chlopyvrsie

Tampaknya hari ini sangat melelahkan. Namun, rasa lelah itu hilang begitu saja, digantikan dengan ukiran senyuman manis perempuan yang berada di sebelahnya. Sangat disayangkan sekali hari ini tidak jadi menaiki biang lala yang berada di Aeon mall, pengunjung di sana sangat ramai yang mengharuskan mereka menunggu sekitar satu jam. Sedangkan matahari pada saat itu sudah mulai tenggelam, jadi mereka sepakat untuk tidak jadi menaikinya dan putar balik arah.

“Kamu mesem eskrim apa?” tanya Gafa melihat Nora yang sedang sibuk menentukan tempat eskrim dengan penjual.

“Aku mau dicup biar tangan aku nggak lengket, tapi ini kedikitan eskrimnya,” jelasnya seperti anak kecil yang sedang mengadu.

Gafa terkekeh seraya mengacak-acak atas kepala Nora. “Pesen tiga cup eskrim aja kalau gitu.”

“BOLEHH??!” Seketika Nora sumringah menatap Gafa.

Laki-laki yang di sebelahnya mengangguk, mengizinkannya untuk membeli sebanyak lima cup eskrim.

“YESSSSS!!!”

“Mas, pesen tiga cup rasa vanilla semua!!”

“Hahaha astaga…” Gafa menggelengkan kepala seraya mengeluarkan lembaran uang untuk dibayar.

Selesai mendapatkan eskrim Nora memakan cup satu di tangannya dan dua lainnya di pegangkan dengan Gafa. Oh iya, mereka baru saja bertukar hadiah sebelum turun dari mobil, dan kalian tahu kado apa yang mereka beli? Baju? Salah, casing handphone? Salah, gantungan kunci? Salah lagi. Sandal kodok, iya mereka membeli sandal kodok dengan motif yang hampir sama. Awalnya Nora sangat marah, kenapa harus membeli barang yang sama. Padahal ia sudah susah payah mencari barang dengan harga Rp 50.000.00 di Mall. Langsung saja dijawab dengan Gafa ‘Namanya juga jodoh.’

“Itu satunya buat kamu aja,” kata Nora melirik Gafa yang masih memegang cup eskrim.

“Boleh?”

Nora mengangguk sambil makan eskrim. “Kan kamu yang beliin buat aku. Kamu juga harus cobain! Itu enak banget!”

Gafa menarik pipi kanan Nora gemas dengan tangan kanannya. “Kalau nggak enak aku marahin.”

“DIHH KOK MARAHIN AKUU! Marahin mas yang jual tadi lah!”

“Aku bercanda.”

Gafa merangkul pundak Nora agar berdekatan dengannya dan tidak di tabrak orang yang berlalu lalang mencari jajanan.

“Kamu mau main game nggak?” tanya Nora bersemangat.

“Game apa?” Pandangan Gafa mencari game apa yang dimaksud Nora.

“Itu loh game itu!! Kalau boneka angry birdnya masuk ke dalam lubang itu kita dapet hadiah!!” jelas Nora menunjuk-nunjuk orang lain yang sedang bermain.

“Oh…. Kamu mau aku dapetin hadiah?”

“IYAAA”

“Beli aja yuk. Uang aku masih banyak,” ucap Gafa beralasan agar Nora berhenti mengajaknya bermain game. Karena menurutnya hadiah yang di dapatkan tidak seberapa dengan perjuangannya memasukkan boneka tersebut ke dalam lubang. Kalau hadiahnya itu emas perak pasti Gafa mau bermain sampai yang pemilik toko bangkrut, bercanda.

“Aku nggak mau!”

“Ayolah sekali aja pleasee…” Nora menatap netra Gafa dengan mata yang berbinar-binar. Memohon agar sekali ini saja ia mau menurutinya.

Gafa yang melihat Nora sangat ingin ia memainkan permainan itu menghela nafasnya panjang.

“YESSS!! AYOKK!” Nora menarik tangan Gafa membawanya ke toko permainan yang tadi ia tunjuk.

“AKU BELUM BILANG IYA LOH?!” Sudahlah Gafa hanya bisa pasrah.

Nora langsung memesan koin sebanyak 5 agar mereka puas bermain. Gafa membuat ancang-ancang untuk melepaskan kaitan hitam agar boneka ini bisa masuk ke dalam lubang. Gadis yang di sebelahnya sangat antusias menunggu Gafa melepaskan kaitan hitam, tangan kanan Gafa melepaskan kaitan hitam melihat arah boneka itu terpental masuk atau ke arah lain. Tangannya mengenggam erat-erat di udara, feelingnya berkata bahwa boneka ini akan masuk ke dalam lubang, dan benar saja boneka itu tidak mau masuk ke dalam lubang.

Tangan yang sudah mengepal di udara seketika turun, ia di kecewakan dengan feelingnya.

It’s okay! Coba lagi,” ucap semangat Nora menepuk punggung Gafa.

Okay kali ini bercobaan kedua ia tidak boleh gagal. Ia tidak mau harus menanggung malu karena seluruh penjuru mengalihkan pandangannya kepada Gafa dan Nora, mau ditaruh dimana muka ia jika permainan anak kecil seperti ini gagal.

Percobaan kedua, gagal.

Percobaan ketiga, gagal.

Percobaan keempat, gagal.

Gafa menginjak-injak tanah menahan kesalnya. Tak satu dari penjuru wisatawan memberi semangat kepadanya, mungkin mereka ikut gregetan ketika menontonnya bermain.

“Minum dulu minum.” Nora memberikan botol minum air putih dan Gafa meneguknya.

Ini percobaan terakhir ia tidak boleh melesatkan boneka itu sedikit pun.

Gafa kembali membuat ancang-ancang, matanya mengindip agar ia tidak salah arah saat melepaskan kaitan hitam.

“Satu… Dua… Tiga…”

Ia melepaskannya melihat arah boneka itu terbang dan akhirnya….

Akhirnya boneka angry bird itu masuk ke dalam sarangnya. Seketika suasana menjadi ricuh karena Gafa berhasil memasukkan boneka burung kurang ajar ini masuk ke dalam sarangnya.

Nora langsung memeluk Gafa sumringah lalu mengecup pipinya sekilas. “Makasih, sayang.”

Ketika merasa kecupan yang jatuh di pipinya Gafa mematung bak seperti patung. Kemudian ia mengelus pipinya tepat di tempat Nora mengecupnya tadi dengan senyuman salah tingkah.

