra akan mencintai perempuan tersebut secara tulus, sama dengan cara ia memperlakukan Nakeya. Membuatnya tidak sanggup jika itu akan terjadi dikit lagi.

Selama perjalanan pulang Nakeya membawa mobil dengan kecepatan penuh, mumpung jalanan malam hari ini sepi dan hujan sudah mulai turun deras sama dengan air yang mengalir deras diwajahnya.

Dengan malam yang cukup gelap dan air hujan turun deras penglihatan mata sembab Nakeya sulit untuk melihat jalanan.

Kecepatan penuh yang di injak oleh Nakeya hampir saja membuat sebuah kucing lewat mati, untungnya ia cepat-cepat menginjek pedal rem.

Nakeya mengatur nafasnya panik, tidak seharusnya Nakeya melampiaskan kemarahkannya seperti ini. Akhirnya ia menelpon Gibran untuk menjemputnya pulang dari sini.

Mereka menuju ke tempat Off-road yang jaraknya memang cukup lumayan jauh dari Villa, namun cukup cuaca di sore hari ini lumayan bagus untuk Off-road.

Jergas memesan 4 tiket masuk dengan uang yang sudah dikumpulkan sebelumnnya.

“Lo masih lemes ngga, Sal?” tanya Jergas saat Salsa masih memilih mobil kart yang untuk dinaiki.

“Dikit doang, tapi gue bisa kok bawanya” jawabnya.

“Eh gw sama Wawa 1 mobil doang, takut Wawa bawanya ungal-ungalan” ujar Harsan menghampiri mereka.

“Lo bareng Jergas aja, Sal. Baru enakan juga kan lo? bahaya nanti” sambung Harsan.

“Mau ngga, Sal?” tanya Jergas lagi.

Salsa mengangguk menyetujui dari pada memakan banyak waktu untuk berfikir, toh Ia juga masih sangat lemas dari tadi.

“Oke, mantap jalan kita!!” seru Harsan kembali menghampiri Wawa yang sudah menaiki mobil kart dengan berbagai perlengkapannya.

Jergas dan Salsa sudah memakai perlengkapan sebaga pengaman jika terjadi sesuatu, namun semoga tidak terjadi apa-apa untuk wisata kali ini.

“Ayo, naik” ajak Jergas setelah menyalakan mesinnya sudah siap untuk berangkat.

Salsa menaiki mobil kart tersebut dengan perlahan-lahan takut jatuh karena lumayan tinggi menurutnya.

“Jangan ngebut-ngebut ya, Jer!!! awas loo!!” omel Salsa yang duduk dibelakang.

“Pegangan kalo gitu, Sal. Off-road kalo ngga ngebut, ngga seru tau!!”

Salsa menghela nafas lalu memegang baju Jergas kuat-kuat agar tidak terjatuh saat sudah jalan.

Jergas terkekeh lalu memegang tangan Salsa dan menaruhnya melingkar di perutnya. “Gini Sal, biar ngga jatuh”.

“Ck!! Iya ya!!”

Jergas tertawa dengan Salsa yang malu-malu untuk memeluknya sebagai jaminan untuk tidak terjatuh saat Off-road berlangsung.

Harsan dan Wawa sudah melaju lebih dahulu sebagai pemimpin jalan kali ini, katanya jarak untuk sampai ke garis finish itu sekitar 15 Kilometer.

Jergas melajukan mobil kartnya dengan kecepatan sedang, karena ini masih belum ada tanjakannya.

Namun sekarang tanjakkan-tanjakkan kecil sudah mulai terlihat dan Salsa semakin mempererat pelukkannya takut.

“Sal liat Sal!! ada burung itu liat!!“ seru Jergas sengaja agar Salsa melihat pemandangan dari pada menenggelamkan kepalanya di pundak Jergas.

“NGGA!! LO BOHONG KAN!!” kata Salsa yang masih mempejamkan matanya di pundak Jergas.

“Seriusan ini sumpah, liat dulu buruan”.

Salsa membuka matanya dan melihat sekitar pemadangan saat diatas sini memang terlihat bagus, dan banyak burung berterbangan.

“Beneran kan kata gua!!” ucap Jergas memperlambat mobil kartnya untuk menikmati pemandangan.

“Eh berhenti dulu boleh ngga si??”

“Ngga boleh Sal, sayang banget ini padahal pemadangannya bagus”.

“Iya bener!! sayang banget ini”

Mereka melanjutkan perjalanan menyusul Harsan dan Wawa yang sudah tidak terlihat lagi mobil kart mereka.

“Pegangan, Sal!!! gua mau ngebut ini!!” kata Jergas yang sudah bersiap-siap untuk tancap gasnya.

Salsa cepat-cepat memeluk Jergas erat dan mempejamkan matanya kembali agar tidak melihat ke arah turunan terjang bawah sana.

“JERGAS ANJIR!! INJEM REM NYA NGGA???!! CEPET!!” ucap Salsa ketakutan karna ini beneran sangat terjang dan Jergas membawanya ngebut.

“HAHAHA, ngga mau wlee” ledek Jergas.

“JERGAS SUMPAH!! PELAN-PELAN ANJIR JANGAN NGEBUT!!!”

Jergas menambah kecepatannya sedikit dan Salsa kembali berteriak. “JERGAS GUE BISA MATI KONYOL DISINI!!!”.

Jergas tertawa melihat Salsa ketakutan dibelakangnya, sebenarnya Ia juga tidak mau ngebut seperti ini. Tapi Jergas sengaja mengisengkannya.

Sampailah mereka digaris finish Salsa menghela nafasnya akhirnya siksaan dari Jergas selesai juga.

“Gimana, Sal? seru ngga?” tanya Jergas menoleh kebelakang dan melepaskan sarung tangan.

“Seru dari mana anjir!! hampir mati gue yang ada dibuat sama lo!” omel Salsa yang keringat dingin masih memeluk Jergas ketakutan.

“Hahaha, Sorry ya sorry seru si isengin lo”

“Seru kata lo?!! SERU!!??” Salsa mencubit perut Jergas pelan.

“Arghh, Iya ampun, Sal sumpah” ringis Jergas saat Salsa mencubitnya.

“Woi! turun lah, masih mau sekali puteran lagi lu berdua?” tanya Wawa yang sedang duduk istirahat dan Harsan yang sedang membeli minuman yang telah disediakan.

