chlopyvrsie

“Lo mau kemana?” sapa Alfared basa-basi saat melihat Gafa berjalan ke parkiran mobil.

“Balik,” jawabnya dingin tanpa memperdulikan kehadiran Alfared kemudian membuka pintu mobilnya.

Alfared mendorong pintu mobil Gafa kembali tertutup. “Traktir gue kopi dulu lah, masa yang lagi ulang tahun nggak mau traktir.”

Gafa menghela nafas berat menatap muka tengil temannya seraya mengeluarkan dompet dari jas nya. “Nih, gue nggak ada waktu buat nemenin lo minum kopi.”

Alfared berdecak kesal dengan sikap Gafa yang berlagak orang sibuk. Padahal dirinya tahu bahwa ia baru saja berantem dengan sang tunangan. “Gue cuma butuh waktu lo, bukan duit lo,” ucap Alfared merangkul Gafa dan mengajaknya ke starbucks depan.

Kini mereka sudah berada di meja starbucks dengan pesanan kopi masing-masing. Alfared tertawa melihat wajah kusut Gafa yang sedang bermain ponselnya, sepertinya ia masih emosi. “Muka lo kusut banget kaya belum disetrika, kenapa sih kawan? Cerita dong,” ucap Alfared seraya meminum kopinya.

“Iya, gitulah… Namanya juga hidup, ada aja masalahnya,” ujar Gafa menaruh ponselnya di meja.

“Lo kalau lagi berantem selesain baik-baik, cari jalan tengahnya. Jangan main tinggi-tinggian emosi, yang ada malah selesai tuh hubungan.”

“Susah, Al. Gue udah coba jelasin ke dia tetep aja susah, gue kasih waktu dulu biar kita sama-sama mikir. Lagian kita juga lagi sama-sama capek.”

“Gue sampe lupa kalau ini hari ulang tahun gue. Hahahaha,” lanjutnya.

Alfared terkekeh kemudian mendekat ke ke wajah Gafa dan berbisik. “Separah itu?”

Gafa mengangguk lemas. “Iya, parah sampe mau udahan.”

“ANJINGGG?” seru Alfared reflek menepuk meja kencang yang membuat suruh pelanggan di starbucks ikut kaget dan menatapnya aneh.

Sorry nih, tapi lo cobalah sama-sama ngerti satu sama lain. Kalian juga udah tunangan, emang lo nggak mau nikahin Nora apa?”

“Ya maulah gila. Padahal gue mau kasih dia cincin baru malam hari ini, tapi malah ribut gini akhirnya,” kata Gafa mengeluarkan box cincin dari jas kantornya.

“Gila, tidak disangka banget, ya?”

“Hahaha, mau gimana lagi.” Gafa kembali menaruh box cincin itu ke dalam jas nya.

“Gue mau minta maaf dulu ke Nora sebelum balik,” ujar Gafa bangkit dari duduknya.

Gih sana. Selesain baik-baik.”


Nora yang baru saja menekan pintu lift untuk turun menemui Gafa. Tapi sekarang mata ia bertemu dengannya di depan lift. Gafa keluar dari lift dan berdiri di depan Nora.

“Aku mau balik lagi ke Bandung sekarang.”

Nora hanya diam mendundukan kepalanya. Ia tidak cukup berani harus beradu tatapan bersama Gafa semenjak kejadian tadi.

Gafa menghela nafas berat kemudian menarik Nora dalam pelukannya. “Aku minta maaf kalau aku udah emosi sama kamu tadi, aku minta maaf,” ucap Gafa di telinga Nora dengan penuh rasa bersalahnya.

Nora meneteskan air matanya. Ia jadi merasa bersalah juga karena harus membuat kejadian yang seperti ini yang hampir membuatnya pisah dengan sang tunangan. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunnya. “Aku juga minta maaf…”

“Gapapa, kita sama-sama lagi capek. Aku juga ngerti.” Gafa mengusap punggung Nora untuk menenangkannya.

Happy birthday, Gafa.”

“Ini masih belum telat kan?” sambungnya.

Gafa melepaskan terkekeh. “Belum, untung kamu inget.”

“Aku inget.”

“Iya, iya kamu inget.”

Gafa melepaskan pelukannya kemudian menghapus air mata yang membasahi pipi sang gadis. “Makasih, ya?”

Nora mengangguk. “Ikut aku dulu tapi.”

“Kemana?”

“Rahasia.” Nora mengambil sapu tangan hitam dari tas nya kemudian mengikatnya di kepala Gafa hingga matanya tertutup.

“Harus banget ditutup gini?” tanya Gafa penasaran.

“Kan aku bilang ini rahasia.”

Gafa hanya bisa pasrah dan menuruti perintah Nora yang entah akan membawanya pergi kemana.

Gafa menekan pedal gas mobil hingga menjadi 100 kilometer perjam. Ia tidak memperdulikan berapa kali ia mendapatkan lemparan bunyi klakson mobil dan motor dari orang-orang disekitarnya, Gafa hanya ingin bertemu Nora sekarang. Ia sudah menelepon Nora beberapa kali di dalam perjalanan tapi tidak aja jawaban yang membuat Gafa semakin panik. Ini baru sekalinya mereka berantem dan baru kali ini Nora mengatakan ‘kita selesai aja’.

Kata-kata ‘kita selesai aja’ terus berbayang-bayang di kepala Gafa membuatnya semakin lagi dan lagi menambah kecepatan mobil. Namun, ia harus menahannya demi keselamatan. Gafa memarkir sembarang mobilnya ketika sudah sampai diperkarangan apartemen yang ia tinggali bersama Nora. Gafa melangkahkan kakinya cepat memasuki lift dengan perasaan campur aduk. Ketika pintu lift di buka Gafa berlari ke depan pintu, menekan pin apartemen Nora yang sebelumnya ia pernah kasih tahu. Pintu berhasil di buka Gafa segera masuk dan menemukan Nora yang sedang merapihkan baju ke dalam koper.

“Nora, kamu mau kemana?” tanya Gafa panik duduk di depan Nora seraya berusaha memberhentikannya.

“Mau pulang,” jawabnya singkat tanpa memperdulikannya.