“Ayo! Kita ke tempat yang lain,” ajaknya menarik lengan Gafa pergi dari sana setelah mendapatkan hadiah berupa boneka angry bird.

“Kalau hadiahnya boneka-boneka juga mah sama aja bohong.”

“Tapi tadi seru banget liat kamu main. Orang lain juga liatin kamu!”

“Iya deh iya…”

Tiba-tiba saja ada yang menabrak kaki Nora dari belakang. Nora yang merasa ditabrak pun memutar balikkan badannya dan menemukan gadis kecil yang sepertinya sedang kehilangan seorang pendamping.

Nora berjongkok menyamakan tingginya dengan gadis kecil. “Kamu kesasar?” tanyanya.

Anak kecil itu mengangguk tanpa menatap Nora. Gafa yang menyadari itu ikut berjongkok di sebelah Nora.

“Nama kamu siapa cantik?”

“Na—nama aku Ginna…”

“Oh Ginna… Salam kenal ya? Kakak namanya Nora,” sapanya mengulurkan tangan.

Dilihat gadis kecil itu sepertinya ketakutan untuk membalas uluran tangan Nora. Namun, ia memberanikan diri untuk mengapainya.

“Kamu ke sini sama siapa?” tanyanya lagi dengan nada lembut agar ia tidak ketakutan.

“S—sama Om aku, Kak Nora…”

“Ginna mau ikut Kakak cari Om kamu nggak?” Anak kecil itu mengangguk.

Nora tersenyum memberikan boneka angry bird kepada Gafa agar ia yang memegangnya bisa mengendong tubuh kecil Ginna agar tidak di tabrak-tabrak oleh orang dewasa. Tempat seperti ini sangat rawan berbahaya jika membawa anak kecil, bisa saja ia di injak-injak oleh orang.

“Ginna terakhir lihat Om dimana?” kali ini Gafa bertanya.

“Di situ.” Ginna menunjuk tempat bermain boneka angry bird tadi.

“Okay, kita cari Om kamu sama-sama, ya?” Gafa mengelus-elus rambut Ginna.

“Anak orang!” sindir Nora menepuk tangan Gafa.

“Iya aku juga tau, Nora…”

Nora pergi meninggalkan Gafa untuk pergi mencari Om yang dimaksud Ginna. Gafa yang merasa Nora cemburu dengan Ginna mengangkat sudut bibirnya sambil memeluk boneka burung dan segera berlari menghampiri Nora.

“Ginna terakhir berdiri di sini sama Om?“

“Iyaa… Tapi tiba-tiba Om pergi, Om udah nggak ada lagi di belakang Ginna,” katanya dengan suara yang ingin menangis.

“Eh kita kaya keluarga cemara, ya?“ ucap Gafa yang baru saja berdiri di samping Nora.

“Diem deh, Gaf.”

“GINNA!! GINNA KAMU DIMANA?!!” suara teriakan laki-laki memanggil nama Ginna membuat atensi Ginna mencari-cari keberadaan suaranya.

“OM AKU DI SINI!!” Ginna melambaikan tangan di udara agar ia melihat keberadaanya.

“Ginna?” Laki-laki itu berlari menghampiri Ginna yang berada di gendongan seorang wanita dan setelah mendekatinya ia cukup kaget.

“Loh, Nora…?”

“Kak…”

Gafa menatap laki-laki itu dari atas sampai bawah dengan tatapan mengintimidasi. Sepertinya ia pernah melihatnya sangat tidak asing.

“Om Kenzo!”

NAH IYA! SI KENZO!

Ginna menghamburkan pelukannya ke arah Kenzo.

“Ginna keponakan kamu, Kak?”

KAMU?? Nora ngomong aku-kamu sama Kenzo? Wah gila sama gue aja dulu gue-lo.

“Iya, anak kakak aku.”

Aku? Berani banget lo ngomong aku-kamu di depan tunangannya.

“Oh…”

“Makasih ya udah nemuin Ginna.”

“Gapapa kok, emang tadi nggak sengaja ketemu aja.”

“Lain kali diawasin ya, Kak. Takutnya dia malah ketemu orang jahat.”

“Iya kok, ini tadi aku hilang mata aja.”

“Yaudah deh Kak, aku duluan ya? Dadah Ginna!” Nora melambaikan tangan ke Ginna dan menarik Gafa yang sepertinya menahan api cemburu dengan Kenzo.

“Dadah, Kak Nora! Makasih ya Kak!”

Nora tersenyum memberikan jempol dari belakang, ia ingin segera membawa Gafa menjauh dari Kenzo.

“Ginna keponakan KAMU, Kak?” sindir Gafa meledek.

“Ih! Jangan gitu dia ‘kan dulu kakak tingkat aku, jadi aku harus sopan sama dia…”

“Masa dia nyapanya kamu doang, emang dia nggak liat tunangannya ada di sebelah kamu!”

“Dia terlanjur khawatir sama Ginna kali, jadi dia nggak hirauin kamu.”

“KOK KAMU NGEBELAIN DIA SIH?!” Gafa menatap Nora sinis.

“Bukan gitu maksud ak—“

“WOII! SEMUA ORANG HARUS TAU KALAU GAFA ITU TUNANGAN NORA!!” Gafa berteriak seraya merangkul Nora dengan lengannya kencang hingga membuat Nora sesak.

Seluruh atensi mata tertuju kepada pasangan ini yang berdiri di tengah-tengah keramaian jalan. Gafa tersenyum puas, sedangkan Nora menahan malunya dengan menutup mulut Gafa ketika ia ingin berteriak lagi.

“GAFABEL TUNANGAN SEINORAA!!”

Nora mencubit perut Gafa dengan sangat keras sampai-sampa ia meringis kesakitan.

“Aa-ah IYA AAMPUNNN ISTRII!!”

“ISTRI??!!!” Nora kembali mencubit perut Gafa. Namun, yang kali ini 5x lipat lebih kencang dari yang pertama, ketika sudah merasa puas dengan Gafa yang sudah menderita dengan cubitan mautnya Nora pergi meninggalkan Gafa beranggapan seperti orang asing yang tidak mengenalinya. Ia cukup sangat malu tapi senang. Pokoknya campur aduk deh kaya perasaan cinta monyet anak SMA.

“ISTRII!! TUNGGU AKU ISTRI!!”

“Kamu dapet ikan apa?” Nora menghampiri Gafa yang sedang memancing dengan membawa minuman untuknya.