“Iya katanya si Salsa mau sekali lagi, Wa” jawab Jergas dengan senyumannya.

“Apaan anjir, Ngga ngga kapok gue!!” kata Salsa dan turun dari mobil kart meninggalkan Jergas.

“Hahaha, katanya mau lagi gimana si”

“Menurut lo aja deh anjir”

Jergas tertawa dan mengeluarkan botol minum berisi air putih yang sudah Ia siapkan untuk Salsa.

“Nih minum dulu, Sal” ucap Jergas mengasih botol minum tersebut.

Salsa menerimanya lalu meneguk air putih itu.,“Thanks, Jer”.

Jergas mengangguk dan mau meneguk air putih itu namun dihentikan oleh Salsa, “Ehh!! jangan di kokop, Jer”.

“Emang kenapa?”

“Itu anu… Gapapa si seterah lo”

“Yeh, kirain kenapa” ujar Jergas dan meminum botol air tersebut dengan di kokop.

Salsa mau mengasih tau kalo secara tidak berlangsung mereka berciuman, tapi malu untuk mengucapkannya karena lagi ditempat umum seperti ini.

Jergas yang pura-pura tidak tahu hanya diam dan kembali menaruh botol minum ke dalam tasnya.

Salsa terbangun dari tidurnya karena mendengar musik begitu keras dari lantai bawah, dan sudah pasti pelakunya adalah Harsan.

Melihat Wawa tidak ada disebelahnya pun pasti Ia sudah ada dibawah bersama dengan yang lainnya. Salsa turun menuruni tangga masih dengan muka bantalnya dah melihat Jergas yang sedang duduk di sofa dengan handphone ditangannya.

Salsa duduk disebelah Jergas dan mengambil bantal sofa sebagai sadarannya dibelakang.

“Baru bangun, Sal?” tanya Jergas mematikan handphonenya saat Salsa duduk disebelahnya.

Salsa hanya mengangguk lemah karena masih terbawa kantuk di dirinya.

“Harsan sama Wawa kemana?” tanya Salsa mengambil remot tv yang ada di meja.

“Ada di depan, lagi ngobrol sama penjaganya”

Salsa hanya ber-oh ria dan mengangguk paham, lalu mempejamkan matanya sebentar karena pusing saat diperjalanan.

“Makan dulu sana, perut lo tadi kosongkan?”

“Nanti aja deh, mager banget gue”

“Tapi makan ya, Sal? langsung makan nasi. Jangan makan yang lain dulu, nanti perut lo sakit” anjur Jergas menatap Salsa.

Salsa yang sadar akan perhatian Jergas kepada dirinya pun terbatuk dengan ludahnya sendiri.

“Iya makan nasi kok, Jergasss. Gue ke atas dulu ya? mau mandi” ucap Salsa bangkit dari duduknya.

“Iya sana, gua juga mau ke Harsan”.

Salsa mengangguk dan pergi ke lantai atas untuk membersihkan diri. Namun saat Salsa memasuki kamar bukannya langsung ke kamar mandi, melainkan yang Ia lakukan guling-guling di kasur sambil teriak-teriak.

“Bunda!! anakmu mau nikah sama Jergas!!!”

Sekitar 15 menit Salsa melakukan aktivitas salah tingkahnya itu, ternyata ada Wawa yang memperhatikan dia di depan pintu kamar sambil menggelengkan kepala.

“Sal!! buruan mandii!!! jangan guling-guling mulu!!”

Salsa yang diteriaki Wawa langsung duduk dan menatap Wawa shock.

“Wa??!! lo dari tadi ngeliatin gue guling-guling!!??”

“Iya lah! mana lama banget, kenapa lu? lagi gila?”

“Hahhh… Nggaa!! ini lagi beresin kasur kok!!” ucap Salsa menaruh bantal kembali semula serta selimut yang jatuh dilantai.

“Nanti aja beresinnya, mandi lu buruan sana!!”

“Ck!! IYA IYAA BAWELL”

Salsa mengambil handuk dan beberapa alat mandi yang Ia bawa dari rumahnya di dalam koper, dan segera membersihkan diri di kamar mandi.

Hanya membutuhkan waktu 25 menit secara keseluruhan Salsa sudah rapih dengan dress hitam miliknya dan turun kebawah karena yang lain sedang bakar-bakar.

“Lama banget lo turunnya, ditungguin Jergas juga dari tadi” ujar Harsan yang lagi pegangin kipas angin ke arah panggangan ayam.

“Nih capitan enak dah kena ke mulut lo, San” kata Jergas mendekatan capitan ke mulut Harsan.

“Iya bos!! ampun bercanda doang…”

“Bener tau, Sal. Tadi Jergas yang nyuruh gua ke atas samperin lu” ujar Wawa menambahkan ledekan.

Salsa menggelengkan kepala menutupkan bahwa dirinya tersipu malu dengan sikap Jergas yang selalu membuatnya salah tingkah.


Mereka menghabiskan waktu bersama dengan memakan ayam yang mereka bakar tadi dan sedikit meminum-minuman alkohol.

Harsan lah yang paling lemah soal alkohol, Ia tidak bisa meminum terlalu banyak tapi Ia memaksakannya untuk malam kali ini.

Perihal yang paling kuat untuk meminum alkohol adalah Jergas. Sungguh Jergas saat ini masih biasa-biasa saja dan menertawai kelakuan Harsan yang menangis merengek ke Wawa.

“Baee, pokoknya nanti kita harus satu kampus!! jangan jauh-jauhan nanti aku kangen kamu gimana” rancau Harsan.

Wawa yang sudah sedikit mabok pun hanya diam dan membiarkan Harsan memeluk dirinya.

Jergas dan Salsa bergidik geli melihat Harsan yang sudah mabok berat tapi masih memaksakan untuk minum lagi.

“Udah, San. Tidur aja sana” Jergas mengambil botol yang mau diteguk oleh Harsan dari tangannya.

“Ayo Jer, bantuin gua gendong dia ke kamar” ucap Wawa membantu Harsan berdiri.

Jergas memapah Harsan disamping kiri dan Wawa disamping kanan. Walaupun Harsan cukup berat tapi akhirnya mereka berhasil meniduri Harsan di kamar.

Setelah memastikan Harsan sudah aman, kemudian Jergas menutup pintu kamar dan Wawa pergi ke kamar sebelah untuk beristirahat.