“Nggak, nggak boleh. Kamu dengerin aku dulu.” Gafa meraih tangan Nora yang sedang merapihkan koper.

Nora menghempas tangannya dari genggaman Gafa kemudian menatapnya sinis. “Apalagi sih?!” ucap Nora meninggikan suara seraya bangkit dari duduknya mengacak pinggang.

“Kita nggak seharusnya kaya gini. Kamu itu salah paham,” ucap Gafa dengan nada memohon berdiri di hadapan Nora.

“Salah paham gimana maksud kamu? Orang itu jelas-jelas kamu kok.”

“Kamu dapet dari mana foto itu?”

“Dari orang suruhan aku. Udahlah kamu jujur aja sama aku sekarang.”

Gafa menghela nafasnya berat sebelum berbicara. “Iya aku minum waktu aku di Bandung. Tapi kemaren bukan tadi, dan yang di foto itu bukan aku.”

“Maaf aku nggak bilang ke kamu waktu itu karena aku udah pusing banget sama kerjaan,” sambungnya.

Nora membulatkan matanya kaget. Ia tidak menyangka bahwa Gafa beneran minum tanpa memberi tahunya. Nora kira ini hanya sebatas prank namun kini dirinya ikut terprank.

“K—kamu serius?” tanya Nora berbata-bata.

“Iya, maaf…. Tapi aku nggak mace—“

Omongan Gafa terpotong digantikan dengan bunyi tamparan keras di pipi kanan Gafa. Nora sudah tidak bisa menahan amarahnya. Laki-laki itu tersenyum kecut seraya memegang pipi kanannya yang memerah.

“Gunanya aku di sini itu apa sih, Gaf? Pajangan semata kalau aku ini tunangan kamu? Iya?”

“Sesusah itu ya buat cerita ke aku? Bahkan kamu cabut kontrak sama agensi kamu aja nggak izin dulu sama aku, jangankan izin, bilang sama aku aja nggak!” jerit Nora diakhir kalimat membuat Gafa tercengang.

“Aku nggak kamu ikut capek karena aku, Nora…” jelas Gafa menahan rasa emosinya.

“Itu doang?”

“Kamu ngomong apa sih?!” Gafa menatap netra Nora tidak percaya bahwa dirinya dan Nora sekarang sedang berada di titik ujung sebuah hubungan.

“Nora, aku…” Gafa menghela nafas berat. “Aku minta maaf kalau aku buat kamu sedih. Tapi itu semua aku lakuin karena aku nggak mau lagi kamu ngerasa sakit karena hujatan mereka ke kamu. Namun, nyatanya dia semakin buat kamu sakit dan merasa kehilangan seorang papa.”

“Setiap malam aku ngerasa bersalah sama kamu karena aku yang buat dia jadi ngelakuin itu buat aku. Ini juga kesalahan aku di masa lalu, aku minta maaf banget sama kamu…”

Nora mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan. Ia tidak cukup berani untuk menatap netra Gafa yang sangat menusuk hatinya.

“Aku juga punya alasan tersendiri kenapa aku nggak mau cerita masa sulit aku ke kamu. Aku nggak mau kamu ngerasain hal yang sama, Nora. Aku juga ngerasa bersalah karena harus ninggalin kamu sendirian di sini, dan aku juga minta bawahan aku buat jagain kamu. Tapi kamu tolak itu mentah-mentah yang semakin buat aku ngerasa bersalah sama kamu.”

“Kamu kayanya nggak bisa ya ngertiin aku sedikitpun?” lirih Gafa yang wajahnya sudah merah berusaha menahan emosi.

“Kamu juga nggak bisa ngertiin aku sekarang…. Ngertiin? Ngertiin emang sesusah itu ya?”

Nora mengambil jeda untuk menghela nafasnya agar tidak memuncak. “Kamu beneran cinta nggak sih sama aku?”

Gafa menatap Nora tidak percaya kalau ia baru saja meragukan rasa cintanya yang tidak main-main. “Jaga omongan kamu, Nora.”

“SEHARUSNYA KITA NOLAK PERJODOHAN INI DAN NGGAK USAH SALING KENAL!!” jerit Nora meluapkan emosi yang sudah berbendung di kepalanya.

Gafa tertawa sarkas seraya memainkan lidah di dalam mulutnya. “Iya kamu bener. Nggak seharusnya kita sampe sejauh ini,” ucap Gafa terakhir sebelum meninggalkan Nora yang sedang menangis dan membanting pintu apartemennya.

Pagi-pagi sekali Nora sudah terbangun dari tidurnya untuk sekedar berpamitan kepada sang tunangan yang akan pergi meninggalkannya karena pekerjaan. Perempuan dengan pakaian piyama putih dibaluti cardingan pink membuka pintu apart dan mendapati bunga bucket mawar merah yang tergeletak di depan pintunya. Ia segera mengambil bucket bunga yang tergeletak dan membaca surat yang ada di sana.

Dear, Seinora. Selamat atas kesehatanmu. Semoga kamu sehat selalu dan bahagia disepanjang hidupmu, Adik Kecilku. Kenzo.

“Dari siapa?” tanya Gafa yang baru saja menutup pintu apartemen yang sudah mengenakan kemeja putih dengan blazer jas hitam yang mengantung di lengannya.

“Kak Kenzo,” jawab Nora dengan perasaan sedikit takut. Takut Gafa akan mengira dirinya dekat kembali dengan Kenzo.

Gafa membaca surat yang berada di tangan Nora sekilas, kemudian ia merampas bucket bunga dari tangan Nora dan melemparnya ke tong sampah.

“Zaman kaya gini gamon? Mainnya kurang jauh si Kenzo,” sarkas Gafa.

Nora terkekeh mendengar ledekan Gafa untuk Kenzo. Ia kira Gafa akan marah kepadanya karena mengira yang nggak-nggak. Tapi nyatanya ia salah.

“Nanti aku beliin yang lebih bagus dari itu.”

Nora mengangguk pasrah. Sudahlah kalau Gafa sudah cemburu seperti ini lebih baik ia tidak menjawabnya.

“Kok blazernya nggak dipake?”

“Sengaja, biar kamu yang pakein.”