Gafa berdiri mengambil minuman dan menenguknya sekaligus. “Ikan gurame deh kayanya.”

“Haus banget, Pak?” Nora tertawa melihat Gafa yang sangat kehausan kerena hawa panas siang hari ini.

“Iya gila panas bener,” keluhnya menggipas-ngipas bajunya agar angin masuk ke dalamnya.

“Abel!” panggil Gibran.

“Iya, Pah!”

“Bentar aku samperin dulu.” Gafa menepuk pundak Nora lalu berlari menghampiri Gibran yang sedang menghitung jumlah ikan yang ia dapatkan hari ini.

“Dapet berapa, Bel?” tanyanya yang masih menghitung ikan.

“Dapet 5 doang, Pah.”

“Yah masa kalah sama bapak-bapak. Papa dapet 12 nih.” Gibran menunjukan hasil pancingnya kepada Gafa.

“Ikan apa aja tuh, Pah?“ tanya Gafa penasaran mengintip ikan yang sedang di kilo kan.

“Ikan banyak, ada hiu juga,” candanya.

“Masa di danau ada hiu…”

“Iya Papa bercanda, Abel…”

Selepas itu mereka tertawa bersama. Ternyata jokes bapak-bapak masih saja sangat receh.

Kini mereka bertiga sedang memakan hidangan ikan hasil pancingan Gibran dan juga Gafa. Gafa kebanyakan memancing ikan gurame. Entahlah, dari dulu ia selalu mendapatkan ikan gurame, sepertinya sudah jodoh.

“Hubungan kalian gimana? Baik?” tanya Gibran membuka obrolan di sela makan.

“Baik-baik aja, Pah” jawab Gafa dan Nora mengangguk.

“Baguslah kalau begitu. Jaga ya hubungan kalian, jangan sampai berantem karena hal sepele. Selesaikan dengan kepala dingin,” ceramahnya memberi wejangan.

“Iya, Papa tenang aja kali, kita bukan pacarannya anak sd” ujar Nora.

“Iya Papa hanya khawatir nanti kalau kalian ada apa-apa Papa udah nggak ada.”

“Hanniel jadi dateng nggak? Bentar aku chat dulu,” ucap Nora mengalihkan topik. Ia sangat benci dengan kematian, cukup bunda saja yang meninggalknya sendirian papa jangan.

“Kalau Papa udah nggak ada kalian baik-baik, ya?”

“HALOO? Lo dimana sih kok lama banget!” Nora meninggikan suaranya lalu pergi dari meja makan restoran.

Gibran terkekeh melihat anak perempuan satu-satunya yang sifatnya sangat mirip dengan sang bunda. Gibran paham Nora tidak mau ia membahas ini, tapi sepertinya ia rasa sudah cukup waktunya di sini, ia sangat merindukan sosok istrinya.

“Papa titip Nora ya, Bel?”

Gafa mengangguk dengan senyuman kecutnya. “Panjang umur ya, Pah…”

Gibran hanya menjawabnya dengan senyuman tanpa anggukan atau gelengan kepala.

Semoga Papa nggak kenapa-napa…

“Kamu dapet ikan apa?” Nora menghampiri Gafa yang sedang memancing dengan membawa minuman untuknya.

Gafa berdiri mengambil minuman dan menenguknya sekaligus. “Ikan apa ini aku nggak tau.”

“Haus banget, Pak?” Nora tertawa melihat Gafa yang sangat kehausan kerena hawa panas siang hari ini.

“Iya gila panas bener,” keluhnya menggipas-ngipas bajunya agar angin masuk ke dalamnya.

“Abel!” panggil Gibran.

“Iya, Pah!”

“Bentar aku samperin dulu.” Gafa menepuk pundak Nora lalu berlari menghampiri Gibran yang sedang menghitung jumlah ikan yang ia dapatkan hari ini.

“Dapet berapa, Bel?” tanyanya yang masih menghitung ikan.

“Dapet 5 doang, Pah.”

“Yah masa kalah sama bapak-bapak. Papa dapet 12 nih.” Gibran menunjukan hasil pancingnya kepada Gafa.

“Ikan apa aja tuh, Pah?“ tanya Gafa penasaran mengintip ikan yang sedang di kilo kan.

“Ikan banyak, ada hiu juga,” candanya.

“Masa di danau ada hiu…”

“Iya Papa bercanda, Abel…”

Selepas itu mereka tertawa bersama. Ternyata jokes bapak-bapak masih saja sangat receh.

Kini mereka bertiga sedang memakan hidangan ikan hasil pancingan Gibran dan juga Gafa. Gafa kebanyakan memancing ikan gurame. Entahlah, dari dulu ia selalu mendapatkan ikan gurame, sepertinya sudah jodoh.

“Hubungan kalian gimana? Baik?” tanya Gibran membuka obrolan di sela makan.

“Baik-baik aja, Pah” jawab Gafa dan Nora mengangguk.

“Baguslah kalau begitu. Jaga ya hubungan kalian, jangan sampai berantem karena hal sepele. Selesaikan dengan kepala dingin,” ceramahnya memberi wejangan.

“Iya, Papa tenang aja kali, kita bukan pacarannya anak sd” ujar Nora.

“Iya Papa hanya khawatir nanti kalau kalian ada apa-apa Papa udah nggak ada.”

“Hanniel jadi dateng nggak? Bentar aku chat dulu,” ucap Nora mengalihkan topik. Ia sangat benci dengan kematian, cukup bunda saja yang meninggalknya sendirian papa jangan.

“Kalau Papa udah nggak ada kalian baik-baik, ya?”

“HALOO? Lo dimana sih kok lama banget!” Nora meninggikan suaranya lalu pergi dari meja makan restoran.

Gibran terkekeh melihat anak perempuan satu-satunya yang sifatnya sangat mirip dengan sang bunda. Gibran paham Nora tidak mau ia membahas ini, tapi sepertinya ia rasa sudah cukup waktunya di sini, ia sangat merindukan sosok istrinya.

“Papa titip Nora ya, Bel?”

Gafa mengangguk dengan senyuman kecutnya. “Panjang umur ya, Pah…”

Gibran hanya menjawabnya dengan senyuman tanpa anggukan atau gelengan kepala.

Semoga Papa nggak kenapa-napa…

“Kamu dapet ikan apa?” Nora menghampiri Gafa yang sedang memanging dengan membawa minuman untuknya.

Gafa berdiri mengambil minuman dan menenguknya sekaligus. “Ikan apa ini aku nggak tau.”