“Temenin Salsa ya, Jer. Biasanya dia kalo diem gitu lagi banyak yang dipikirin” kata Wawa sebelum menutup pintu kamarnya.

Jergas mengangguk paham, “Iya, Wa. Santai aja gua temenin kok Salsanya”.

Wawa mengasih jari jempol dan menutup pintu kamarnya. Jergas segera berlari turun kebawah untuk menemui Salsa.

Namun saat Jergas melihat ke arah ruang keluarga Ia tidak menemukan Salsa duduk disana. Jergas panik dan mencarinya disuruh ruangan, namun nihil Ia tidak menemukan sosok Salsa dimana-mana.

Sampai akhirnya angin berhembus dan memperlihatkan Salsa berdiri di depan balkon yang tertutup gorden dengan Ia yang sedikit mabuk.

“Hadehh kirain ngilang kemana” kata Jergas menghampiri Salsa yang sedang merenungkan diri.

“Hahaha, panik ya lo” ujar Salsa menoleh ke Jergas yang berdiri disebelahnya.

“Iya, gua cariin ke semua ruangan, taunya disini”.

Salsa terkekeh dan mempejamkan matanya saat angin berhembus menerpa wajahnya.

“Ke dalem aja, yuk? angin malem ini, Sal. Bahaya” ajak Jergas menyuruh Salsa untuk ke dalam, takut Salsa sakit dan Ia juga memakai dress yang tipis.

“Ngga mau, disini enak tau dingin”.

Jergas menghela nafas pasrah dan melepaskan jaketnya dan memakaikannya ke pundak Salsa.

Salsa tersenyum saat Jergas memakaikan jaketnya ke dirinya, “Thank you, Jer”.

Si pemilik jaket hanya mengangguk dan menemani Salsa disebelahnya sampai Ia mau masuk ke dalam untuk beristirahat.

Salsa meringis saat lambungnya kembali kambuh dan menunduk memegang perutnya yang sangat sakit.

“Eh Sal??? Sakit perut??” tanya Jergas panik melihat Salsa memegang perutnya.

Salsa menggelengkan kepala dan merasa asam lambungnya naik ingin mual. Segera Salsa berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi dalam perutnya.

Jergas mengikuti Salsa dibelakangnya untuk memastikan Salsa baik-baik saja.

Di dalam kamar mandi Salsa benar-benar ngeluarkan isi perutnya walaupun hanya ada air dari minuman tadi, dirinya sangat lemas dan tidak bisa lagi untuk berdiri dan perutnya masih terasa sakit hingga sekarang.

“Udah muntahin semuanya, Sal?” tanya Jergas dari pintu kamar mandi.

“Jer… bantuin gue bangun please…” pinta Salsa yang menangis di dalam manahan rasa sakit perutnya.

Langsung Jergas masuk ke dalam kamar mandi setelah Salsa memintanya untuk bantu membangunkan dirinya. Melihat Salsa duduk lemas di depan closet membuatnya takut Salsa akan pingsan.

Segera Jergas mengendong Salsa dan membawanya ke sofa yang sudah dijadikan kasur oleh Wawa untuk tidur.

Jergas menaruh Salsa dengan hati-hati takut Salsa meringis kesakitan dengan perutnya itu. Setelah menidurkan Salsa, Jergas berlari ke dapur dan kamar untuk mengambil air putih dan selimut untuk Salsa.

Ia membawa segelas air putih dan membantu Salsa untuk duduk sebentar.

“Bangun dulu Sal, minum baru tidur lagi”

Salsa hanya mengangguk meminum air putih setengah gelas dan merebahkan dirinya kembali, Jergas menyelimuti Salsa dengan selimut lalu beranjak pergi ke kamarnya untuk beristirahat juga.

“Jer… disini aja temenin…” ucap Salsa saat melihat Jergas mau menaiki tangga ke atas.

Jergas membalikan badan lalu terkekeh, “Gua tidur dimana, Sal nantinya”.

Salsa menepuk tempat disebelahnya untuk Jergas tidur disampingnya, “Di sini”.

“Gapapa gua tidur disebelah lo?” tanya Jergas memastikannya.

Salsa mengangguk, “Mau peluk.. dingin”.

Jergas tersenyum gemas melihat Salsa yang sedikit mabuk meminta untuk menemaninya sambil memeluk dirinya.

Jergas menghampiri Salsa dan memasuki selimut merebahkan dirinya disebelah Salsa dengan tangan sebagai tumpuan bantal.

Salsa tersenyum lalu memeluk Jergas mencium wangi tubuhnya membuat Ia terlelap dengan cepat karena merasa nyaman di dalam pelukannya.

Jergas menggunakan tangan kanannya untuk mengelus-elus rambut panjang Salsa dan tangan kirinya untuk memeluk Salsa erat.

Akhirnya mereka tertidur di ruang tamu dengan TV yang menyala sebagai tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Sedangkan sang dua insan tersebut sudah melalui alam mimpi masing-masing.

Mobil milik Jergas melanjurkan mobilnya ke arah rest area Jagorawi kilometer 34 untuk berisirahat sejenak. Salsa yang sadar Jergas memasuki rest area tersebut menoleh ke arahnya.

“Ngantuk ngga, Jer?” tanya Salsa menatap Jergas.

“Iya ngantuk sedikit, mau beli kopi dulu nih” jawab Jergas memarkirkan mobilnya di depan Starbucks.

Salsa mengangguk paham lalu melihat sekitar rest area dari mobil, ternyata lumayan ramai karena orang berliburan natal.

Setelah memastikan parkiran aman, Jergas menyandarkan kepalanya ke kursi mobil sambil mempejamkan matanya kantuk.

“Tukeran aja tuh sama Harsan, bangunin aja kasian lo capek” saran Salsa melihat Jergas yang kecapekan.

Jergas menghela nafas lalu menatap Salsa, “Iya nanti gua merem dulu 5 menit, lo tidur aja Sal, pasti lo ngantuk juga nemenin gua ngobrol dari tadi”

Salsa terkekeh karena Jergas menyadari soal itu. “Gue keluar ya? mau ke toilet nih”.

“Bareng aja, gua sekalian mau ke starbucks

“Eh jangan! lo tidur aja, biar gue yang keluar sekalian”

“Gue sekalian cari angin, Sal” kata Jergas dan membuka pintu mobil untuk keluar.

Salsa pasrah dan mengikuti Jergas jalan beriringan mengikuti kaki besar Jergas melangkah.