Nora melirik Gafa dari atas sampai bawah sepertinya ada yang kurang dari penampilannya. “Oh iya! Dasi kamu mana ini kok nggak ada.”

“Ini, pakein sekalian hehe…” Gafa mengeluarkan dasi biru dari kantong celana.

Nora menggelengkan kepalanya seraya berdecak sebal. Sepertinya ini gambaran Nora di masa depan di setiap paginya untuk mengurusi pakaian sang suami. Nora menaiki kerah kemeja Gafa dan memakaikannya dasi secara telaten. Sedangkan Gafa menaiki sudut bibirnya memperhatikan wajah serius Nora yang sedang memakaikannya dasi.

“Udah, sini blazer kamu,” pinta Nora mengambil blazer dari lengan Gafa dan memakaikannya sampai ia harus berbalik dari badan Gafa.

“Selesai! Udah ganteng banget ini,” ujar Nora menepuk-nepuk pundak Gafa seraya membersihkan dari debu kecil.

“Makasih, sayang,” ucap Gafa mengacak atas kepala Nora gemas.

“Ayo turun,” ajak Gafa mengenggam tangan Nora.

“Koper kamu dimana?”

“Udah aku masukin bagasi mobil semalem.”

Nora ber-oh ria dan mereka menaiki lift memencet tombol lift paling bawah yang menuju langsung ke parkiran. Tidak ada yang berbicara sampai lift itu bunyi dan membuka pintu. Mereka berjalan berdampingan mencari dimana letak parkiran mobil Gafa.

Gafa menyalakan mesin mobil dari kunci dan memberhentikan langkahnya di belakang mobil.

Kini ia berdiri di depan Nora seraya menaruh tangannya di pundak Nora. “Kamu jaga diri ya? Aku udah telepon suruhan ayah buat jadi bodyguard kamu selama aku nggak ada disamping kamu. Nanti dia dateng buat nganterin kamu kerja.”

Seriously kamu sampe segininya?” tanya Nora yang tidak menyangka kalau Gafa super protektif kepada dirinya setelah kejadian itu.

“Itu juga demi kamu, Nora,” ucap Gafa menatap netra Nora dalam untuk menyakinkannya.

“Tapi aku sekarang udah gapapa, Gafa. Bahkan dia udah di dalam penjara kan? Kamu nggak perlu sampe segininya buat aku,” ujar Nora yang sedikit emosi.

“Aku cuma takut itu kejadian lagi sama kamu. Aku nggak mau kamu kaya gitu lagi untuk kedua kalinya.”

“Iya aku paham kamu takut aku kaya gitu lagi. Tapi sifat kamu seakan-akan kamu nggak bisa percaya sama aku, kalau aku ini bisa jaga diri aku sendiri,” katanya dengan emosi yang sudah di atas ubun-ubun kepala.

“Aku baru mau pergi buat ninggalin kamu sebulan tapi kamu malah ngajak ribut kaya gini? Kamu sebenarnya ngerti nggak sih seberapa takutnya dan traumanya aku?” ucap Gafa kepancing emosi.

“Iya aku ngerti. Tap—“

Gafa menarik badan kecil Nora ke dalam pelukannya agar tidak melanjutkan pertingkaian kecil ini. “Okay, aku minta maaf. Aku minta maaf kalau sikap aku ini seakan-akan nggak bisa percaya sama kamu, aku minta maaf.”

“Nanti aku suruh dia buat nggak jadi jemput kamu,” sambungnya.

Nora menghela nafasnya berat di dalam sana. “Maafin aku juga udah marah sama kamu…”

It’s okay.”

“Aku pamit dulu, ya?” pamit Gafa melepaskan pelukan.

Nora mengangguk seraya mendundukan kepala untuk menghapus air mata yang menetes membasahi pipinya.

“Jangan nangis, anak kecil,” katanya dengan kekehan mengacak rambut Nora sampai ia kesal dan memukul pundaknya kencang.

“Jahat!”

“Okay-okay, maaf…” ucap Gafa yang tidak tega melihat Nora menangis dan kembali memeluknya seperti teddy bear.

Setelah puas berpelukan ria. Gafa kembali melepaskan pelukan.

Cuups Kecupan di pipi kanan. “Jaga diri.”

Cuups Kecupan di pipi kiri. “Jangan lupa makan.”

Cuups Kecupan di dahi. “Aku sayang kamu.”

Cuups Kecupan di hidung. “Jangan genit ke cowok lain. Inget kamu punya aku.”

Cuups Kecupan terakhir di bibir. “I love you.

Hingga kecupan terakhir jantung Nora berkerja dengan sangat cepat. Ia dapat merasakan berapa puluhan kupu-kupu berterbangan di dalam tubuhnya. Mungkin saja sekarang wajah Nora sudah menjadi buah peach.

Nora bergerak berjinjit dan menaruh tangannya di pundak Gafa untuk membalas kecupan manis bibirnya. “I love you too.

Gafa tersenyum puas dengan sikap agresif Nora yang membalas kecupannya tadi. “Aku pergi dulu.” Gafa berjalan menghadap Nora seraya melambaikan tangan.

“Dadah! Hati-hati dijalan!” seru Nora melambaikan tangan di udara.

Gafa mengangguk kemudian membuka pintu mobil untuk masuk ke dalamnya. Ia menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan perkarangan parkiran apartemen dan juga meninggalkan Nora sendirian di sini.

Suasana menjadi sangat sunyi ketika Nora sudah berhenti menangis, kini ia sedang tertidur pulas di dalam pelukannya. Gafa memandangi wajah Nora yang terlihat sangat melelahkan hari ini, ia merapihkan helaian rambut yang menutupi mata Nora agar tidak menganggunya. Sudah hampir seminggu Nora tinggal di apartnya dan keadaan kesehataanya semakin membaik kata dokter setelah check up tadi. Namun, sepertinya tidak dengan kesehataan mentalnya. Nora sekarang jadi gampang sekali menangis, Gafa baru saja tinggal sebentar untuk keluar ke supermarket tapi ia menangis karena tidak mau ditinggal sendirian. Gafa sangat suka kalau Nora menjadi manja seperti ini. Ia jadi membayangkan nanti bagaimana kehidupannya setelah menikah bersamanya. Namun, ia juga jadi ke pikiran beberapa kali lipat untuk meninggalkan Nora sendirian di Jakarta, sedangkan ia harus training pekerjaan di Bandung selama sebulan full.

