Flashback.
Perusahaan Culture Group diambang ke bangkrutan kali ini. Papah yang sebagai direkrut juga sangat pusing perihal kejadian ini.
Mereka terkena tipu dengan bekerja sama dengan perusahaan italia yang menyamar sebagai perusahaan yang cukup besar disana. Nyatanya mereka hanya membuka toko sepatu kecil di daerah italia.
Saat ini lah Papah sebagai direkrut meminta bantuan kepada perusahaan milik temannya tapi dengan satu syarat, yaitu menjodohkan anaknya.
Janendra sudah mendengar itu dari sektretarisnya pun tidak kaget lagi, karna memang cuma ini jalan keluarnya agar perusahaan kembali stabil semula.
Papah memanggil Janendra ke ruang keluarga untuk mengobrol dua mata saja. Janendra yang baru turun dari kamarnya segera menghampiri sang Papah yang sedang mengopi santai.
“Duduk, Nak. Papah ingin berbicara” ucap yang Adiksa sang Papah sudah menunggu anaknya datang.
Janendra duduk dibangku sofa sebelah Papah dan mengambil kopi yang disediakan untuknya.
“Kamu masih berpacaran dengan Nakeya, Nak?” tanya Adiksa tiba-tiba.
Janendra mengangguk, “Iya, Pah. Kenapa emang?” tanya Janendra kebingungan.
Adiksa tersenyum lalu mengelus pundak sang anak, “Hebat, kamu cukup setia ya menjadi laki-laki.”
Janendra terkekeh dan menaruh gelas kopi ke meja, “Kan contohin Papah yang setia sama Mamah sampai akhir kehidupannya.”
Adiksa tersenyum mendengar jawaban dari anaknya dan kembali membaca koran.
“Papah mau jodohin aku ya?”
Yang ditanya menurunkan bacaan korannya dan mengangguk, “Iya, Nak. Kamu bersedia?”
Janendra yang sudah tahu dari awal perihal Papah yang memanggilnya untuk membicarakan soal ini pun tidak kaget lagi.
“Aku punya Nakeya seorang, Pah.”
“Papah paham betul perasaan kamu terhadap Nakeya, tapi ini demi perusahaan, Nak. Apalagi kamu sudah menjadi CEO perusahaan tersebut.” jelas Adiksa
“Kamu punya tanggung jawab penuh dengan perusahaan, termasuk Papah yang sebagai direkrut perusahaan yang sudah Papah bangun bersama Mamahmu dahulu.” sambung Adiksa menatap sang anak.
“Kenapa ngga Kak Laura aja, Pah? Masa aku ngedahuluin Kak Laura gitu aja.” tanya Janendra cetus tidak terima kalau ia akan menikah dan meninggalkan Nakeya begitu saja.
“Karna anaknya temen Papah hanya mempunyai anak sulung perempuan, Janendra. Dan kamulah satu-satunya harapan Papah.”
Janendra yang sudah pusing dengan kerjaan yang sangat bertubi-tubi, ditambah dengan ia disuruh menikah dengan anak temen Papah. Bagaiman ia bisa meninggalkan Nakeya yang sudah ia cintai dengan tulus 3 tahun belakangan ini?
“Kamu masih punya banyak waktu, selesaikan dahulu hubungan kamu dengan Nakeya, lalu mulai pendekatan dengan Ariel anak temen Papah.” ucap Adiksa menepuk pundak Janendra dan pergi meninggalkan ruang keluarga.
Janendra mengacak-acak rambutnya frustasi dan menunduk dalam-dalam menahan rasa amarahnya. Ia cukup lelah dengan semuanya, lantas menjadi dewasa adalah tahap yang menurutnya sangat sulit, sulit dengan kehidupan, sulit dengan percintaan, dan sulit juga untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat.
Haruskah ia menikahi Ariel dan meninggalkan Nakeya sendirian? membayangkannya saja sudah tidak bisa. Nakeya tetaplah seseorang yang mengisi kebahagiaannya selama hari-hari beratnya datang.
Sosok Nakeya adalah pelangi disaat hujan menghantamnya untuk terjatuh dalam hanyut bersama rintikkan hujan yang berjatuhan ke dalam tanah.