Goodbye.

Nakeya mengendarai mobilnya ke tempat ia dan Janendra sering datangi, yaitu Pantai. Walaupun cuaca malam ini sepertinya akan turun hujan ia akan tetap memaksakan menemui sang pacar.

Sedangkan Janendra sudah sampai lebih dulu, menunggu Nakeya akan datang di dalam mobil dengan sebuah bucket bunga favorite Nakeya dibangku sebelahnya.

Pukul 21.10 PM Nakeya memarkirkan mobil miliknya disebelah mobil Janendra dengan rapih lalu mematikan mesin mobilnya. Janendra yang melihat Nakeya sudah sampai segera turun dari mobilnya dan menghampiri Nakeya.

“Hai, Sayang! Kangen kamu banget…” sapa Janendra saat Nakeya keluar dari mobil dan memeluknya.

Nakeya tersenyum lalu membalas pelukannya, “Miss you more….

Mereka berdua bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Padahal Nakeya sudah mau menangis, akhirnya ia bertemu dengan pacarnya setelah sekian lama.

“Mau di dalem mobil aja atau di Pantai, Key?” tanya Janendra melepaskan pelukannya.

“Pantai aja, udah lama banget ngga kesana.”

Janendra mengangguk dan mengandeng tangan Nakeya ke pinggiran pantai untuk ngobrol tentang masalah yang ada di keduanya.

Nakeya mempejamkan matanya saat angin malam berhembus menerpa wajahnya dan suara ombak bergulung.

“Kerjaan kamu gimana? Lancar?” tanya Nakeya tanpa menatap Janendra.

“Bisa dibilang ngga, Key” jawab Janendra menghela nafasnya berat.

“Ada masalah ya? Sampai kamu sibuk gitu.”

“Iya, maaf ya, Key…”

Nakeya tersenyum kecut lalu mengangguk, “Gapapa, aku juga paham kok.”

Mereka berdua kembali hening sibuk dengan fikiran masing-masing, dengan suara deruan ombak yang mengisi keheningan diantaranya.

“Aku ambil sesuatu dulu ya dimobil” kata Janendra bangkit dari duduknya.

Nakeya hanya mengangguk lemah dan bermain pasir putih menulis nama ia dan sang pacar.

Janendra kembali dengan sebuah bucket bunga indah di tangannya yang ia beli sebelum datang ke tempat ini.

“Buat kamu, suka ngga?” ujar Janendra mengasih bucket bunga tersebut ke depan muka Nakeya yang sedang melamun.

Nakeya tersenyum dan mengambil bucket bunga tersebut menciumi aroma bunga yang menyeruak hidungnya.

“Wangi bangettt, aku suka!! Makasih Bubbyy!!” seru Nakeya kesenangan.

Janendra terkekeh dengan kelakuan Nakeya yang kesenangan, padahal cuma dikasih sebuat bucket bunga.

Merasa sudah pas waktunya untuk mengungkap kenapa ia begitu sibuk sama kerjaan dengan maksud lain menghindari Nakeya.

“Key, aku mau ngomong” ucap Janendra tegang.

“Iya ngomong aja.”

Janendra menghela nafasnya, berat untuk mengucapkannya, “Aku akan menikah dengan pilihan papah aku, Key.”

Nakeya yang sibuk memeluk bunga dari Janendra tiba-tiba mematung saat mendengar ucapan itu dari pacarnya.

“Kamu lagi bercanda, ya?” kata Nakeya yang masih bingung dengan ucapan Janendra.

“Aku serius, Key… Maafin aku…” dalih Janendra menahan rasa sakit mendalam di dadanya.

Ia sebenarnya juga tidak mau menerima perjodohan ini, namun karena mendesak dengan situasi kantor yang sangat menurun. Jadi mau tidak mau ia harus menerima perjodohan ini secara terpaksa.

Nakeya tersenyum kecut lalu menatap netra Janendra, “Jadi ini bunga terakhir untuk aku yang kamu kasih, ya?”

Janendra tidak menjawabnya dan mengalihkan pandangannya ke langit malam. Karna ia cukup takut melihat tatapan Nakeya yang penuh dengan kekecewaan terhadap dirinya.

Sungguh jika saat ini Janendra benar-benar bercanda dengan perkataan ia tadi, Nakeya akan tertawa lepas mendengarnya dari mulut Janendra.

“Aku gapapa, Jan. Kalo kamunya gimana? Bisakan tanpa adanya aku?” Bohong, Nakeya tidak akan pernah siap dengan perpisahaan diantara keduanya. Ia tidak akan pernah merelakan Janendra menikah dengan perempuan lain.