Gafa merasa tenggorokannya tercekat kerena haus melanda. Ia menyingkirkan lengannya dari kepala Nora, menggantikannya dengan bantal secara perlahan agar Nora tidak terbangun dari tidurnya. Merasa sudah aman Gafa berjalan keluar dari kamar ke dapur untuk minum air putih. Baru saja ia menuangkan air putih ke dalam gelas ia mendengar Nora memanggil namanya dengan isakan tangis. Gafa melupakan niat awalnya untuk minum dan segera berlari menghampiri Nora.

Hey, I’m here, I’m here…,” ucap Gafa memeluk Nora yang sedang menangis duduk dikasurnya.

Tangisan Nora semakin kencang di dalam pelukan Gafa, ia mencengkram pundak Gafa kuat-kuat. “Kamu kenapa? Nightmare?” tanya Gafa dengan nada lembut.

Nora menggelengkan kepala lemah. “Kangen papa…” ucapnya lirih di sela-sela tangisannya.

Gafa sangat memahami kalau Nora ini sangat kehilangan sosok sang Papa. Jadi ia hanya bisa memeluknya memberinya ketenangan di setiap tangisan kerinduannya kepada Papa. Ia juga sering berdoa setiap malam kepada Tuhan untuk Papa semoga berbahagia di atas sana bersama sang istri, dan begitu juga ia mendoakan Nora agar cepat berlarut dari kesedihan ini. Ia sebenarnya juga tidak cukup kuat melihat Nora bisa sehancur ini karena Cassa. Gafa merindukan senyuman dan tawa bahagia Nora.

Merasa Nora sudah tidak lagi terisak menangis Gafa melepaskan pelukannya dan menindurkannya kembali di sebelahnya.

Good night, my princess. Jangan sedih-sedih terus, ya?” ucap Gafa kemudian mengecup dahi Nora pelan sebelum ia kembali berbaring di sebelah Nora untuk menuju alam mimpi.

“Maafin aku…” batin Nora dalam hati.

Sudah tidak bisa dihitung jari berapa banyak sudah dokter yang keluar masuk ruangan untuk sekedar mengecheck keadaan pasiennya. Ini sudah hari ketiga pasca kejadian Cassa menculik Nora, tetapi ia juga belum bangun dari tidur panjangnya. Nora sudah melakukan operasi untuk menghindari kegagalan jantung dan operasi itu berhasil sepenuhnya. Tapi sekarang masih belum ada tanda-tanda bahwa Nora akan sadar. Gafa sudah marah-marah ke profesor yang menangani Nora, yaitu Kenzo, tapi lagi-lagi ia disuruh untuk bersabar sedikit lagi dan Kenzo bilang bahwa dirinya sudah berusaha berbagai cara untuk Nora bangun dari tidurnya.

Gafa mengaitkan jemari-jemari kecil yang terlihat pucat dan dipandanginya jari manis Nora yang sangat kosong. Sepertinya ia menghilangkan cincin pertunangannya. Gafa melepaskan kalung miliknya yang bergantung cincin ditengah-tengah, ia memasangkan cincin miliknya ke jemari kecil Nora. Walaupun terlihat kelonggaran tapi itu terlihat sangat cantik. Gafa tersenyum kecut dan kembali menggenggam tangan Nora seraya mempejamkan mata berdoa kepada Tuhan agar Nora terbangun untuk hari ini.

“Kamu kenapa tidur terus…. Kamu nggak kangen aku?” ucap Gafa dengan suara lirihan menahan tangis.

Jemari kecil tiba-tiba saja bergerak membalas genggaman telapak tangan besar milik Gafa. Gafa yang sadar akan itu langsung membukakan mata lebar-lebar memastikan jemari Nora yang memang merespon hal itu. Gafa berdiri menaruh tangan kirinya di atas kepala Nora mengelusnya pelan.

“Nora, kamu denger suara aku?” tanya Gafa berbisik di telinga Nora.

“Kalau kamu denger suara aku gerakin tangan kamu.”

Jemari Nora bergerak di dalam genggaman tangan Gafa untuk menjawab pertanyaannya. Gafa tersenyum sumringah dan segera memencet bell yang berada di samping ranjang rumah sakit.

Nora membuka kelopak matanya perlahan untuk beradaptasi dengan sekitarnya. Panca indera tercium bau obat-obatan rumah sakit. Ia merasa badannya sangat lemas sekarang, bahkan untuk berbicara sekalipun seperti sudah mengeluarkan energi yang cukup banyak. Kenzo datang bersama Dextar di belakangnya membawa alat-alat periksa. Kenzo memeriksa keadaan Nora dengan senyuman yang tidak pernah luntur, ia sangat bahagia Nora bangun dari masa komanya.

“Keadaan semakin membaik dan pasien sudah kembali sadar.” Kenzo melirik Nora sekejap, “Pasien akan dikirimkan jam makan siang nanti. Makan yang banyak ya, Nora,” ujar Kenzo tersenyum kepadanya dan izin pamit pergi dari ruangan bersama Dextar.

“Nora terkeren!” seru Dextar mengacungkan jempol sebelum ia menutup pintu ruangan VIP rumah sakit.

Nora terkekeh seraya mengangguk sebagai jawaban.

Gafa memeluk Nora pelan agar ia tidak merasa kesakitan. Ia melingkarkan tangannya di pundak Nora, menyandarkan kepalanya di atas kepala Nora. Nora mempejamkan matanya merasakan hangat pelukan sang tunangan, ia dapat menghirup aroma wangi badan Gafa yang sangat fresh. Alih-alih menyadarkan kepala kini Gafa mengecup dahi Nora pelan kemudian mengusap-usap pundak Nora.

“Makasih untuk tetap memilih bertahan bersamaku…”

TW // violence action TW // blood

Perempuan dengan pakaian gaun hitam cantiknya menghirup udara segar habis hujan. Sebenarnya udara saat ini sangat dingin untungnya Gafa meminjamkan jasnya sebagai blazer agar tidak kedinginan katanya. Ia sudah berjalan lumayan jauh dari kawasan rumah duka untuk sekedar mencari ketenangan sejenak.

