Clauvvie Sannora
“Kamu kenapa?” tanya Nora melihat gafa menyenderkan kepala di head rest mobil mengeluarkan helaan nafasnya berat.
“Bukan apa-apa. Ayo turun.” Gafa mengambil bucket bunga tulip putih dan biru di kursi belakang. Kata Nora, bunda sangat suka bunga tulip berwarna putih dan biru, jadi Gafa membelikannya sebagai hadiah untuk bertamu ke makam. Walaupun, tadi sempat ada adegan adu mulut tentang siapa cepat siapa dapat di toko bunga. Nora tidak mau membeli bunga yang sama dengan Gafa, namun pada akhirnya Gafa mengalah untuk itu dan memesan bunga tulip berwarna putih saja.
Mereka berjalan berdampingan dan tak lupa dengan Gafa yang selalu menggenggam jemari kecil Nora, bak seperti anak yang tidak mau kehilangan ibunya. Ternyata letak makamnya tidak terlalu jauh dari gerbang pintu masuk. Gafa cukup kagum pertama kali melihat makam Bunda Nora yang sepertinya sangat di rawat dan bersih, dan tersedia lahan kosong disebelahnya.
Nora berjongkok di samping makam menatap tulisan nama sang Bunda yaitu, Clauvvie Sannora, kelahiran 15-04-1975, wafat 15-04-2015. Lalu mengusapnya lembut. Gafa masih berdiri di belakang Nora menatap perempuan itu sepertinya sangat merindukan sosok Ibu di dalam hidupnya.
“Halo bunda, apa kabar?” sapanya dengan senyuman dan menatap tulisan nama seolah-olah ia menatap sang Bunda. Baru saja Nora menyapanya hati Gafa serasa sangat sesak.
“Bunda, aku datang bawa cowo ganteng! Pasti bunda bangga karena aku punya cowo ganteng sekarang. Dulu, bunda pernah bilangkan harus cari cowo yang ganteng? Ini dia aku bawain buat bunda.”
“Sini Gaf, kenalan sama bunda,” pintanya.
Gafa tersenyum, lalu berjongkok bersebelahan dengan Nora. “Halo bunda. Salam kenal, ya? Aku Gafa tunangan Nora,” ucap Gafa.
“Pamer!” ledeknya.
“Biarin!”
Nora terkekeh sejenak, kemudian menaruh bunga tulip kesukaan Bunda di atas makam, dan Gafa juga ikut menaruh di samping bunga Nora.
“Selamat ulang tahun bunda, dan selamat delapan tahun kepergian.”
Begitu saja kalimat yang keluar dari mulut Nora membuat Gafa semakin merasa kesedihan dan kesepian Nora yang harus ditinggal sosok Ibu di usia remaja. Gafa mengusap punggung Nora untuk menyalurkan ketenangan.
“Semoga di ulang tahun bunda tahun ini, bunda semakin cantik. Soalnya kalau panjang umur ‘kan udah nggak bisa…,” kata Nora tertawa kecil membuat Gafa lagi-lagi tersenyum kecut.
“Kamu ucapin sesuatu dong buat bunda.”
Kini Gafa beralih menatap foto Clau yang sangati cantik waktu masih muda, cukup terbilang sangat mirip dengan Nora. “Happy birthday, Bunda. Semoga bunda di sana bahagia sama seperti anak bunda di sini.”
“Gafa janji akan buat Nora bahagia terus dan jaga dia kapanpun dan dimanapun dia berada. Gafa janji nggak bakal buat Nora nangis, bahkan setetes air matapun Gafa nggak berani. Jadi, bunda nggak perlu khawatir soal Nora, semuanya aman terjamin!” sambungnya.
Nora hampir saja menangis tapi ia menahannya. Ia tidak boleh menangis sedikitpun di depan makam bunda, karena ia sudah berjanji tidak boleh menjadi perempuan lemah. Nora sejak kecil di didik oleh Clau agar tidak gampang menangis agar tidak dipandang remeh oleh sang lawan. Jika, sang lawan melihat kamu gampang menangis pasti sang lawan tahu bahwa kamu sangat lemah. Dan Nora tidak ingin dipandang seperti itu. Walaupun, lawannya sekarang bukan bunda lagi, ia tetap harus melakukannya.
“Kalau Gafa bohong takut-takutin aja, Bun. Aku ikhlas,” candanya menakut-nakuti Gafa.
“Yeh! Mana pernah aku bohong.”
“PERNAH!”
“SEKALI!”
“Tuh bun! Omelin!” seru Nora seperti mengadu kepada sosok bayangan Clau.
“Maaf deh … Ya?” ucapnya lirih.
“Minta maaf sama bunda lah. Kamu udah bohong sama bunda!” Nora menatap Gafa sinis.
“Maaf ya bundaa, itu yang terakhir deh janji.” Nora tertawa puas berani membuat Gafa tunduk kepada bunda.
Mereka bercerita kepada Clau tentang hubungannya yang bisa di bilang cukup lucu. Jika hadirnya masih ada di sini pasti ia sangat senang mempunyai calon tunangan yang sangat ganteng dan menghormati seorang wanita.
Satu jam sudah berlalu. Sudah saatnya ia pergi dari sana dan harus menemui Gibran, papa Nora. Yang mengajaknya untuk memancing bersama untuk merayakan ulang tahun bunda.
Mereka sudah berada di dalam mobil Gafa. Tiba-tiba saja Gafa memeluk Nora, ia tahu sejak awal Nora menahan tangisannya di depan makam. Berpura-pura senang dihadapannya semakin tertara kalau ia sangat sedih.
Tangisan Nora pecah di dalam pelukan hangat Gafa, ia menangis lirih memangil nama sang bunda. Seolah-olah bunda harus tau kalau Nora sangat merindukannya tapi ia tidak cukup berani mengatakan. Gafa mengusap-usap punggung Nora dan merapikan rambutnya yang berantakan. Sesekali ia membisikkan kata-kata penenang agar Nora tidak terlalu sedih.
“Aku kangen bunda, Gafa…”
“Tapi aku nggak berani buat ucapin itu…”
“Bunda juga kangen kamu, Nora.”