Mobil Porsche 911 GT3 keluaran terbaru milik Gafa yang ia pakai untuk menjemput sang kekasih. Kini terparkir di pinggir jalan.
“Kok tau tempat ini?” Mata Nora menjuru sekeliling ternyata tidak terlalu ramai seperti biasanya.
Gafa melepaskan seltbelt yang mengait ditubuhnya. “Apa yang seorang Gafabel tidak tahu,” katanya seraya mengangkat kedua tangannya berlaga sombong.
Gadis itu berdecak kesal. “Iya, Iya!”
Gafa tersenyum mengajaknya untuk segera turun dan menggengam tangannya saat menyebrang jalan.
“Kok tutup,” ujar Nora saat melihat kertas bertulis ‘hari ini tutup’ yang digantung di depan pintu masuk.
“Buka khusus kita aja, ayo masuk,” ajaknya menarik tangan Nora untuk masuk ke dalam dan di sambut baik oleh pemilik warung.
Gafa menarik kursi untuk Nora mempersilakannya duduk.
“Jangan bilang lo…?”
“Udah duduk aja,” katanya menepuk pundak Nora lalu menarik kursi di sebrang untuknya.
“Akang!! Bakso dua ya! Yang satunya jangan pedes,” seru Gafa kepada pemilik warung bakso.
“Siap, Den. Laksanakan.” Akang tersebut memberikan 2 jempol.
“Yang nggak pedes buat siapa?”
“Buat lo.”
“Ih! Gue mau pedes!”
“Jangan, nanti sakit perut,” larangnya. Namun, Nora merenggut ingin memakan pedas. Gafa mana tega kalau Nora sudah begini.
“Yaudah-yaudah. Tapi nanti gue yang tuangin sambelnya.” Langsung ia tersenyum senang walaupun pasti sambal yang dituangkan Gafa tidak banyak.
Akhirnya makanan untuk hari ini datang. Bau harum dari bakso mengisi ruangan, siapapun yang mencium harumnya pasti ingin memakannya, seperti Gafa dan Nora.
“Selamat menikmati,” ucapn Akang menaruh dua mangkok di atas meja.
“Makasih, Kang.”
“Makasih, Pak,” ucapnya bersamaan yang membuat Akangnya tersenyum lalu meninggalkan mereka untuk waktu berdua.
“Tuangin,” pinta Nora memberikan mangkok sambel dan sendok.
Gafa yang mempunyai ide jahat pun ia meraih sendok, lalu mengambilkan sambel hanya setitik merah. “Segini ‘kan?” tanyanya.
“MANA ADA SAMBEL SEGITU!!” omelnya karena tingkah Gafa yang membuatnya emosi.
“Okey, lagi.” Gafa menyendokan sambel yang hampir tidak mengenai isi sambelnya. “Nih, udah cukup.”
“Kok sama aja kaya tadi,” protesnya.
“Ini nambah. Nih liat ada biji cabainya.” Gafa menunjukan biji cabai yang ada di ujung sendok.
Nora menghela nafasnya mengambil paksa sendok dari Gafa dan mencampurkan ke mangkok baksonya.
Gafa terkekeh mencubit pipi Nora gemas. “Jangan marah, nih ambil sendiri, dikit aja tapi.”
Nora yang tadinya merenggut sebal sekarang menjadi tersenyum mengambil sambel lebih sedikit dari biasanya. ia tak mau Gafa melarangnya lagi.
Mereka sangat menikmati bakso walaupun harganya tidak terlalu mahal, tapi kebahagian bisa seperti ini cukup mahal. Gafa sengaja memesan kepada pemilik warung bakso untuk menutup warungnya lebih awal pada malam hari, dan berjanji akan membayarnya 2x lipat dari hasil jualan hari ini. Ia sangat ingin date pertama dengan makanan kesukaan Nora.
“Btw, ini date pertama kita,” ucap Gafa memandangi Nora yang sedang mengunyah bakso besar sampai pipinya besar sebelah.
“Oh ya? Berarti kita harus sering dateng ke tempat ini,” katanya setelah berhasil menelan bakso besar itu bulat-bulat.
“Alasannya?”
“Biar inget aja kalau ini tempat pertama yang kita datengin awal date, hehehehe.”
Gafa mengangguk paham seakan-akan menyetujuinya.
“Abis ini ada rencana mau kemana nggak?” tanya Gafa.
“Ada sih…. Cuma kayanya nggak hari ini, besok gue ada photoshoot sama meeting buat acara fashion show,” katanya dengan nada sedih.
“It’s okay, masih ada hari lain. Semangat yaa! Nanti aku dateng buat acara fashion shownya.”
“Aku-akuan nih sekarang?” tanyanya tersenyum meledek.
“Lo— Kamu juga dong.”
Nora tertawa dengan sikap Gafa yang tidak bisa di tebak. Masa ia tiba-tiba ngajak ngomong aku-kamu? Walaupun ini hal yang wajar di dalam sebuah hubungan, tetap saja Nora canggung. Beda lagi kalau sudah dengan Kenzo, ia memang dari dulu berbicara dengan aku-kamu karena menghormatinya sebagai kakak tingkat.
“K—kamu umur berapa?” tanyanya tiba-tiba.
“Aku umur lima tahun.” Gafa menunjukan lima jari-jarinya.
“HAHAHAHA! Apa sih! Tiba-tiba banget.” Nora tertawa. Namun, Gafa menaruh sikutnya di atas meja sebagai tumpuan menatap Nora dalam.
“Nora,” panggilnya.
“Apa?” jawabnya tanya melihat ke depan masih sibuk dengan makanannya.
“Sini dulu aku mau ngomong.”
“Apa? Mau ngomong apa?” Kini ia melakukan hal yang sama seperti Gafa, menaruh sikutnya sebagai tumpuan dagu dan netra mereka berlawanan.
“Nora, you can let me know if you need anything.” ucapnya dalam.
“Contohnya?”
“Kalau kamu lagi capek sama semuanya kamu bisa dateng ke aku buat cerita semuanya. Jangan ditahan sendirian, okay? Aku bisa jadi pacar, tunangan, dan teman sekaligus buat kamu, yang lain nggak bisa.”
“Pamer,” ledeknya.
“Sesekali lah. Emang yang lain bisa jadi aku?”
Kini Nora berdehem seraya berpikir. “Bisa kok!”
“Kalau dia bisa jadi yang kedua juga percuma, kamu pulangnya juga ke aku.”
Sudah bisa ditebak pasti wajah Nora sekarang merah seperti tomat. Kata-kata yang keluar dari mulut Gafa sangat terdengar asing baginya, dulu Kenzo pernah berkata seperti itu. Namun, setiap kali Nora bercerita tentang hari ini pasti ia langsung mengalihkan pembicaraan bahwa ia sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk sekedar mendengar bahkan membaca cerita darinya.
“Kalau gu— maksudnya aku cerita didengerin nggak?” tanyanya.
“Dengerin musik rock seharian aja aku sanggup, gimana dengerin cerita kamu setiap harinya? Pasti aku dengerin, Nora.”
“Janji ya?” Nora mengulurkan jari kelingking kecilnya.
Gafa tersenyum mengaitkan jari kelingking miliknya. “Janji.”