Esok pagi Papa akan di makamkan di sebelah makam Bunda. Itu yang Abangnya ucapkan sebelum ia pergi dari sana. Hatinya masih belum bisa merelakan bahwa sang Papa kini sudah tiada. Masih sakit rasanya menerima fakta bahwa dirinya sekarang sudah tidak mempunyai orang tua. Nora memegang ujung pembatas jembatan dan berteriak sekuat mungkin untuk mengeluarkan rasa sedihnya.

“PAPA!!!! PAPA DENGER AKU KAN?!!”

“PAPA KENAPA TINGGALIN AKU!!!” teriaknya meneteskan air mata dan menghirup udara sejenak.

“AKU SAYANG BANGET SAMA PAPA!!”

“PAP—“

Seorang laki-laki datang dari belakang Nora, kemudian ia menempelkan sapu tangan di depan wajahnya sampai ia jatuh di dalam pelukannya dan dibawa pergi dari sana.


Nora membuka kedua matanya kemudian melihat di sekitarnya dan menyadari tangannya di ikat dengan tali. Kepalanya sangat terasa pening seperti di hantam ribuan batu yang jatuh di atas kepalanya. Samar-samar ia mendengar suara dua orang yang sedang adu argumen dan suara itu terdengar sangat tidak asing.

Ia melihat Thea sedang adu argumen dengan perempuan. Perempuan itu sangat tidak asing dan ia pernah melihatnya waktu itu, tapi ia melupakan namanya.

“Iya, tapi nggak sampai segila ini lo culik Nora!” bentak Thea mendorong pundak Cassa.

“Lo kalau nggak setuju sama gue. Lo mati aja bareng itu cewek! Bangsat!” Cassa mendorong pundak Thea sampai tersungkur di depan Nora.

“Thea…” panggilnya lirih.

“Nora? Nora lo gapapa kan?” Thea panik mengecheck seluruh badan Nora untuk memastikannya bahwa ia baik-baik saja.

“Gue gapapa kok…. Tapi lo—“ Nora menyadari ada luka darah di dahi Thea yang lumayan besar.

“Gue gapapa,” jawabnya cepat.

Cassa tertawa sarkas di depan mereka berdua kemudian bertepuk tangan. “Hahaha, sekarang ada dua sahabat yang sama-sama lagi khawatir,” ucapnya berjalan mendekat ke arahnya.

“Maksud lo apa culik gue kaya gini?” tanya Nora menatap Cassa tajam.

“Lo nanya?”

“Gue mau buat lo pergi jauh dari Gafa,” bisik Cassa di telinga Nora seraya menarik rambutnya kencang sampai Nora merintih kesakitan.

“Brengsek,” sarkas Nora menatap Cassa yang baru saja menjambaknya.

“Minggir lo!” Cassa menendang kaki Thea yang berada di depan Nora.

Thea bangkit dari duduknya dan berdiri merapihkan dirinya.

“Sedih ya di tinggal papa lo?” tanyanya meledek di depan wajah Nora.

Nora terpancing emosi saat Cassa menyebut nama sang Papa yang baru saja meninggalkannya dan berusaha melepaskan ikatan tali menggunakan tangannya.

“Makanya jangan deket-deket sama Gafa, kena kan sialnya ke lo,” katanya dengan kekehan di akhir.

Nora sudah tidak bisa menahan emosinya pun menjedotkan kepalanya ke wajah Cassa keras sampai-sampai sang puan kesakitan.

“Wah… CEWEK GILA!!”

Plakk

Cassa menampar pipi Nora keras menggunakan tangan kanannya. Hingga meninggalkan bekas merah di pipi tirusnya, Nora seketika tercengang kemudian meneteskan air mata karena tamparan tersebut mengenakan matanya. Thea hanya bisa memandangi Nora dengan rasa khawatirnya, ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk Nora.

“Gue tau lo lemah, jangan coba-coba lawan gue makanya.” Cassa mengeluarkan pisau kecilnya dari kantong celana dan mendekat kembali di hadapan Nora.

Cassa menarik sudut bibirnya memandangi kaki putih bersih Nora yang terpapang jelas. “Kaki lo kalau gue gores pake pisau ini nggak ngaruh kan ke pekerjaan lo?”

“Jangan coba-coba,” ucap Nora penuh menekanan masih dengan menatap Cassa tajam walaupun rambut berantakan menghalanginya.

“Larangan adalah perintah. So..? Gimana kalau gue gores aja? Hahaha.” Cassa mendekatkan pisau miliknya ke arah kaki Nora.

Nora menendang tangan Cassa yang hampir saja menggores kakinya sehingga membuat ia kesakitan karena pisau tersebut malah menggores telapak tangannya dan pisau itu terpental jauh.

“THEA!!” teriak Nora menyuruh Thea untuk membantunya membukakan ikatan tali. Thea awalnya ragu-ragu untuk menghampiri Nora, tapi Nora mengangguk menyakinkannya untuk membantunya.

Thea segera membantu Nora melepaskan ikatan tali tersebut dan ikatan berhasil terbuka. Nora merobek gaun cantiknya, kemudian berlari ketika Cassa bangkit dari tersungkurnya untuk mengambil pisau itu kembali. Namun, ia kalah cepat dengan Nora, Nora menendang pisau itu jauh ke ujung gudang. Cassa yang sudah terpancing emosi menendang perut Nora sangat keras sampai menimbulkan bunyi.

Nora terjatuh merintih kesakitan memegang perutnya yang habis di tendang. Cassa berlari untuk mengambil pisau itu, tapi Nora menjambak rambutnya dari belakang, sehingga membuatnya tidak bisa berlari. Cassa juga menarik rambut Nora hingga rambutnya rontok banyak. Namun, rontokan rambut Cassa lebih banyak karena ia menjambaknya lebih kencang.

“THEAA! AMBIL PISAUNYA!” pinta Nora berteriak sekuat mungkin alih-alih menahan rasa sakit kepalanya yang rasanya seperti mau copot.