“Haus banget, Pak?” Nora tertawa melihat Gafa yang sangat kehausan kerena hawa panas siang hari ini.

“Iya gila panas bener,” keluhnya menggipas-ngipas bajunya agar angin masuk ke dalamnya.

“Abel!” panggil Gibran.

“Iya, Pah!”

“Bentar aku samperin dulu.” Gafa menepuk pundak Nora lalu berlari menghampiri Gibran yang sedang menghitung jumlah ikan yang ia dapatkan hari ini.

“Dapet berapa, Bel?” tanyanya yang masih menghitung ikan.

“Dapet 5 doang, Pah.”

“Yah masa kalah sama bapak-bapak. Papa dapet 12 nih.” Gibran menunjukan hasil pancingnya kepada Gafa.

“Ikan apa aja tuh, Pah?“ tanya Gafa penasaran mengintip ikan yang sedang di kilo kan.

“Ikan banyak, ada hiu juga,” candanya.

“Masa di danau ada hiu…”

“Iya Papa bercanda, Abel…”

Selepas itu mereka tertawa bersama. Ternyata jokes bapak-bapak masih saja sangat receh.

Kini mereka bertiga sedang memakan hidangan ikan hasil pancingan Gibran dan juga Gafa. Gafa kebanyakan memancing ikan gurame. Entahlah, dari dulu ia selalu mendapatkan ikan gurame, sepertinya sudah jodoh.

“Hubungan kalian gimana? Baik?” tanya Gibran membuka obrolan di sela makan.

“Baik-baik aja, Pah” jawab Gafa dan Nora mengangguk.

“Baguslah kalau begitu. Jaga ya hubungan kalian, jangan sampai berantem karena hal sepele. Selesaikan dengan kepala dingin,” ceramahnya memberi wejangan.

“Iya, Papa tenang aja kali, kita bukan pacarannya anak sd” ujar Nora.

“Iya Papa hanya khawatir nanti kalau kalian ada apa-apa Papa udah nggak ada.”

“Hanniel jadi dateng nggak? Bentar aku chat dulu,” ucap Nora mengalihkan topik. Ia sangat benci dengan kematian, cukup bunda saja yang meninggalknya sendirian papa jangan.

“Kalau Papa udah nggak ada kalian baik-baik, ya?”

“HALOO? Lo dimana sih kok lama banget!” Nora meninggikan suaranya lalu pergi dari meja makan restoran.

Gibran terkekeh melihat anak perempuan satu-satunya yang sifatnya sangat mirip dengan sang bunda. Gibran paham Nora tidak mau ia membahas ini, tapi sepertinya ia rasa sudah cukup waktunya di sini, ia sangat merindukan sosok istrinya.

“Papa titip Nora ya, Bel?”

Gafa mengangguk dengan senyuman kecutnya. “Panjang umur ya, Pah…”

Gibran hanya menjawabnya dengan senyuman tanpa anggukan atau gelengan kepala.

Semoga Papa nggak kenapa-napa…

“Kamu dapet ikan apa?” Nora menghampiri Gafa yang sedang memanging dengan membawa minuman untuknya.

Gafa berdiri mengambil minuman dan menenguknya sekaligus. “Ikan apa ini aku nggak tau.”

“Haus banget, Pak?” Nora tertawa melihat Gafa yang sangat kehausan kerena hawa panas siang hari ini.

“Iya gila panas bener,” keluhnya menggipas-ngipas bajunya agar angin masuk ke dalamnya.

“Abel!” panggil Gibran.

“Iya, Pah!”

“Bentar aku samperin dulu.” Gafa menepuk pundak Nora lalu berlari menghampiri Gibran yang sedang menghitung jumlah ikan yang ia dapatkan hari ini.

“Dapet berapa, Bel?” tanyanya yang masih menghitung ikan.

“Dapet 5 doang, Pah.”

“Yah masa kalah sama bapak-bapak. Papa dapet 12 nih.” Gibran menunjukan hasil pancingnya kepada Gafa.

“Ikan apa aja tuh, Pah?“ tanya Gafa penasaran mengintip ikan yang sedang di kilo kan.

“Ikan banyak, ada hiu juga,” candanya.

“Masa di danau ada hiu…”

“Iya Papa bercanda, Abel…”

Selepas itu mereka tertawa bersama. Ternyata jokes bapak-bapak masih saja sangat receh.

Kini mereka bertiga sedang memakan hidangan ikan hasil pancingan Gibran dan juga Gafa. Gafa kebanyakan memancing ikan gurame. Entahlah, dari dulu ia selalu mendapatkan ikan gurame, sepertinya sudah jodoh.

“Hubungan kalian gimana? Baik?” tanya Gibran membuka obrolan di sela makan.

“Baik-baik aja, Pah” jawab Gafa dan Nora mengangguk.

“Baguslah kalau begitu. Jaga ya hubungan kalian, jangan sampai berantem karena hal sepele. Selesaikan dengan kepala dingin,” ceramahnya memberi wejangan.

“Iya, Papa tenang aja kali, kita bukan pacarannya anak sd” ujar Nora.

“Iya Papa hanya khawatir nanti kalau kalian ada apa-apa Papa udah nggak ada.”

“Hanniel jadi dateng nggak? Bentar aku chat dulu,” ucap Nora mengalihkan topik. Ia sangat benci dengan kematian, cukup bunda saja yang meninggalknya sendirian papa jangan.

“Kalau Papa udah nggak ada kalian baik-baik, ya?”

“HALOO? Lo dimana sih kok lama banget!” Nora meninggikan suaranya lalu pergi dari meja makan restoran.

Gibran terkekeh melihat anak perempuan satu-satunya yang sifatnya sangat mirip dengan sang bunda. Gibran paham Nora tidak mau ia membahas ini, tapi sepertinya ia rasa sudah cukup waktunya di sini, ia sangat merindukan sosok istrinya.

“Papa titip Nora ya, Bel?”

Gafa mengangguk dengan senyuman kecutnya. “Panjang umur ya, Pah…”

Gibran hanya menjawabnya dengan senyuman tanpa anggukan atau gelengan kepala.

Semoga Papa nggak kenapa-napa…

“Kamu kenapa?” tanya Nora melihat gafa menyenderkan kepala di head rest mobil mengeluarkan helaan nafasnya berat.