Ternyata Jergas mengikutinya sampai toilet dan menunggui Salsa sampai keluar dari toilet tersebut.

“Jer, kenapa ngga ke starbucksnya langsung?”.

“Takut lo diculik, Sal” katanya sambil terkekeh.

“Gue bukan anak kecil kali, Jer” ujar Salsa meninggalkan Jergas yang berdiri di depan toilet wanita.

“Eh tungguin gua lah, Cil! bocil!” seru Jergas namun Salsa mengabaikannya.

Jergas lari menyusul langkah Salsa dengan cepat dan mengapai tangannya. Salsa yang merasa tangannya digenggam pun sontak melihat ke arah tersebut.

“Nah ketangkepkan lo, hahaha!”.

“Ck! dibilang gue bukan anak kecil!”

“Lah tadi ada anak kecil ninggalin gue di toilet perempuan lari-lari, bukannya lo?”

“Salah orang kali, Mas? maaf ya”

“Hahaha apaan si!” seru Jergas tertawa dengan tangan yang masih bergandengan sampai masuk ke Starbucks.

Mereka memesan empat minuman, duanya lagi untuk Harsan dan juga Wawa agar saat mengendarai tidak mengantuk.

Jergas dan Salsa sudah masuk ke dalam mobil dan melihat ke arah belakang, bahwa Harsan dan Wawa begitu nyenyak tidur sambil berpelukan. Membuat keduanya malas untuk membangunkannya.

“San! Harsan! bangun nyetir gih!” pinta Jergas menepuk kakinya agar Harsan terbangun dari tidurnya.

“Emhh nanti dulu 5 menit deh” kata Harsan yang enggan untuk bangun dan masih tidur memeluk Wawa yang ada disebelahnya.

“Ish buruan Harsan! keburu malem ini!” kata Salsa mencubit kaki Harsan gemes.

“Ck! Iya iya gw nyetir ini! bae, bangun dulu mau disini apa pindah ke depan?”

Wawa yang ditanya pun membuka matanya kantuk dan segera duduk seperti semula.

“Mau di depan bareng bae”

Harsan dan Wawa bertukeran tempat dengan Jergas dan Salsa yang jadi dibelakang, akhirnya mereka bisa bergantian untuk tidur.

“Kopi tuh minum, gua ngga mau mati disetir sama lo” ucap Jergas yang berada dibelakang Harsan.

“Tenang aja buset, ngga bakal mati santai aja santai tidur aja gitu”

Salsa yang sedari tadi mengantuk tidak ikut bersuara dan mempejamkan matanya untuk masuk ke dalam mimpi.

Mobil sudah keluar dari rest area dan melanjutkan perjalanan menuju Villa milik keluarga Harsan. Menurut google perjalanan ini akan sampai 30 menit lagi dan Jergas memanfaatkan waktu itu untuk tidur sama dengan Salsa yang sudah tepar disamping Jergas.

Salsa yang menyandarkan kepalanya ke pintu sampingnya merasa pusing karena getaran dari mobil yang berjalan, Salsa memutuskan untuk menyandarkan kepalanya ke pundak milik Jergas.

Jergas yang tadinya sedang berusaha tidur pun bangun dengan Salsa yang tiba-tiba bersadar kepadanya. Jergas membenahi duduknya agar Salsa tidur nyaman berada dipundaknya.

Harsan terkekeh melihat keduanya dari cermin mobil, “Lo suka Salsa, Jer?”.

Yang ditanya pun menoleh ke cermin menatap Harsan dari sana.

“Bohong kalo gua bilang ngga suka dia, San” jawabnya kembali menatap Salsa dan mengelus rambut panjangnya.

Harsan terkekeh mendengar jawaban Jergas bahwa Ia memang sesuka itu sama Salsa.

“Tunggu waktu doang dong berarti?” tanya Wawa menoleh kebelakang.

“Iya tunggu waktunya pas aja, karna gua sendiri juga masih mastiin perasaan gua ke dia”

“Pastiin bener-bener, Jer! awas lo nyakitin tuh anak!” tegur Wawa.

“Bapaknya TNI mati lo kalo berani nyakitin tuh anak” kata Harsan menakut-nakutkan Jergas.

“Iya astaga ngga bakal gua kaya gitu anjing, mending lo nyetir yang bener, pusing gua kalo lo bawa mobil ugal-ugalan”.

“Namanya juga mantan pembalap, maklumin aja ya penumpangku semuanya”.

“Pembalap becak juga banyak gaya” canda Jergas tertawa.

“Kurang ajar!!, gw bawa ngebut nanti ketar ketir”.

“Udah-udah nyetir dulu, Bae!!“ omel Wawa.

“Iya sayang, iya”.


Akhirnya mereka telah sampai diperkarangan Villa mewah milik keluarga Harsan yang disambut oleh penjaganya.

“Sampai juga si Aa, kirain bakal ke sini malem” ujar Pak penjaga.

“Ngga Pak, ini juga tadi buru-buru biar ngga sampai sini kemaleman”

“Oh ya sudah kalo gitu, parkir disana aja Aa”

Pak penjaga mengarahkan mobil untuk diparkirkan ke halaman depan disamping lapangan basket.

“Sip sudah terparkir aman!” kata Pak penjaga mengasih jempol dari depan mobil.

“Terima kasih, Pak”.

Harsan mematikan mobil dan melepaskan sabuk pengaman, lalu membangunkan Jergas dan Salsa bahwa mereka sudah sampai di Villa.

“Bangun cepet!! bantuin pindahin barang!”

Salsa terbangun mendengar suara Harsan lalu sadar bahwa Ia tidur disadaran Jergas buru-buru bangun dan mengucek mata.

“Iya sabar anjir gua baru melek” ujar Jergas memutarkan lengannya karena pegal.

“Aduh sorry ya Jer, lo jadi pegel gitu… gue beliin koyo deh, mau ngga??” kata Salsa panik melihat Jergas sepertinya pegal menahan sadarannya.

“Eh, gapapa Sal, ngga pegel kok gue lagi rentangin badan doang” ucap Jergas sengaja bilang Ia tidak pegal, takut Salsa makin merasa bersalah.

“Salsa!! bantuin gua pindahin bahan masak!!!” pinta Wawa dari bagasi belakang.

“Iya sabar!! maaf ya, Jer” kata Salsa masih meminta maaf kepada Jergas.