“Lo ambil pisau itu, lo mati,” ucap Cassa yang memberhentikan langkah Thea.

“NGGAK! LO NGGAK AKAN MATI! AMBIL AJA PISAUNYA CEPET!”

“THEA BADJINGAN!!”

Thea tetap berjalan mengambil pisau tajam yang sudah berlumuran darah. Ia memungutnya dengan tangan yang bergemetar ketakutan.

“Bawa ke sini,” pinta Nora sekali lagi.

“GILA! LO MAU NGEBUNUH GUE?” bentak Cassa menarik rambut Nora lebih kencang sekarang.

“Lo aja bisa bunuh papa gue, masa gue bunuh lo aja nggak bisa?” sarkas Nora tersenyum kecut.

Thea yang sudah berada di belakang Nora ragu-ragu untuk memberikannya pisau.

Nora melepaskan jambakan lalu mendorong pundak Cassa agar ia menjauh. Nora mengambil pisau tersebut dari Thea dan Cassa tidak mau kalah, ia mengeluarkan suntikan penghenti kerja jantung dari dokter keluarganya dulu.

Cassa maju lebih dahulu dan siap ancang-ancang ingin menyuntik di leher Nora. Namun, tiba-tiba saja seseorang datang.

“NORA! AWAS!!”

Terlambat. Cassa sudah menyuntiknya lebih dulu dan ia terjatuh tersungkur lemas di lantai yang kotor. Sedangkan Cassa mematung menjatuhkan suntikannya setelah mendengar suara itu.

Gafa berlari menghampiri Nora, menaruh kepalanya di pahanya. Menepuk-nepuk pipi Nora agar ia sadar sedetik pun.

“Nora?! Nora kamu denger aku?!!” ucap Gafa panik menepuk-nepuk pipi Nora pelan.

Keamanan sudah memborgol tangan Cassa dan membawanya pergi dari sana bersama Jake dan suruhannya.

Gafa yang sudah kepalang panik segera mengendong Nora, membawanya keluar diikuti Thea di belakangnya.

“Gafa…” lirih Nora menahan rasa sakit di sekujur badannya menatap wajah Gafa yang sangat panik. Walaupun pandangannya sedikit kabur tapi ia bisa melihatnya dengan jelas.

“Nora, bertahan sedikit lagi…”

“Makasih, ya?” ucap Nora dengan suara samar-samar sebelum ia mempejamkan matanya kembali.

Puluhan karangan bunga berjejer disepanjang koridor rumah duka sebagai tanda penghormatan terakhir kepadanya. Hari ini Papa Nora disemayamkan di rumah duka yang tidak jauh dari rumah sakit. Situasi di sini sempat sangat ricuh karena banyak sekali media yang ingin meliputi tentang kepergian petinggi maskapai penerbangaan di Indonesia, dan terkuaknya bahwa Seinora selama ini putri dari anak Gibran yang disembunyikan media kerena privasinya. Namun, situasi sekarang kembali tenang karena seluruh penjaga bawahan Gibran sudah mengusirnya pergi dan meminta waktu duka untuk sekedar meliputi.

Nora cukup sangat marah. Sepertinya orang-orang tidak paham kalau dirinya ini sedang berduka karena kepergian sang Papa. Namun, media cukup mendesaknya untuk berbicara sepatah dua kata yang berakhir ia membanting kamera salah satu reporter yang membuatnya sangat emosi. Tapi Nora sudah meminta maaf kepada reporter tersebut dan ia mengerti kalau Nora sedang bersedih dan mengucapkan kata-kata semangat.

Netra cantik Nora sangat terlihat menyedihkan. Matanya sangat bengkak dan sorotan matanya sangat teduh tatapan kosong. Keluarga yang datang memberinya belas kasihan dan dukungan agar ia tidak perlu bersedih berkepanjangan. Namun apakah mereka bisa merasai apa yang Nora rasakan sekarang? Ia sebenarnya sangat benci rasa dikasianin, itu membuatnya sangat terlihat lemah dihadapan banyak orang. Tapi untuk kali ini ia harus menerima bahwa dirinya sekarang sedang bersedih dan ia mengakui itu.

Gafa dengan pakaian jas berwarna hitam berlari mengitari rumah duka, mencari-cari sosok perempuannya yang hilang dari pandangannya. Gafa cukup sangat panik takut terjadi kejadian yang tidak mengenakan hatinya terjadi kepada Nora.

“Lo Elle kan? Tau nggak Nora pergi kemana?” tanya dengan nafas yang tidak beratur campur panik yang menjalar di dalam dirinya.

“Di dalam ruangan itu,” ucapnya menunjuk satu ruangan yang tertutup pintu.

Netra Gafa beralih ke pada ruangan itu. Ia memegang knock pintu dengan cepat lalu ketika berhasil membukanya ia membanting pintu dan melihat Nora yang sedang menangis di dalam ruangan gelap sendirian. Gafa menariknya ke dalam pelukan, memeluknya sangat erat membiarkan Nora menangis sepuasnya di dalam sana. Gafa menaruh dagu di atas kepala Nora kemudian mempejamkan matanya, syukurlah Nora tidak pergi kemana-mana.

“Aku cariin kamu…”

“Aku takut…”

“Ada aku di sini, gapapa. Kamu nggak sendirian lagi,” ucap Gafa memberi ketenangan.

“Papa udah nggak ada, Gaf…”

“Hey hey, dengerin aku.” Gafa melepaskan pelukan lalu menangkup wajah Nora yang sedang menangis.

“Papa tetap ada di dalam hati kamu. Papa nggak kemana-mana,” katanya dengan senyuman seraya menghapus buliran air mata yang masih terus menetes membasahi pipi tirusnya.

“Kamu jangan tinggalin aku, ya?” lirih Nora menatap netra teduh Gafa.

Gafa menggelengkan kepala. “Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Nora.” Gafa kembali menarik Nora ke dalam pelukan dan membiarkannya dengan posisi seperti ini sampai tangisan Nora mereda.

Nora sangat membenci rumah sakit. Sungguh tidak di sangka apa yang menimpa sang Papa pada malam hari ini membuatnya sangat ketakutan. Takut akan kehilangan sosok figuran seorang Papa. Sudah sangat cukup ia kehilangan sang Bunda di rumah sakit yang sama.

