Merah
Dua perempuan dengan tinggi yang hampir sama rata datang membawa box tempat untuk minuman di tangannya, Aleyyah meninggalkan sepasang tunangan itu untuk memberikan minuman untuk Mama dan supir yang sedang check kapal.
“Nih ice americano.” Nora menyuguhkan minuman di depan wajah Gafa.
Gafa yang sudah melihat sesuatu dari jauh sejak Nora datang segera melepaskan jaketnya dan mengikatnya dipinggang Nora.
“Maaf, itu ada merah. Ayo ke kamar mandi dulu,” bisiknya.
Nora refleks lihat ke belakang dan benar saja ada merah-merah dicelananya. Gafa mengambil alih box minuman ke tangannya lalu menarik Nora ke toilet pelabuhan. Nora sangat malu sekarang, apalagi Gafa yang memberi tahunya. Sudahlah muka ia mau ditaro dimana nanti.
“Toilet di sebelah sana, masuk aja gue mau ke minimarket depan,” ucap Gafa seraya menunjuk tempat toilet perempuan.
Nora melihat arah yang ditunjuk Gafa dan mengangguk. “Btw, gue harus beli yang merek apa, Nor?”
“Yang apa aja,” ucap Nora sebelum pergi meninggalkan Gafa ke toilet.
Pria tinggi dengan wajah tegas memasuki minimarket dan mencari rak keperluan khusus perempuan. Ia cukup kebingungan untuk harus mengambil yang mana, karena di sini cukup banyak merek yang berbeda dan warna yang berbeda. Walaupun Nora bilang ‘yang mana aja’ tetap saja membuatnya ragu untuk mengambil barang tersebut.
“Cari apa, Mas?” tanya ibu-ibu yang sedari tadi melihat Gafa kebingungan.
“Oh, cari ini, Bu,” jawab Gafa mengambil pembalut dengan canggung.
Ibu itu tertawa kecil melihat tingkah Gafa. “Itu buat pacarnya ya Mas? Beruntung banget pacarnya punya pacar kaya Mas-nya ini.”
“Hehehe, buat tunangan saya Bu ini.”
Ibu tersebut terkejut menutup mulutnya tak percaya, Gafa hanya terkekeh menahan salah tingkah.
“Biasanya cewek-cewek pakai yang ini Mas, siapa tau sama kaya yang dipakai tunangan Mas-nya.” Ia mengambil merek lain yang sering dibeli oleh kebanyakan perempuan.
“Oh iya, makasih banyak ya, Bu.”
“Iya sama-sama, Mas.”
Gafa segera menuju kasir untuk membayar beberapa barang yang diperlukan dan cemilan untuk Nora. Ia melirik ke belakang untuk melihat Ibu tadi, lalu mengeluarkan 5 lembaran uang merah ke Mba kasir.
“Mbak, kalau ibu-ibu tadi udah mau bayar pakai uang ini aja, ya?”
“Loh? Itu kan duit Mas?” ucap Mbak kasir kebingungan.
“Nggak, ini emang sengaja buat bayarin ibu tadi.”
“Oh…. Paham-paham.”
Gafa tersenyum mengambil plastik belajaannya dan pergi dari minimarket untuk memberikan keperluan Nora.
“Pakai debit bisa nggak, Mbak?” tanyanya seraya mengeluarkan kartu debit dari dompetnya.
“Maaf Bu, tapi belajaan Ibu sudah dibayarkan sama mas-mas yang tadi.”
“Serius?” ucapnya tidak percaya.
Mbak kasir mengangguk. “Anak baik pantesan jodohnya cepat sampai, semoga langgeng sampai akhir hayat.” batinnya.
Gafa berdiri tak jauh dari toilet, menunggu Nora keluar setelah ia titipkan barang tadi kepada mbak-mbak yang ingin masuk ke dalam toilet.
Akhirnya gadis itu keluar setelah 15 menit lamanya. Ia berjalan sambil bermain ponsel, membalas pesan dari adiknya Hanniel tanpa menghiraukan sekitarnya, sampai-sampai ia tidak sengaja menabrak orang asing dan menumpahkan kopinya ke kemeja putih Nora.
“Eh maaf, Mbak,” lirih Nora panik seraya membersihkan noda kopi di baju mbaknya.
“Aduh!! Kalau jalan liat-liat dong, baju gue kotor ‘kan!” geramnya menepis tangan Nora yang berusaha membersihkan noda di bajunya dengan tatapan sinis.
“Maaf Mbak, sini bajunya saya bersihin.” Nora yang sudah perkirakan mbaknya akan marah. Ia kembali membersihkan noda coklat di baju milik Mbaknya tanpa memperdulikan noda yang lebih banyak di kemeja putih yang ia kenakan.
Mbak tersebut merasa risih dengan perlakuan Nora dan menepis tangannya. “Gantiin kopi gue! SEKARANG!!” pekiknya.
“Nih kopi lo,” ucap Gafa memberikan kopi yang Nora beli tadi di depan mukanya.
“Cewek gue nggak sengaja nabrak lo dan udah minta maaf juga. Lagipula noda kopi dibaju lo nggak seberapa dibaju cewek gue, putih lagi,” jelasnya berdiri di depan Nora.
“Tapi cewek lo tuh merusak baju mahal gue!” bentaknya menunjuk-nunjuk Nora dengan telunjuknya.
Gafa menghela nafasnya frustasi dan mengeluarkan 5 lembar uang merah kembali dari dompet hitamnya. “Nih, beli lagi. Cukup nggak?” tanyanya meledek.
Nora yang berada di belakang punggung Gafa tertawa saat mbak yang memarahinya menerima uang pemberian dari Gafa.
“Cewek gue tadi minta maaf, dimaafin nggak?”
“Iya dimaafin,” ucapnya ketus.
Gafa menarik tangan Nora untuk bersalaman sebagai tanda damai. “Salaman?”
Nora mengulurkan tangannya dan dijabat sebagai salam perminta maafan. Gafa yang melihat jabatan tangan itu tersenyum lalu membiarkan orang itu pergi tanpa membersihkan kemeja Nora.
“Gapapa?” lirih Gafa khawatir mengecek seluruh badan gadis itu dengan tangannya.
Nora mengangguk seraya melepaskan tangan Gafa dari pundaknya. “Gapapa kok tenang, makasih ya?”
“Kewajiban,” ucao Gafa tersenyum dengan tangannya yang bergerak merapihkan rambut Nora yang berantakan tertiup angin.
“Ke toilet lagi, gih. Nanti gue minta Ale cariin baju lo.”
“Okey.”
Nora kembali ke dalam bilik kamar mandi untuk membersihkan noda kecoklatan kopi sambil meneteskan air matanya. Peroid hari pertamanya sudah menguras energi dan emosi sebanyak ini. Padahal ini baru setengah hari. Ia sungguh malu dan merasa bersalah juga kepada Gafa yang telah membantunya. Untungnya jaket milik Gafa tidak kotor, sehingganya rasa bersalah Nora sedikit berkurang.