“Gapapa astaga Sal, jangan ngerasa bersalah gitu kali. Ayo turun pindahin barang-barang”.

“Ayo!”

Mereka berempat memindahkan barang-barang yang dibawa masing-masing. Barang yang mereka bawa tidak terlalu banyak, kecuali barang Salsa dan Wawa.

Seperti perempuan pada umumnya mereka memang selalu bawa barang lebih untuk berjaga-jaga apabila ada yang kurang.

Pukul 18.53 PM mereka semua tepar di kamar masing-masing setelah semua barang sudah ditempatkan ditempatnya.

Salsa dan Wawa berada satu kamar, sama dengan Jergas dan Harsan mereka teman satu kamar. Kamar terletak di lantai 2 Villa tersebut, dibawah hanya ada dapur, ruang keluarga, dan tempat-tempat gazebo lainnya.

Mereka memutuskan untuk beristirahat selama 1 jam saja, karena hawa puncak malam ini sangat dingin membuatnya ingin cepat-cepat tidur dengan nyenyak.

Walaupun telat 30 menit dan acara sudah sampai dipenghujung, namun nama Salsabilla Trashila belum disebutkan.

Ia duduk di kursi belakang karna sudah tidak ada lagi tempat duduk di baris terdepan, Salsa yakin pasti Harsan, Wawa, dan juga Jergas ada di kursi terdepan.

Sengaja Salsa tidak memberi tahu mereka bahwa dirinya sudah tiba disekolah, males untuk mendengar kecerewetan sahabatnya itu.

Guru yang membawa acara kali ini terus memanggil siswa untuk ke atas panggung untuk mengambil sebuah Ijazah, sampailah disaat nama Salsabila Trashila disebutkan untuk menuju ke atas panggung.

Jujur hati salsa tidak tenang sama sekali, campur aduk rasanya. Ia masih berdiam diri enggan untuk berdiri sedikitpun.

Sampailah ada sebuah tangan yang mencubit wajahnya, Salsa sontak melihat ke arah belakang dan menutup mulutnya tidak percaya.

Seseorang yang Salsa sangat harapkan untuk datang diacara kelulusannya ternyata benar-benar datang. Orang itu ialah, Bunda.

“Kok bengong? ayo maju sana, udah di tungguin loh” ujar Bunda menunjuk ke arah panggung.

Salsa tetap diam tidak berkutik, sampai akhirnya Guru itu memanggil namanya sekali lagi.

“Salsabila Trashila, dengan peringkat nomor 3”

Buru-buru Salsa menuju panggung itu berada dan menaiki setiap tangganya dengan hati-hati. Kepala sekolah mengasih Ijazah itu kepada Salsa dan mengucapkan selamat.

“Selamat untuk kamu yang mendapatkan peringkat 3 paralel di angkatan, sukses selalu untuk kamu, Salsa.” ucapan selamat dari kepala sekolah membuat seluruh yang datang ke acara kali ini bertepuk tangan.

“Terima kasih banyak, Pak” ujar Salsa dengan senyuman dan berfoto saat memegang Ijazah dengan gaya candid bersama kepala sekolah.

Harsan, Wawa, dan Jergas segera menghampiri Salsa saat sudah turun panggung dan memeluknya secara bersamaan, namun tidak dengan Jergas.

“Aduh satu-satu dong, sesek gue anjir!!” protes Salsa yang tiba-tiba dipeluk oleh Harsan dan Wawa.

“Salsa huhu… keren banget sahabat gua” kata Wawa terharu.

“Salsa lain kali kalo mau sharing otak bisa ke gw, gw open banget kok” canda Harsan yang langsung di injek kakinya oleh Salsa.

“Akhh, sakit anjing” eluh Harsan.

“Lagian bae ih! orang lagi terharu juga!” omel wawa, namun Harsan hanya cengengesan.

“Tau tuh! omelin Wa!” kompor Salsa.

Jergas mendekati diri ke arah Salsa dengan sebuah bucket bunga yang ada di tangan kanannya.

“Selamat, Sal, lo emang deserve buat dapet ini” ucap Jergas sambil mengasih bucket bunga tersebut ke Salsa.

Salsa tersenyum dan mengambil bucket bunga tersebut, “Thank you, Jer”.

Jergas ikut tersenyum, sedangkan Harsan mengisyaratkan Jergas untuk memeluk Salsa, Jergas mengerutkan alis tidak mengerti apa yang dimaksud Harsan.

“Peluk dong Salsanya!” seru Harsan dengan senyuman meledek.

“Peluk ucapan selamat, Jer! gitu aja ngga ngerti!” sindir Wawa yang ada disebelah Harsan.

“Ih apaan si! kompor banget lo—“

Harsan mendorong Jergas yang ada di depannya dan jatuh ke pelukkan Salsa.

Salsa sontak membelalakkan matanya saat Jergas sontak memelukknya. Jergas kaget langsung melepaskan pelukkannya.

Sorry, Sal” ucapnya malu karna banyak yang memperhatikan keduanya.

“Gapapa, emang rese banget si Harsan!”

“Sini lo nyet! mati lo ditangan gua!” seru Jergas mengerjar Harsan yang lari ke lapangan luar.

Wawa dan Salsa hanya menggelengkan kepalanya, tidak heran lagi mereka memang seperti Tom and Jerry.

“Cie cie, abis dipeluk siapa tuh” ujar Bunda menghampiri bersama tante Farrah.

“Calon pacarnya Salsa, Bun!” kata Wawa dan langsung mendapatkan tatapan sinis dari Salsa.

“Udah gede ya, Adik? ngga kerasa selamat ya cantik!” ujar tante Farrah mengasihkan bucket bunga.

“Udah dong, anak gue ini!” seru Bunda memeluk Salsa.

“Terima kasih Bunda dan tante Farrah yang udah mau dateng, aku kira kalian ngga mau dateng ke sini….” ucap Salsa sedih.

Bunda tersenyum dan mempererat pelukannya. “Kewajiban dong! jadi harus dateng, anak Bunda sudah dewasa. Hebat! selamat nak”.

Tante Farrah dan Wawa ikut bergabung memeluk Salsa terharu.

Saat ini Salsa sudah berada dimobil milik tante Farrah yang disupir oleh suruhannya. Tante Farrah adalah adik dari bundanya yang bernama Tayya Trashila, Tante Farrah lah yang selalu menggantikan posisi bunda jika sedang berhalangan, seperti saat ini.