Tolong untuk kali ini Tuhan jangan rebut Papa dari aku. Aku mohon…

Nora menarik nafas panjang kemudian berlari cepat melewati koridor rumah sakit yang bernuansa putih serta bau obat-obatan antiseptik khas rumah sakit ketika ia menghirupnya. Gafa ikut berlari di belakang Nora, membawakan tas miliknya di pundak. Tak peduli orang-orang memandanginya aneh, yang terpenting ia akan selalu ada di belakang Nora sampai kapanpun.

Saat mereka sampai di depan ruang operasi Nora melihat Jake, Abang tertua Nora menangis di dalam pelukan sang istri, dan Hanniel sedang duduk menatap pandangan kosong ke lantai dengan tangan yang mengacak-acak rambutnya. Nora serasa dejavu dengan situasi ini. Seperti ia dibawa ke belasan tahun silam saat nyawa sang Bunda tidak bisa terselamatkan saat melawan penyakit yang dihadapinya.

Linda yang menyadari hadirnya Nora langsung memanggilnya dengan nada lembut. “Nora… Sini cantik.”

Nora menghamburkan ke dalam pelukan Linda. Memeluknya dengan sangat kencang dan menangis tenggelam tanpa suara di pundaknya, badannya bergetar hebat meremas kemeja putih Linda. Walaupun Linda sedang hamil besar ia menahan rasa sakit perutnya dan mengelus punggung Nora sebagai naluri rasa ketenangan.

“Mbak…” lirihnya.

“Nora anak baik, Nora anak kuat, Nora anak kesayangan papa…”

“Ikhlasin papa, ya?”

Deg.

Nafas Nora tercekat begitu saja saat mendengar kalimat itu. Tutur batin tidak pernah salah, lagi-lagi ia mengikhlaskan sebuah kehilangan. Itu bukanlah hal yang gampang, tapi orang-orang dengan entengnya mengucapkan kata-kata ‘ikhlaskan’ ia sangat membenci kata itu. Nora menangis sesegukan membuat hati Gafa patah berkeping-keping. Ia baru kali ini melihat Nora sangat sehancur itu, lebih hancur dari tangisan di mobil waktu itu setelah mendatangi makam sang Bunda.

Gafa menghampiri Nora kemudian menariknya dari pelukan Linda yang sudah terlihat sangat menahan rasa sesek perutnya. Gafa langsung memeluknya dan ikut menangis di dalam pelukan hangat. Nora berteriak di pundak Gafa memanggil nama sang papa seakan-akan menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini lebih lama lagi.

Jake menguatkan Adik terakhirnya yang sangat terlihat sangat hancur dengan mengusap-usap punggungnya. Diantara 3 bersaudara lainnya Hanniel lah yang sangat dekat Papa, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Papa saat rumah besar yang dihuni di isi cuma mereka berdua saja. Hanniel lah yang menemani Papa berceramah tentang pekerjaannya di kantor walaupun ia tidak mengerti tentang dunia penerbangan dan sebagainya ia tetap mendengarkan curhatan Papa yang sudah lelah berkerja seharian. Dan sekarang ia sudah tidak bisa lagi mendengarkan ceramah Papa lagi. Sepertinya rumah sekarang akan terasa kosong kembali. Tidak terasa sehangat dulu saat semuanya berkumpul untuk makan malam bersama. Kini mungkin ia hanya makan sendirian di meja makan besar.

Sekarang Nora sudah kehilangan 2 sosok figuran orang tua. Bukan, ini bukan mau Nora. Nora hanya mau melihat kedua orang tuanya hidup bahagia di bumi. Ia hanya ingin melihat itu walaupun hanya sekali. Nora sudah tidak tercontrol ia memukul-mukul kepalanya untuk menghilangkan rasa pening dan berisik isi kepalanya. Gafa menahan tangan Nora dan mengelus-ngelus kepala Nora lembut agar ia tidak memukulnya lagi.

“Pusing, ya?”

Nora mengangguk kecil di dalam pelukan. Gafa membawanya untuk duduk di kursi rumah sakit, membukakan tutup botol minum air putih yang ia bawa di mobil tadi untuk Nora. Gafa menadangi botol minum untuknya Nora sudah terlihat cukup berantakan sekarang. Bahkan, matanya sudah menyipit kerena menangis. Ia kembali memeluk Nora, menaruh dagunya di atas kepala Nora mengucapkan kata-kata penenang sampai-sampai gadis itu tertidur di dalam pelukannya.

“Nora, Papa di sini…” panggilnya berdiri di samping perempuan berpakaian putih dan muka cerahnya, itu Bunda.

“Papa sama Bunda kok pakai baju putih? Papa Bunda mau pergi kemana?” tanya Nora kecil yang tidak mengerti.

“Papa sama Bunda mau pergi jauh sekali.” Gibran tersenyum mengandeng tangan Clau sang istri.

“Aku boleh ikut nggak? Aku nggak mau sendirian lagi…”

“Nggak bisa sayang…. Waktu kamu di sana masih panjang. Mimpi-mimpi kamu masih banyak belum terwujudkan,” ucap Clau dengan lembut.

“Kalau aku udah wujudin semua mimpi aku, aku boleh ikut kalian?”

“Boleh…”

Yess! Kalau gitu aku akan lebih semangat lagi!”

Gibran dan Clau tertawa melihat kobaran api semangat dari netra gadis kecilnya.

“Kami pamit pergi dulu, ya? Boleh kan?”

Nora kecil mengangguk bersemangat.

“Jaga diri baik-baik ya anak Bunda dan Papa…”

“Kami tinggal dulu, sampai jumpa nanti!”

“Sampai jumpa Papa dan Bunda!”

Nora melambaikan tangan kecilnya dengan senyuman yang tidak pernah pudar saat bertemu dengan orang tuanya. Saat melihat bayang-bayang orang tuanya yang hampir hilang, Nora berlari ingin memeluk keduanya tapi ia tidak bisa. Kakinya seperti di membatu tidak bisa bergerak bahkan untuk melangkah sedikitpun. Nora kecil menangis meraung-raung memanggil nama Papa dan Bundanya ia tidak mau ditinggal sendirian lagi.