“Bukan apa-apa. Ayo turun.” Gafa mengambil bucket bunga tulip putih dan biru di kursi belakang. Kata Nora, bunda sangat suka bunga tulip berwarna putih dan biru, jadi Gafa membelikannya sebagai hadiah untuk bertamu ke makam. Walaupun, tadi sempat ada adegan adu mulut tentang siapa cepat dia dapat di toko bunga. Nora tidak mau membeli bunga yang sama dengan Gafa, namun pada akhirnya Gafa mengalah untuk itu dan memesan bunga tulip berwarna putih saja.

Mereka berjalan berdampingan dan tak lupa dengan Gafa yang selalu menggenggam jemari kecil Nora, bak seperti anak yang tidak mau kehilangan ibunya. Ternyata letak makamnya tidak terlalu jauh dari gerbang pintu masuk. Gafa cukup kagum pertama kali melihat makam Bunda Nora yang sepertinya sangat di rawat dan bersih, dan tersedia lahan kosong disebelahnya.

Nora berjongkok di samping makam menatap tulisan nama sang Bunda yaitu, Clauvvie Sannora, kelahiran 15-04-1975, wafat 15-04-2015. Lalu mengusapnya lembut. Gafa masih berdiri di belakang Nora menatap perempuan itu sepertinya sangat merindukan sosok Ibu di dalam hidupnya.

“Halo bunda, apa kabar?” sapanya dengan senyuman dan menatap tulisan nama seolah-olah ia menatap sang Bunda. Baru saja Nora menyapanya hati Gafa serasa sangat sesak.

“Bunda, aku datang bawa cowo ganteng! Pasti bunda bangga karena aku punya cowo ganteng sekarang. Dulu, bunda pernah bilangkan harus cari cowo yang ganteng? Ini dia aku bawain buat bunda.”

“Sini Gaf, kenalan sama bunda,” pintanya.

Gafa tersenyum, lalu berjongkok bersebelahan dengan Nora. “Halo bunda. Salam kenal, ya? Aku Gafa tunangan Nora,” ucap Gafa.

“Pamer!” ledeknya.

“Biarin!”

Nora terkekeh sejenak, kemudian menaruh bunga tulip kesukaan Bunda di atas makam, dan Gafa juga ikut menaruh di samping bunga Nora.

“Selamat ulang tahun bunda, dan selamat delapan tahun kepergian.”

Begitu saja kalimat yang keluar dari mulut Nora membuat Gafa semakin merasa kesedihan dan kesepian Nora yang harus ditinggal sosok Ibu di usia remaja. Gafa mengusap punggung Nora untuk menyalurkan ketenangan.

“Semoga di ulang tahun bunda tahun ini, bunda semakin cantik. Soalnya kalau panjang umur ‘kan udah nggak bisa…,” kata Nora tertawa kecil membuat Gafa lagi-lagi tersenyum kecut.

“Kamu ucapin sesuatu dong buat bunda.”

Kini Gafa beralih menatap foto Clau yang sangati cantik waktu masih muda, cukup terbilang sangat mirip dengan Nora. Gafa pernah melihatnya sekali waktu acara pertemuan di rumah Nora sekilas, tapi tiba-tiba figuran foto di rampas oleh Nora. Ia tidak mengizinkannya untuk melihat wajah sang bunda “Happy birthday, bunda. Semoga bunda di sana bahagia sama seperti gadis kecil bunda di sini.”

“Gafa janji akan buat Nora bahagia terus dan jaga dia kapanpun dan dimanapun dia berada. Gafa janji nggak bakal buat Nora nangis, bahkan setetes air matapun Gafa nggak berani. Jadi, bunda nggak perlu khawatir soal Nora, semuanya aman terjamin!” sambungnya.

Nora hampir saja menangis tapi ia menahannya. Ia tidak boleh menangis sedikitpun di depan makam bunda, karena ia sudah berjanji tidak boleh menjadi perempuan lemah. Nora sejak kecil di didik oleh Clau agar tidak gampang menangis agar tidak dipandang remeh oleh sang lawan. Jika, sang lawan melihat kamu gampang menangis pasti sang lawan tahu bahwa kamu sangat lemah. Dan Nora tidak ingin dipandang seperti itu. Walaupun, lawannya sekarang bukan bunda lagi, ia tetap harus melakukannya.

“Kalau Gafa bohong takut-takutin aja, Bun. Aku ikhlas,” candanya menakut-nakuti Gafa.

“Yeh! Mana pernah aku bohong.”

“PERNAH!”

“SEKALI!”

“Tuh bun! Omelin!” seru Nora seperti mengadu kepada sosok bayangan Clau.

“Maaf deh … Ya?” ucapnya lirih.

“Minta maaf sama bunda lah. Kamu udah bohong sama bunda!” Nora menatap Gafa sinis.

“Maaf ya bundaa, itu yang terakhir deh janji.” Nora tertawa puas berani membuat Gafa tunduk kepada bunda.

Mereka bercerita kepada Clau tentang hubungannya yang bisa di bilang cukup lucu. Jika hadirnya masih ada di sini pasti ia sangat senang mempunyai calon tunangan yang sangat ganteng dan menghormati seorang wanita.

Satu jam sudah berlalu. Sudah saatnya ia pergi dari sana dan harus menemui Gibran, papa Nora. Yang mengajaknya untuk memancing bersama untuk merayakan ulang tahun bunda.

Mereka sudah berada di dalam mobil Gafa. Tiba-tiba saja Gafa memeluk Nora, ia tahu sejak awal Nora menahan tangisannya di depan makam. Berpura-pura senang dihadapannya semakin tertara kalau ia sangat sedih.

Tangisan Nora pecah di dalam pelukan hangat Gafa, ia menangis lirih memangil nama sang bunda. Seolah-olah bunda harus tau kalau Nora sangat merindukannya tapi ia tidak cukup berani mengatakan. Gafa mengusap-usap punggung Nora dan merapikan rambutnya yang berantakan. Sesekali ia membisikkan kata-kata penenang agar Nora tidak terlalu sedih.

“Aku kangen bunda, Gafa…”

“Tapi aku nggak berani buat ucapin itu…”

“Bunda juga kangen kamu, Nora.”

“Kamu kenapa?” tanya Nora melihat gafa menyenderkan kepala di head rest mobil mengeluarkan helaan nafasnya berat.

“Bukan apa-apa. Ayo turun.” Gafa mengambil bucket bunga tulip putih dan biru di kursi belakang. Kata Nora, bunda sangat suka bunga tulip berwarna putih dan biru, jadi Gafa membelikannya sebagai hadiah untuk bertamu ke makam. Walaupun, tadi sempat ada adegan adu mulut tentang siapa cepat dia dapat di toko bunga. Nora tidak mau membeli bunga yang sama dengan Gafa, namun pada akhirnya Gafa mengalah untuk itu dan memesan bunga tulip berwarna putih saja.