Bukan sekali duakali bunda seperti ini, memang selalu begini disaat Salsa benar-benar membutuhkan sosok Bundanya. Sedih? jelas sedih, namun ia sangat mengerti mungkin Bunda sangat sibuk di Rumah Sakit. Dan begitupun juga Ayah yang sedang berdinas jauh.

Terkadang merasa tidak enak dengan tante Farrah yang selalu menemaninya, padahal Ia bukan lah orang tua kandung, melainkan hanya tantenya sendiri.

Farrah yang menyadari Salsa meneteskan air matanya segera memeluknya yang ada disampingnya.

“Ayo nangis aja dipelukan Tante” ujar tante Farrah mengelus-elus punggung Salsa sebagai penenang.

Tangisan yang sedari tadi Ia tahan akhirnya pecah juga di dalam pelukan hangat dari Tante Farrah. Rasa sakit kepala karena menangis semalaman muncul kembali, ditambah dengan rasa sakit hati yang merasa dirinya tidak terlalu penting bagi orang tuanya sendiri.

“Tan, aku emang ngga sepenting itu ya dimata mereka?” tanya Salsa disela tangisannya.

“Penting kok sayang, kamu ‘kan putri kerajaan mereka masa ngga penting?”

Tangisan Salsa semakin menjadi-jadi, rumit untuk menahan semua rasa ini. Yang hadir hanya kesepian yang ada di dalam kehidupannya, Teman? entahlah, Salsa hanya membutuhkan sosok warna di dalam isi rumahnya.

“Buang-buang tentang fikiran itu ya? kamu penting buat Bunda dan Ayah kamu, cuma untuk saat ini pekerjaan mereka tidak bisa disampingkan untuk menghadiri kelulusan kamu” lanjutnya.

Salsa melepaskan pelukan itu dan menatap netra Tante Farrah, “Tapi emang selalu begitukan? mereka ngga bisa mempersampingkan pekerjaan mereka buat aku, Tan!” suara intonasi Salsa meninggi karna kelewatan emosional.

“Aku yang selalu ngertiin mereka, tapi mereka ngga pernah ngertiin perasaan aku!”

“Pak, berhenti dulu” pinta Tante Farrah untuk menenangkan Salsa sejenak.

Salsa membuang mukanya ke arah jendela mobil dan memilih untuk melihat mobil lalu lalang dari pada melihat muka Tante Farrah.

Ia tahu ini sudah kelewatan, tidak seharusnya Salsa seperti ini kepada Tante Farrah yang kena imbas emosinya. Namun untuk kali ini Ia sudah tidak bisa menahannya lagi, Salsa hanya ingin dimengertikan balik oleh kedua orang tuanya.

“Ayo keluarkan semua yang kamu pendam sendirian kali ini, keluarkan semuanya. Bilang sama tante” ucap tante Farrah yang sengaja menyuruhnya mengeluarkan unek-uneknya selama ini, gunanya untuk membuat hati Salsa agar lebih sedikit lega.

“Tan, rumah hampa tanpa adanya mereka. Aku kangen Ayah sama Bunda” kata Salsa masih dengan memandang jalanan dengan air mata turun deras wajahnya.

Tante Farrah hanya diam dan mengangguk paham mendengarkan Salsa.

“Hidup aku ngga berwarna tanpa ada mereka disetiap hari-hari pagiku, ngga ada sarapan yang bunda buat untuk aku. Melainkan sarapan yang dibuat oleh bibi Hasnah yang ada disetiap paginya”.

Tante Farrah masih mendengarkan Salsa, lalu mengelus-elus rambutnya secara pelan-pelan.

“Tan, aku takut kesepian…”

Tangisan Salsa semakin mengeras namun Ia menahannya dengan menutupkan mulutnya dengan tangannya.

Farrah yang melihat betapa hancurnya Salsa yang meranjak dewasa tanpa hadirnya orang tua disaat Ia sangat membutuhkannya itu sangat tidak tega.

Dibawanya lagi Salsa kepelukannya dan Farrah ikut menangis tanpa Salsa sadari. Siapa yang tidak sedih jika keponakannya ini begitu kesepian dari kecil hingga sekarang.

“Tan, aku takut…” rintih Salsa dipelukan Farrah.

“Sstt, ada aku disini. Tante ‘kan selalu ada disamping kamu”

Salsa hanya mengangguk sebagai responan, tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Hatinya sudah cukup hancur sekarang.

“Maafkan mereka ya, Sal? Tante tahu mereka cukup jahat dimata kamu, tapi ada saatnya nanti kamu akan mengerti”

Salsa tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Tantenya. “Apa lagi yang perlu dimengerti?”.

Merasa Salsa sudah cukup tenang, Farrah melepaskan pelukannya dan mengulang kembali makeup yang Salsa bikin tadi pagi.

“Ayo hadap sini dulu, Tante makeup ulang semuanya biar lebih cantik” ucapnya membujuk Salsa.

Salsa menghapus air mata yang masih mengalir, dan hanya pasrah menyerahkan wajahnya kepada tantenya. Disela itu Salsa membuka Handphone miliknya, banyak notifikasi dari Harsan, Wawa, dan juga Jergas.

Tidak ada satupun pesan yang Ia balas, karena malas untuk menceritakan kornologi yang terjadi tadi. Ia hanya mengirim pesan ke Bunda.

Hanya membutuhkan waktu selama 15 menit untuk make over Salsa untuk kembali menjadi cantik seperti tadi pagi.

“Selesai deh, senyum dong biar nambah cantik”

Salsa tersenyum lalu terkekeh, “Maafin aku ya, Tan? maaf suka ngerepotin”.

Tante Farrah hanya menggeleng, “Jangan minta maaf, itu memang sudah kewajiban Tante ke kamu, Salsa” katanya dan tersenyum.

Salsa kembali memeluk Tante Farrah, sembunyi di dalam pundaknya.

Dibalasnya pelukan itu erat, dan mengelus-elus kepala Salsa. Farrah paham betul Salsa saat ini sangat membutuhkan pelukkannya.

“Pak, jalan kita sudah telat 30 menit”.

Pak supir kembali menyalakan mobilnya dan menuju ke sekolahan Salsa.

Saat ini Salsa sudah berada dimobil milik tante Farrah yang disupir oleh suruhannya. Tante Farrah adalah adik dari bundanya yang bernama Tayya Trashila, Tante Farrah lah yang selalu menggantikan posisi bunda jika sedang berhalangan, seperti saat ini.