Janendra menggelengkan kepalanya lemah, “Jelas aku ngga bisa, Key. Aku bareng sama kamu 3 tahun, itu bukan waktu yang sebentar.”

Nakeya paham, benar dengan apa yang Janendra bilang. Tiga tahun bukanlah waktu yang sangat sebentar bagi mereka yang sudah menjalankan kisah cintanya.

Namun mau gimana pun juga yang namanya takdir tidak bisa diatur dengan sendirinya. Mau beberapa lamapun mereka menjalankan kisahnya akan sia-sia jika orang tersebut bukanlah jodohnya.

“Kamu harus bisa, Jan. Lupain segalanya tentang aku dan kamu, lupain kalo kita memang pernah ada satu sama lain” ujar Nakeya dengan suara yang bergetar menahan tangisan.

“Maaf… Key, tapi aku izin ya? Izin mencintai perempuan lain dengan lebih besar dari rasa cinta aku ke kamu selama ini.”

Nakeya mengangguk lemah dengan air mata yang menetes diwajahnya, “Di izinkan, Jan. Sampai kapanpun cintai perempuan itu sampai akhir dari kehidupan kalian.”

Janendra masih dengan menatap langit-langit malam agar tidak terlihat kalau ia sedang menangis sedih, karena harus menyudahi hubungan dari keduanya.

Sedangkan Nakeya menangis dalam diam. Tidak rela akhir dari sebuah hubungannya dengan mengenaskan seperti ini.

“Key, cari kebahagian kamu ya? Cari yang bisa membuat kamu bahagia sampai bisa lupakan kita selama ini” kata Janendra menatap netra Nakeya yang terus mengalir buliran air mata.

Nakeya mengangguk dan tersenyum paksa, “Aku pastikan bisa lupain kamu dan kita, Jan.”

Mereka kembali menangis dalam diam, sungguh perpisahaan yang sangat tidak disangka malam ini begitu sakit bagi keduanya.

Janendra yang akan menempuh hidup baru dengan perempuan lain, sedangkan Nakeya yang masih memikirkan kedepannya ia harus apa jika tidak ada Janendra di kehidupannya.

“Aku pamit, ya? Lupain semuanya tentang kita, tentang malam ini dan tempat ini juga.”

Janendra tidak menjawabnya dan membiarkan Nakeya pergi sendirian meninggalkan luka yang cukup besar bagi keduanya di tempat kali ini.

Saat Nakeya membuka pintu mobil ada tangan yang melingkar diperutnya memeluknya dari belakang, sudah pasti itu Janendra.

Janendra menangis dipundak Nakeya tersedu-sedu. Sedangkan Nakeya hanya berdiri diam dan memutarkan badannya untuk memeluk mantan pacarnya.

Melihat Janendra menangis begitu menyayat hatinya begitu kerasa sakit, Nakeya ikut menangis di dada bidang milik Janendra.

Mereka menangis berpelukkan selama 10 menit lamanya dan Nakeya melepaskan pelukan tersebut menghapus buliran air mata yang masih mengalir diwajah Janendra.

“Pelukan terakhir, aku pamit ya? Bahagia selalu buat kamu.”

“Ngga ada pelukan terakhir, Key. Kamu masih bisa meluk aku dilain waktu nanti.”

Nakeya mengangguk lalu masuk ke dalam mobil berdadah-dadah ria bersama Janendra sebagai tanda selamat tinggal.

Di dalam perjalanan tangisan Nakeya pecah tersedu-sedu. Masih tidak menyangka bahwa ia dan Janendra tidak lagi mempunyai hubungan spesial, melainkan akan menjadi orang asing dari masa lalunya.

Membayangkan Janendra akan mencintai perempuan tersebut secara tulus, sama dengan cara ia memperlakukan Nakeya. Membuatnya tidak sanggup jika itu akan terjadi dikit lagi.

Selama perjalanan pulang Nakeya membawa mobil dengan kecepatan penuh, mumpung jalanan malam hari ini sepi dan hujan sudah mulai turun deras sama dengan air yang mengalir deras diwajahnya.

Dengan malam yang cukup gelap dan air hujan turun deras penglihatan mata sembab Nakeya sulit untuk melihat jalanan.

Kecepatan penuh yang di injak oleh Nakeya hampir saja membuat sebuah kucing lewat mati, untungnya ia cepat-cepat menginjek pedal rem.

Nakeya mengatur nafasnya panik, tidak seharusnya Nakeya melampiaskan kemarahkannya seperti ini. Akhirnya ia menelpon Gibran untuk menjemputnya pulang dari sini.