Mereka berjalan berdampingan dan tak lupa dengan Gafa yang selalu menggenggam jemari kecil Nora, bak seperti anak yang tidak mau kehilangan ibunya. Ternyata letak makamnya tidak terlalu jauh dari gerbang pintu masuk. Gafa cukup kagum pertama kali melihat makam Bunda Nora yang sepertinya sangat di rawat dan bersih, dan tersedia lahan kosong disebelahnya.

Nora berjongkok di samping makam menatap tulisan nama sang Bunda yaitu, Clauvvie Sannora, kelahiran 15-04-1975, wafat 15-04-2015. Lalu mengusapnya lembut. Gafa masih berdiri di belakang Nora menatap perempuan itu sepertinya sangat merindukan sosok Ibu di dalam hidupnya.

“Halo bunda, apa kabar?” sapanya dengan senyuman dan menatap tulisan nama seolah-olah ia menatap sang Bunda. Baru saja Nora menyapanya hati Gafa serasa sangat sesak.

“Bunda, aku datang bawa cowo ganteng! Pasti bunda bangga karena aku punya cowo ganteng sekarang. Dulu, bunda pernah bilangkan harus cari cowo yang ganteng? Ini dia aku bawain buat bunda.”

“Sini Gaf, kenalan sama bunda,” pintanya.

Gafa tersenyum, lalu berjongkok bersebelahan dengan Nora. “Halo bunda. Salam kenal, ya? Aku Gafa tunangan Nora,” ucap Gafa.

“Pamer!” ledeknya.

“Biarin!”

Nora terkekeh sejenak, kemudian menaruh bunga tulip kesukaan Bunda di atas makam, dan Gafa juga ikut menaruh di samping bunga Nora.

“Selamat ulang tahun bunda, dan selamat delapan tahun kepergian.”

Begitu saja kalimat yang keluar dari mulut Nora membuat Gafa semakin merasa kesedihan dan kesepian Nora yang harus ditinggal sosok Ibu di usia remaja. Gafa mengusap punggung Nora untuk menyalurkan ketenangan.

“Semoga di ulang tahun bunda tahun ini, bunda semakin cantik. Soalnya kalau panjang umur ‘kan udah nggak bisa…,” kata Nora tertawa kecil membuat Gafa lagi-lagi tersenyum kecut.

“Kamu ucapin sesuatu dong buat bunda.”

Kini Gafa beralih menatap foto Clau yang sangati cantik waktu masih muda, cukup terbilang sangat mirip dengan Nora. “Happy birthday, bunda. Semoga bunda di sana bahagia sama seperti gadis kecil bunda di sini.”

“Gafa janji akan buat Nora bahagia terus dan jaga dia kapanpun dan dimanapun dia berada. Gafa janji nggak bakal buat Nora nangis, bahkan setetes air matapun Gafa nggak berani. Jadi, bunda nggak perlu khawatir soal Nora, semuanya aman terjamin!” sambungnya.

Nora hampir saja menangis tapi ia menahannya. Ia tidak boleh menangis sedikitpun di depan makam bunda, karena ia sudah berjanji tidak boleh menjadi perempuan lemah. Nora sejak kecil di didik oleh Clau agar tidak gampang menangis agar tidak dipandang remeh oleh sang lawan. Jika, sang lawan melihat kamu gampang menangis pasti sang lawan tahu bahwa kamu sangat lemah. Dan Nora tidak ingin dipandang seperti itu. Walaupun, lawannya sekarang bukan bunda lagi, ia tetap harus melakukannya.

“Kalau Gafa bohong takut-takutin aja, Bun. Aku ikhlas,” candanya menakut-nakuti Gafa.

“Yeh! Mana pernah aku bohong.”

“PERNAH!”

“SEKALI!”

“Tuh bun! Omelin!” seru Nora seperti mengadu kepada sosok bayangan Clau.

“Maaf deh … Ya?” ucapnya lirih.

“Minta maaf sama bunda lah. Kamu udah bohong sama bunda!” Nora menatap Gafa sinis.

“Maaf ya bundaa, itu yang terakhir deh janji.” Nora tertawa puas berani membuat Gafa tunduk kepada bunda.

Mereka bercerita kepada Clau tentang hubungannya yang bisa di bilang cukup lucu. Jika hadirnya masih ada di sini pasti ia sangat senang mempunyai calon tunangan yang sangat ganteng dan menghormati seorang wanita.

Satu jam sudah berlalu. Sudah saatnya ia pergi dari sana dan harus menemui Gibran, papa Nora. Yang mengajaknya untuk memancing bersama untuk merayakan ulang tahun bunda.

Mereka sudah berada di dalam mobil Gafa. Tiba-tiba saja Gafa memeluk Nora, ia tahu sejak awal Nora menahan tangisannya di depan makam. Berpura-pura senang dihadapannya semakin tertara kalau ia sangat sedih.

Tangisan Nora pecah di dalam pelukan hangat Gafa, ia menangis lirih memangil nama sang bunda. Seolah-olah bunda harus tau kalau Nora sangat merindukannya tapi ia tidak cukup berani mengatakan. Gafa mengusap-usap punggung Nora dan merapikan rambutnya yang berantakan. Sesekali ia membisikkan kata-kata penenang agar Nora tidak terlalu sedih.

“Aku kangen bunda, Gafa…”

“Tapi aku nggak berani buat ucapin itu…”

“Bunda juga kangen kamu, Nora.”

“Kamu kenapa?” tanya Nora melihat gafa menyenderkan kepala di head rest mobil mengeluarkan helaan nafasnya berat.

“Bukan apa-apa. Ayo turun.” Gafa mengambil bucket bunga tulip putih dan biru di kursi belakang. Kata Nora, bunda sangat suka bunga tulip berwarna putih dan biru, jadi Gafa membelikannya sebagai hadiah untuk bertamu ke makam. Walaupun, tadi sempat ada adegan adu mulut tentang siapa cepat siapa dapat di toko bunga. Nora tidak mau membeli bunga yang sama dengan Gafa, namun pada akhirnya Gafa mengalah untuk itu dan memesan bunga tulip berwarna putih saja.