Bukan sekali duakali bunda seperti ini, memang selalu begini disaat Salsa benar-benar membutuhkan sosok Bundanya. Sedih? jelas sedih, namun ia sangat mengerti mungkin Bunda sangat sibuk di Rumah Sakit. Dan begitupun juga Ayah yang sedang berdinas jauh.

Terkadang merasa tidak enak dengan tante Farrah yang selalu menemaninya, padahal Ia bukan lah orang tua kandung, melainkan hanya tantenya sendiri.

Farrah yang menyadari Salsa meneteskan air matanya segera memeluknya yang ada disampingnya.

“Ayo nangis aja dipelukan Tante” ujar tante Farrah mengelus-elus punggung Salsa sebagai penenang.

Tangisan yang sedari tadi Ia tahan akhirnya pecah juga di dalam pelukan hangat dari Tante Farrah. Rasa sakit kepala karena menangis semalaman muncul kembali, ditambah dengan rasa sakit hati yang merasa dirinya tidak terlalu penting bagi orang tuanya sendiri.

“Tan, aku emang ngga sepenting itu ya dimata mereka?” tanya Salsa disela tangisannya.

“Penting kok sayang, kamu ‘kan putri kerajaan mereka masa ngga penting?”

Tangisan Salsa semakin menjadi-jadi, rumit untuk menahan semua rasa ini. Yang hadir hanya kesepian yang ada di dalam kehidupannya, Teman? entahlah, Salsa hanya membutuhkan sosok warna di dalam isi rumahnya.

“Buang-buang tentang fikiran itu ya? kamu penting buat Bunda dan Ayah kamu, cuma untuk saat ini pekerjaan mereka tidak bisa disampingkan untuk menghadiri kelulusan kamu” lanjutnya.

Salsa melepaskan pelukan itu dan menatap netra Tante Farrah, “Tapi emang selalu begitukan? mereka ngga bisa mempersampingkan pekerjaan mereka buat aku, Tan!” suara intonasi Salsa meninggi karna kelewatan emosional.

“Aku yang selalu ngertiin mereka, tapi mereka ngga pernah ngertiin perasaan aku!”

“Pak, berhenti dulu” pinta Tante Farrah untuk menenangkan Salsa sejenak.

Salsa membuang mukanya ke arah jendela mobil dan memilih untuk melihat mobil lalu lalang dari pada melihat muka Tante Farrah.

Ia tahu ini sudah kelewatan, tidak seharusnya Salsa seperti ini kepada Tante Farrah yang kena imbas emosinya. Namun untuk kali ini Ia sudah tidak bisa menahannya lagi, Salsa hanya ingin dimengertikan balik oleh kedua orang tuanya.

“Ayo keluarkan semua yang kamu pendam sendirian kali ini, keluarkan semuanya. Bilang sama tante” ucap tante Farrah yang sengaja menyuruhnya mengeluarkan unek-uneknya selama ini, gunanya untuk membuat hati Salsa agar lebih sedikit lega.

“Tan, rumah hampa tanpa adanya mereka. Aku kangen Ayah sama Bunda” kata Salsa masih dengan memandang jalanan dengan air mata turun deras wajahnya.

Tante Farrah hanya diam dan mengangguk paham mendengarkan Salsa.

“Hidup aku ngga berwarna tanpa ada mereka disetiap hari-hari pagiku, ngga ada sarapan yang bunda buat untuk aku. Melainkan sarapan yang dibuat oleh bibi Hasnah yang ada disetiap paginya”.

Tante Farrah masih mendengarkan Salsa, lalu mengelus-elus rambutnya secara pelan-pelan.

“Tan, aku takut kesepian…”

Tangisan Salsa semakin mengeras namun Ia menahannya dengan menutupkan mulutnya dengan tangannya.

Farrah yang melihat betapa hancurnya Salsa yang meranjak dewasa tanpa hadirnya orang tua disaat Ia sangat membutuhkannya itu sangat tidak tega.

Dibawanya lagi Salsa kepelukannya dan Farrah ikut menangis tanpa Salsa sadari. Siapa yang tidak sedih jika keponakannya ini begitu kesepian dari kecil hingga sekarang.

“Tan, aku takut…” rintih Salsa dipelukan Farrah.

“Sstt, ada aku disini. Tante ‘kan selalu ada disamping kamu”

Salsa hanya mengangguk sebagai responan, tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Hatinya sudah cukup hancur sekarang.

“Maafkan mereka ya, Sal? Tante tahu mereka cukup jahat dimata kamu, tapi ada saatnya nanti kamu akan mengerti”

Salsa tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Tantenya. “Apa lagi yang perlu dimengerti?”.

Merasa Salsa sudah cukup tenang, Farrah melepaskan pelukannya dan mengulang kembali makeup yang Salsa bikin tadi pagi.

“Ayo hadap sini dulu, Tante makeup ulang semuanya biar lebih cantik” ucapnya membujuk Salsa.

Salsa menghapus air mata yang masih mengalir, dan hanya pasrah menyerahkan wajahnya kepada tantenya. Disela itu Salsa membuka handphonenya, banyak notifikasi dari Harsan, Wawa, dan juga Jergas.

Tidak ada satupun pesan yang Ia balas, karena malas untuk menceritakan kornologi yang terjadi tadi. Ia hanya mengirim pesan ke Bunda.

Hanya membutuhkan waktu selama 15 menit untuk make over Salsa untuk kembali menjadi cantik seperti tadi pagi.

“Selesai deh, senyum dong biar nambah cantik”

Salsa tersenyum lalu terkekeh, “Maafin aku ya, Tan? maaf suka ngerepotin”.

Tante Farrah hanya menggeleng, “Jangan minta maaf, itu memang sudah kewajiban Tante ke kamu, Salsa” katanya dan tersenyum.

Salsa kembali memeluk Tante Farrah, sembunyi di dalam pundaknya.

Dibalasnya pelukan itu erat, dan mengelus-elus kepala Salsa. Farrah paham betul Salsa saat ini sangat membutuhkan pelukkannya.

“Pak, jalan kita sudah telat 30 menit”.

Pak supir kembali menyalakan mobilnya dan menuju ke sekolahan Salsa.

