Ranca Upas.

Empat sekawan sudah memasuki area rekreasi, namun hanya tertinggal Salsa yang masih di dalam mobil mencari sebuah jaket.

Harsan dan Wawa sudah masuk lebih dahulu meninggalkan Jergas dan juga Salsa yang masih di parkiran mobil.

“Pake jaket gua aja nih, ketinggalan kali jaket lo,” ujar Jergas seraya mengasih jaket miliknya ke Salsa yang masih mencari-cari jaketnya ke kursi belakang.

“Ih masa si tiba-tiba ngga ada gitu aja,” gerutu Salsa keluar dari mobil.

Jergas menghela nafas dan memakaikan jaket miliknya ke pundak Salsa. “Udah, ‘kan? Ayo masuk.”

Salsa mengangguk dan jalan berdampingan dengan Jergas.

Malam hari ini judulnya adalah Stargazing di Ranca upas. Banyak yang bilang katanya tempat ini bagus ketika malam hari, dan itu yang memaksa Wawa untuk datangi tempat ini, walaupun jaraknya sangat jauh dengan Villa yang mereka inapi.

“Jer, l-lo ngga k-kedinginnan ‘kan?” tanya Salsa yang memeluk dirinya dengan jaket milik Jergas.

“Ngga kok, gua kan pake hoodie,” jawab Jergas ketawa kecil melihat Salsa berjalan kedinginan.

Udara malam hari disini begitu sangat dingin mencapai 12 derajat kedinginannya, namun semuanya terkalahkan saat melihat langit-langit malam dari atas sini.

Langsung keduanya mencari tempat duduk yang nyaman dan tidak begitu ramai untuk melihat pemandangan indah ini.

“Cantik, Sal.”

“Iya makasih,”

“Eh? Iya langitnya emang cantik banget,” ucap Salsa mengalihkan ucapan yang salah diawal.

Jergas yang sedang memandang langit-langit terkekeh, “Ngga, lo emang cantik.”

“Jangan ngga jelas, Jer,” hardik Salsa menenggelamkan wajah malunya di jaket besar milik Jergas.

Setelah itu Keduanya menjadi canggung, tidak mau membuka obrolan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jergas yang mempunya selintas ide jahil pun iseng ingin mengerjai Salsa.

“Sal! Sal!! Awas itu ada uler!! Bangun bangun!!” seru Jergas menakut-nakuti Salsa.

“Hahh?!! Dimana ulernya!! Dimana!!” Salsa berdiri menjauh dari tempat duduknya.

“Jer!! bangun awas kena patok!!!” teriaknya sambil menyenteri cahaya dari handphone.

Jergas tertawa terbahak-bahak melihat Salsa ketakutan, ia berhasil menipunya.

“Sini Sal duduk lagi sini,” pinta Jergas yang masih tertawa.

“Ngga! Usir dulu itu ulernya, baru gue duduk situ.” gelak Salsa menunjuk tempat duduknya.

“Hahahaha! Ngga ada ulernya udah kabur.”

“Bohong.”

“Seriusan, orang gua cuma bercanda.”

“Sumpah lo?!! Ngeselin banget anjir,” omel Salsa menjewer telinga Jergas sampai memerah.

“Akhh! Iya iya ampun,” keluh Jergas memegang tangan Salsa.

Jergas berhasil menghancurkan kecanggungan tadi menjadi canda tawa dari keduanya.

“Jer.” panggil Salsa.

“Kenapa?” Jergas menoleh menatap netra Salsa.

“Menurut lo wajar ngga si suka sama orang 3 tahun, tapi dia ngga berani confess?”

“Waduh, itu si menurut gua wajar-wajar aja, Sal. Siapa tau dia emang punya alasan tersendiri, tapi kalo udah selama itu si mending kasih tau aja daripada mendem perasaan lama-lama ngga baik,” jelas Jergas panjang.

“Dianya siapa nih kalo boleh tau? Lo bukan?”

“Iya, gue.”

“Bisa suka sama orang juga si Salsa,” candanya.

“Bisa lah! gue kan juga manusia.”

“Siapa, Sal?” tanyanya.

“Apanya?” Salsa menoleh mengerutkan dahi.

“Orang yang lo suka.”

Salsa hanya menjawabnya dengan mengangkatkan bahu, tidak ingin Jergas tahu perihal perasaan yang ia pendam selama 3 tahun belakangan ini. Belum saatnya Jergas tahu.

Yang disebelahnya mengangguk kecewa paham itu adalah privasi Salsa yang seharusnya ia tidak menanyakannya.

“Sal.” panggil Jergas membuka obrolan

“Hm?” sautnya yang kedinginan.

“Lo paling ngga suka kalo orang ngelakuin hal apa?”

Salsa mengetuk dahinya dengan jari kecilnya seraya berpikir. “Gue paling ngga suka orang yang ngerokok buang putungnya sembarangan,” kata Salsa.

“Dengan kata lain, lo juga ngga suka orang ngerokok ya?”

Salsa menggeleng, “Bukan ngga suka, itu kan juga hak masing-masing orang, Jer. Tapi yang disayangkannya itu buang putungnya sembarangan!” balasnya sambil memperhatikan rumput-rumput. “Tuh disini aja masih ada putung rokok ‘kan! Merusak alam banget.”

Yang disebelahnya terkekeh melihat Salsa yang mengkomentari tentang orang yang membuang putung rokok sembarangan. Benar katanya, memang itu dapat merusak alam sekitar. Apalagi di alam seindah ini.

“Kalo lo apa, Jer?” tanya Salsa.

“Gua ngga suka orang lelet, Sal. Ngga tau kenapa, ngga suka aja.” Jergas menghela nafasnya dingin.

“Itu mah gue tau! Lo ngeburu-buruin gue waktu kita jadi pasangan prom.”

“Iya itu, Sal! Hahaha, sorry ya.”

“Ngapain minta maaf astaga, gapapa. Berarti itu lo orangnya konsisten! Tepat waktu!” ujar Salsa menendang-nendang angin.

Jergas membalasnya dengan tawaan kecil dan kembali hening sambil menatap bintang-bintang.

Salsa yang sedari tadi mengosok-gosokkan tangan agar lebih hangat nyatanya tidak mengaruh sama sekali. Cukup dingin di atas sini, sampai-sampai bibirnya ikut memucat karena hawa dinginnya.

“Sini tangan lo,” ujar Jergas mengulurkan tangannya dari saku hoodie yang ia pakai.

“Buat apa?” tanyanya polos.

“Kedinginan ‘kan? Sini tangan lo.”

Salsa ber-oh ria lalu memberi tangannya ke Jergas. Jergas mengengam tangan kecil Salsa, lalu dibawanya masuk ke dalam saku hoodienya agar lebih hangat.

Yang mempunyai tangan tersebut menahan senyumannya agar tidak terlihat salah tingkah di depannya. Dengan perilaku-perilaku kecil seperti ini saja Salsa terlalu gampang untuk diluluhkan.

Karena angin malam yang membuat Salsa menjadi beberapa kali kantuk terbangun karena kaget dengan posisi yang salah. Jergas yang melihatnya tersenyum lalu membawanya ke pundak miliknya untuk Salsa bersandar sebentar.

20 menit rasanya sudah cukup untuk Salsa terlelap dari tidurnya. Segera Jergas menelpon Harsan untuk kembali ke Villa.