Mereka berjalan berdampingan dan tak lupa dengan Gafa yang selalu menggenggam jemari kecil Nora, bak seperti anak yang tidak mau kehilangan ibunya. Ternyata letak makamnya tidak terlalu jauh dari gerbang pintu masuk. Gafa cukup kagum pertama kali melihat makam Bunda Nora yang sepertinya sangat di rawat dan bersih, dan tersedia lahan kosong disebelahnya.

Nora berjongkok di samping makam menatap tulisan nama sang Bunda yaitu, Clauvvie Sannora, kelahiran 15-04-1975, wafat 15-04-2015. Lalu mengusapnya lembut. Gafa masih berdiri di belakang Nora menatap perempuan itu sepertinya sangat merindukan sosok Ibu di dalam hidupnya.

“Halo bunda, apa kabar?” sapanya dengan senyuman dan menatap tulisan nama seolah-olah ia menatap sang Bunda. Baru saja Nora menyapanya hati Gafa serasa sangat sesak.

“Bunda, aku datang bawa cowo ganteng! Pasti bunda bangga karena aku punya cowo ganteng sekarang. Dulu, bunda pernah bilangkan harus cari cowo yang ganteng? Ini dia aku bawain buat bunda.”

“Sini Gaf, kenalan sama bunda,” pintanya.

Gafa tersenyum, lalu berjongkok bersebelahan dengan Nora. “Halo bunda. Salam kenal, ya? Aku Gafa tunangan Nora,” ucap Gafa.

“Pamer!” ledeknya.

“Biarin!”

Nora terkekeh sejenak, kemudian menaruh bunga tulip kesukaan Bunda di atas makam, dan Gafa juga ikut menaruh di samping bunga Nora.

“Selamat ulang tahun bunda, dan selamat delapan tahun kepergian.”

Begitu saja kalimat yang keluar dari mulut Nora membuat Gafa semakin merasa kesedihan dan kesepian Nora yang harus ditinggal sosok Ibu di usia remaja. Gafa mengusap punggung Nora untuk menyalurkan ketenangan.

“Semoga di ulang tahun bunda tahun ini, bunda semakin cantik. Soalnya kalau panjang umur ‘kan udah nggak bisa…,” kata Nora tertawa kecil membuat Gafa lagi-lagi tersenyum kecut.

“Kamu ucapin sesuatu dong buat bunda.”

Kini Gafa beralih menatap foto Clau yang sangati cantik waktu masih muda, cukup terbilang sangat mirip dengan Nora. “Happy birthday, Bunda. Semoga bunda di sana bahagia sama seperti anak bunda di sini.”

“Gafa janji akan buat Nora bahagia terus dan jaga dia kapanpun dan dimanapun dia berada. Gafa janji nggak bakal buat Nora nangis, bahkan setetes air matapun Gafa nggak berani. Jadi, bunda nggak perlu khawatir soal Nora, semuanya aman terjamin!” sambungnya.

Nora hampir saja menangis tapi ia menahannya. Ia tidak boleh menangis sedikitpun di depan makam bunda, karena ia sudah berjanji tidak boleh menjadi perempuan lemah. Nora sejak kecil di didik oleh Clau agar tidak gampang menangis agar tidak dipandang remeh oleh sang lawan. Jika, sang lawan melihat kamu gampang menangis pasti sang lawan tahu bahwa kamu sangat lemah. Dan Nora tidak ingin dipandang seperti itu. Walaupun, lawannya sekarang bukan bunda lagi, ia tetap harus melakukannya.

“Kalau Gafa bohong takut-takutin aja, Bun. Aku ikhlas,” candanya menakut-nakuti Gafa.

“Yeh! Mana pernah aku bohong.”

“PERNAH!”

“SEKALI!”

“Tuh bun! Omelin!” seru Nora seperti mengadu kepada sosok bayangan Clau.

“Maaf deh … Ya?” ucapnya lirih.

“Minta maaf sama bunda lah. Kamu udah bohong sama bunda!” Nora menatap Gafa sinis.

“Maaf ya bundaa, itu yang terakhir deh janji.” Nora tertawa puas berani membuat Gafa tunduk kepada bunda.

Mereka bercerita kepada Clau tentang hubungannya yang bisa di bilang cukup lucu. Jika hadirnya masih ada di sini pasti ia sangat senang mempunyai calon tunangan yang sangat ganteng dan menghormati seorang wanita.

Satu jam sudah berlalu. Sudah saatnya ia pergi dari sana dan harus menemui Gibran, papa Nora. Yang mengajaknya untuk memancing bersama untuk merayakan ulang tahun bunda.

Mereka sudah berada di dalam mobil Gafa. Tiba-tiba saja Gafa memeluk Nora, ia tahu sejak awal Nora menahan tangisannya di depan makam. Berpura-pura senang dihadapannya semakin tertara kalau ia sangat sedih.

Tangisan Nora pecah di dalam pelukan hangat Gafa, ia menangis lirih memangil nama sang bunda. Seolah-olah bunda harus tau kalau Nora sangat merindukannya tapi ia tidak cukup berani mengatakan. Gafa mengusap-usap punggung Nora dan merapikan rambutnya yang berantakan. Sesekali ia membisikkan kata-kata penenang agar Nora tidak terlalu sedih.

“Aku kangen bunda, Gafa…”

“Tapi aku nggak berani buat ucapin itu…”

“Bunda juga kangen kamu, Nora.”

Series salah satu drama Korea menjadi pilihan mereka, yang berjudul Bisnis Proposal. Awalnya Gafa menolak keras untuk menonton drama Korea, pikirnya itu terlalu alay. Tapi setelah menonton 2 episode, ia menjadi semakin penasaran dengan kelanjutannya, namanya juga Gafabel.

“Kalau Elle dateng ketemu kamu waktu di kafetaria, pasti kita nggak lagi kaya gini sekarang,” ujar Nora yang sedang tiduran di lengan Gafa sebagai tumpuan bantal.

“Maksudnya?” tanya Gafa tidak mengerti apa yang Nora bicarakan.

“Waktu itu aku nggak mau dateng ke kafetaria. Karena aku takut dijodohin sama om-om, jadi aku suruh Elle dateng sebagai Nora.”

“Tapi ternyata dia puter balik karena lupa ada acara keluarga gitu. Kaya kalau di Bisnis proposal aku sebagai Young Seo, kamu Kang Tae-mu, Elle jadi Shin Ha-ri,”lanjutnya.

“Tapi kalau versi kita Young Seo tunangan sama Kang Tae-mu.”