Saat ini Salsa sudah berada dimobil milik tante Farrah yang disupir oleh suruhannya. Tante Farrah adalah adik dari bundanya yang bernama Tayya Trashila, Tante Farrah lah yang selalu menggantikan posisi bunda jika sedang berhalangan, seperti saat ini.

Bukan sekali duakali bunda seperti ini, memang selalu begini disaat Salsa benar-benar membutuhkan sosok Bundanya. Sedih? jelas sedih, namun ia sangat mengerti mungkin Bunda sangat sibuk di Rumah Sakit. Dan begitupun juga Ayah yang sedang berdinas jauh.

Terkadang merasa tidak enak dengan tante Farrah yang selalu menemaninya, padahal Ia bukan lah orang tua kandung, melainkan hanya tantenya sendiri.

Farrah yang menyadari Salsa meneteskan air matanya segera memeluknya yang ada disampingnya.

“Ayo nangis aja dipelukan Tante” ujar tante Farrah mengelus-elus punggung Salsa sebagai penenang.

Tangisan yang sedari tadi Ia tahan akhirnya pecah juga di dalam pelukan hangat dari Tante Farrah. Rasa sakit kepala karena menangis semalaman muncul kembali, ditambah dengan rasa sakit hati yang merasa dirinya tidak terlalu penting bagi orang tuanya sendiri.

“Tan, aku emang ngga sepenting itu ya dimata mereka?” tanya Salsa disela tangisannya.

“Penting kok sayang, kamu ‘kan putri kerajaan mereka masa ngga penting?”

Tangisan Salsa semakin menjadi-jadi, rumit untuk menahan semua rasa ini. Yang hadir hanya kesepian yang ada di dalam kehidupannya, Teman? entahlah, Salsa hanya membutuhkan sosok warna di dalam isi rumahnya.

“Buang-buang tentang fikiran itu ya? kamu penting buat Bunda dan Ayah kamu, cuma untuk saat ini pekerjaan mereka tidak bisa disampingkan untuk menghadiri kelulusan kamu” lanjutnya.

Salsa melepaskan pelukan itu dan menatap netra Tante Farrah, “Tapi emang selalu begitukan? mereka ngga bisa mempersampingkan pekerjaan mereka buat aku, Tan!” suara intonasi Salsa meninggi karna kelewatan emosional.

“Aku yang selalu ngertiin mereka, tapi mereka ngga pernah ngertiin perasaan aku!”

“Pak, berhenti dulu” pinta Tante Farrah untuk menenangkan Salsa sejenak.

Salsa membuang mukanya ke arah jendela mobil dan memilih untuk melihat mobil lalu lalang dari pada melihat muka Tante Farrah.

Ia tahu ini sudah kelewatan, tidak seharusnya Salsa seperti ini kepada Tante Farrah yang kena imbas emosinya. Namun untuk kali ini Ia sudah tidak bisa menahannya lagi, Salsa hanya ingin dimengertikan balik oleh kedua orang tuanya.

“Ayo keluarkan semua yang kamu pendam sendirian kali ini, keluarkan semuanya. Bilang sama tante” ucap tante Farrah yang sengaja menyuruhnya mengeluarkan unek-uneknya selama ini, gunanya untuk membuat hati Salsa agar lebih sedikit lega.

“Tan, rumah hampa tanpa adanya mereka. Aku kangen Ayah sama Bunda” kata Salsa masih dengan memandang jalanan dengan air mata turun deras wajahnya.

Tante Farrah hanya diam dan mengangguk paham mendengarkan Salsa.

“Hidup aku ngga berwarna tanpa ada mereka disetiap hari-hari pagiku, ngga ada sarapan yang bunda buat untuk aku. Melainkan sarapan yang dibuat oleh bibi Hasnah yang ada disetiap paginya”.

Tante Farrah masih mendengarkan Salsa, lalu mengelus-elus rambutnya secara pelan-pelan.

“Tan, aku takut kesepian…”

Tangisan Salsa semakin mengeras namun Ia menahannya dengan menutupkan mulutnya dengan tangannya.

Farrah yang melihat betapa hancurnya Salsa yang meranjak dewasa tanpa hadirnya orang tua disaat Ia sangat membutuhkannya itu sangat tidak tega.

Dibawanya lagi Salsa kepelukannya dan Farrah ikut menangis tanpa Salsa sadari. Siapa yang tidak sedih jika keponakannya ini begitu kesepian dari kecil hingga sekarang.

“Tan, aku takut…” rintih Salsa dipelukan Farrah.

“Sstt, ada aku disini. Tante ‘kan selalu ada disamping kamu”.

Salsa hanya mengangguk sebagai responan, tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Hatinya sudah cukup hancur sekarang.

“Maafkan mereka ya, Sal? Tante tahu mereka cukup jahat dimata kamu, tapi ada saatnya nanti kamu akan mengerti”

Salsa tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Tantenya. “Apa lagi yang perlu dimengerti?”.

Merasa Salsa sudah cukup tenang, Farrah melepaskan pelukannya dan mengulang kembali makeup yang Salsa bikin tadi pagi.

“Ayo hadap sini dulu, Tante makeup ulang semuanya biar lebih cantik” ucapnya membujuk Salsa.

Salsa menghapus air mata yang masih mengalir, dan hanya pasrah menyerahkan wajahnya kepada tantenya. Disela itu Salsa membuka handphonenya, banyak notifikasi dari Harsan, Wawa, dan juga Jergas.

Tidak ada satupun pesan yang Ia balas, karena malas untuk menceritakan kornologi yang terjadi tadi. Ia hanya mengirim pesan ke Bunda.

Hanya membutuhkan waktu selama 15 menit untuk make over Salsa untuk kembali menjadi cantik seperti tadi pagi.

“Selesai deh, senyum dong biar nambah cantik”

Salsa tersenyum lalu terkekeh, “Maafin aku ya, Tan? maaf suka ngerepotin”.

Tante Farrah hanya menggeleng, “Jangan minta maaf, itu memang sudah menjadi kewajiban Tante ke kamu, Salsa” katanya dan tersenyum.

Salsa kembali memeluk Tante Farrah, sembunyi di dalam pundaknya.

Dibalasnya pelukan itu erat, dan mengelus-elus kepala Salsa. Farrah paham betul Salsa saat ini sangat membutuhkan pelukkannya.

“Pak, jalan kita sudah telat 30 menit”.

Pak supir kembali menyalakan mobilnya dan menuju ke sekolahan Salsa.