“IYAAA BENERR!” seru Nora.

“Masa aku dikira om-om, parah banget,” gerutunya sebal.

“KAN AKU AWALNYA NGGAK TAUU!! Lagipula papa sama abang nggak mau kasih tau nama kamu, jadi deh aku mikirnya dijodohin sama om-om.”

“Untungnya bukan Elle yang dateng. Aku mau berterima kasih sama keluarga Elle.”

“Kalau bukan dipaksa bang jaw aku juga nggak mau dateng. Mending aku main sama kak Kenzo,” jelas Nora yang ingin membuat Gafa kesal.

“Aku juga kalau bukan dipaksa ayah juga nggak mau dateng,” ucap Gafa nggak mau kalah. Dikira dia doang yang mau nolak perjodohan ini awalnya, ia juga sama!

“Berarti kamu awalnya nggak tau dong kalau kamu dijodohin sama aku?”

“Nggak.”

Nora ber-oh ria tersenyum puas. Sepertinya Gafa sudah mulai kesal dengan dirinya.

“Kamu pernah nggak berandai-andai?” tanya Nora memandangi wajah Gafa yang sangat serius menonton di layar proyektor.

“Pernah,” jawabnya singkat seraya memainkan rambut helaian Nora.

“Berandai-andai tentang kita?” tanyanya lagi.

“Iya.”,

“Coba dong ceritain,” pintanya.

“Iya, berandai-andai gimana emang,” jawabnya malas.

Ish! Ceritain cepet!!”

Gafa menghela nafasnya, lalu menatap langit-langit kamar Nora. “Aku mau nanti kita hidup berdua jauh dari orang-orang yang mau pisahkan kita.”

“Nanti kita punya rumah yang tamannya luas, ada kolam ikannya, ada piano di ruang keluarga, ada ruang musik juga pastinya. Terus nanti aku mau buatin satu ruangan special buat kamu, dan ada aku di samping kamu.” Gafa tersenyum membayangkan itu semua akan terjadi nantinya bersama Nora. Pasti akan sangat menyenangkan bila bisa seperti itu.

Nora jadi membayangkan jika nanti ia akhirnya hidup bersama Gafa. Pasti hidupnya akan penuh dengan tawa bahagia, ia jadi nggak sabar dengan kelanjutan tentang dirinya dan Gafa.

“Kamu mau bantu aku wujudin mimpi itu nggak?” tawar Gafa menatap netra Nora yang sangat berdekatan.

Nora mengangguk antusias ber-eye contact dengannya. “I wan’t to.”

Gafa menarik Nora dalam pelukannya, memeluknya seakan-akan tidak mau kehilangannya. Ia merasa sangat bersyukur mendapatkan Nora. Mungkin beberapa orang bisa saja menggantikan posisi Gafa, tapi bagi Gafa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Nora di hatinya.

How lucky I am to get you,” ucapnya yang masih memeluk Nora gemas.

Nora tidak bisa berkutik di dalam pelukan Gafa, ia hanya bisa pasrah dan mencubit-cubit pinggang Gafa yang tidak mau melepaskan pelukan ini.

“LEPASIN NGGAK! SESEKK!” omelnya seraya mencubit keras pinggang Gafa.

“Nggak mau! Nanti kabur.”

Ugh! I hate you so much.

I love you more,” katanya seraya mencium-cium wajah Nora yang terhalangi rambut berantakannya akibat ia memeluknya sangat erat.

tw // kiss

Pagi hari ini sudah dimulai dengan drama air di unit Gafa mati. Katanya sih lagi ada gangguan saluran air, beberapa unit di apartemen mati, termasuk unit Gafa. Untungnya ia bertetangga dengan sang tunangan, coba kalau nggak? Bisa beneran nggak mandi seharian dia.

Sudah sejam lebih Nora menyiapkan menu sarapan, sebenarnya ia tadi hanya berniatan untuk membekali sarapan untuk Gafa karena ia pikir Gafa hari ini ada urusan keluar. Namun, ternyata tidak, jadi ia buat sarapan lebih banyak hari ini.

Pintu kamar mandi terbuka, menunjukan pria wangi maskulin dengan rambut yang masih basah habis mandi dan handuk yang melingkar di lehernya. Gafa berjalan menghampiri Nora yang sedang sibuk di dapur.

“Kamu masak apa?” bisik Gafa dari belakang dengan suara rendahnya di samping telinga Nora.

Nora yang sedang fokus memotong sayuran di kagetkan dengan suara dan air yang menetes di pundaknya. Untungnya tangan ia masih utuh dan tidak tergores gara-gara Gafa.

“Ish! Kagetin aja kamu!” omelnya menatap Gafa sinis dari depan. Sedangkan ia hanya cengengesan, memang yang namanya Gafabel bikin orang kesal saja.

“Itu keringin dulu rambut kamu, masih basah juga,” omelnya lagi.

“Keringin.”

“Aku lagi masak.”

“Pleasee…”

Seketika Nora memberhentikan aktivitas memotong sayuran, berbalik badan menemui Gafa yang senyum-senyum sampai matanya berbentuk bulan sabit. Sepertinya ia sangat bahagia pagi hari ini. Nora meraih handuk yang melingkar di leher Gafa dan membasuhi rambut Gafa menggunakan handuk agar tidak menetes ke lantai.

“Udah, nih.” Nora mengulurkan handuk kecil tadi.

“Belum.”

“Apa lagi?”

Gafa menarik dagu Nora menggunakan tangan kanan dan tangan kirinya digunakan sebagai tumpuan di atas konter dapur. Lantas Gafa membuat jarak seperkian senti mendekati wajah Nora. “Can I?

Seketika bibir Nora tidak bisa berbicara, ia hanya bisa diam membantu dengan jarak yang sangat dekat seperti ini membuatnya sangat gugup, dan jantungnya berdegup kencang seakan-akan ingin keluar dari kerangkanya. Nora menganggukkan kepalanya, alih-alih mengizinkannya. Setelah mendapatkan izin, Gafa mempejamkan matanya meraih bibir kecil Nora. Lalu melakukannya dengan sangat hati-hati seakan-akan tidak ingin membuat sang kekasih takut.

Gafa melepaskan bibirnya perlahan, kemudian menatap wajah perempuan yang ia sangat cintai. Melebihi rasa cinta Romeo kepada Juliet. Sebagai tanda akhir ia mengecup dahi Nora dengan penuh rasa sayang.

Morning, cantik,” katanya dengan senyuman manis.