Nora sangat membenci rumah sakit. Sungguh tidak di sangka apa yang menimpa sang Papa pada malam hari ini membuatnya sangat ketakutan. Takut akan kehilangan sosok figuran seorang Papa. Sudah sangat cukup ia kehilangan sang Bunda di rumah sakit yang sama.

Tolong untuk kali ini Tuhan jangan rebut Papa dari aku. Aku mohon…

Nora menarik nafas panjang kemudian berlari cepat melewati koridor rumah sakit yang bernuansa putih serta bau obat-obatan antiseptik khas rumah sakit ketika ia menghirupnya. Gafa ikut berlari di belakang Nora, membawakan tas miliknya di pundak. Tak peduli orang-orang memandanginya aneh, yang terpenting ia akan selalu ada di belakang Nora sampai kapanpun.

Saat mereka sampai di depan ruang operasi Nora melihat Jake, Abang tertua Nora menangis di dalam pelukan sang istri, dan Hanniel sedang duduk menatap pandangan kosong ke lantai dengan tangan yang mengacak-acak rambutnya. Nora serasa dejavu dengan situasi ini. Seperti ia dibawa ke belasan tahun silam saat nyawa sang Bunda tidak bisa terselamatkan saat melawan penyakit yang dihadipinya.

Linda yang menyadari hadirnya Nora langsung memanggilnya dengan nada lembut. “Nora… Sini cantik.”

Nora menghamburkan ke dalam pelukan Linda. Memeluknya dengan sangat kencang dan menangis tenggelam tanpa suara di pundaknya, badannya bergetar hebat meremas kemeja putih Linda. Walaupun Linda sedang hamil besar ia menahan rasa sakit perutnya dan mengelus punggung Nora sebagai naluri rasa ketenangan.

“Mbak…” lirihnya.

“Nora anak baik, Nora anak kuat, Nora anak kesayangan papa…”

“Ikhlasin papa, ya?”

Deg.

Nafas Nora tercekat begitu saja saat mendengar kalimat itu. Tutur batin tidak pernah salah, lagi-lagi ia mengikhlaskan sebuah kehilangan. Itu bukanlah hal yang gampang, tapi orang-orang dengan entengnya mengucapkan kata-kata ‘ikhlaskan’ ia sangat membenci kata itu. Nora menangis sesegukan membuat hati Gafa patah berkeping-keping. Ia baru kali ini melihat Nora sangat sehancur itu, lebih hancur dari tangisan di mobil waktu itu setelah mendatangi makam sang Bunda.

Gafa menghampiri Nora kemudian menariknya dari pelukan Linda yang sudah terlihat sangat menahan rasa sesek perutnya. Gafa langsung memeluknya dan ikut menangis di dalam pelukan hangat. Nora berteriak di pundak Gafa memanggil nama sang papa seakan-akan menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini lebih lama lagi.

Jake menguatkan Adik terakhirnya yang sangat terlihat sangat hancur dengan mengusap-usap punggungnya. Diantara 3 bersaudara lainnya Hanniel lah yang sangat dekat Papa, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Papa saat rumah besar yang dihuni di isi cuma mereka berdua saja. Hanniel lah yang menemani Papa berceramah tentang pekerjaannya di kantor walaupun ia tidak mengerti tentang dunia penerbangan dan sebagainya ia tetap mendengarkan curhatan Papa yang sudah lelah berkerja seharian. Dan sekarang ia sudah tidak bisa lagi mendengarkan ceramah Papa lagi. Sepertinya rumah sekarang akan terasa kosong kembali. Tidak terasa sehangat dulu saat semuanya berkumpul untuk makan malam bersama. Kini mungkin ia hanya makan sendirian di meja makan besar.

Sekarang Nora sudah kehilangan 2 sosok figuran orang tua. Bukan, ini bukan mau Nora. Nora hanya mau melihat kedua orang tuanya hidup bahagia di bumi. Ia hanya ingin melihat itu walaupun hanya sekali. Nora sudah tidak tercontrol ia memukul-mukul kepalanya untuk menghilangkan rasa pening dan berisik isi kepalanya. Gafa menahan tangan Nora dan mengelus-ngelus kepala Nora lembut agar ia tidak memukulnya lagi.

“Pusing, ya?”

Nora mengangguk kecil di dalam pelukan. Gafa membawanya untuk duduk di kursi rumah sakit, membukakan tutup botol minum air putih yang ia bawa di mobil tadi untuk Nora. Gafa menadangi botol minum untuknya Nora sudah terlihat cukup berantakan sekarang. Bahkan, matanya sudah menyipit kerena menangis. Ia kembali memeluk Nora, menaruh dagunya di atas kepala Nora mengucapkan kata-kata penenang sampai-sampai gadis itu tertidur di dalam pelukannya.

“Nora, Papa di sini…” panggilnya berdiri di samping perempuan berpakaian putih dan muka cerahnya, itu Bunda.

“Papa sama Bunda kok pakai baju putih? Papa Bunda mau pergi kemana?” tanya Nora kecil yang tidak mengerti.

“Papa sama Bunda mau pergi jauh sekali.” Gibran tersenyum mengandeng tangan Clau sang istri.

“Aku boleh ikut nggak? Aku nggak mau sendirian lagi…”

“Nggak bisa sayang…. Waktu kamu di sana masih panjang. Mimpi-mimpi kamu masih banyak belum terwujudkan,” ucap Clau dengan lembut.

“Kalau aku udah wujudin semua mimpi aku, aku boleh ikut kalian?”

“Boleh…”

Yess! Kalau gitu aku akan lebih semangat lagi!”

Gibran dan Clau tertawa melihat kobaran api semangat dari netra gadis kecilnya.

“Kami pamit pergi dulu, ya? Boleh kan?”

Nora kecil mengangguk bersemangat.

“Jaga diri baik-baik ya anak Bunda dan Papa…”

“Kami tinggal dulu, sampai jumpa nanti!”

“Sampai jumpa Papa dan Bunda!”

Nora melambaikan tangan kecilnya dengan senyuman yang tidak pernah pudar saat bertemu dengan orang tuanya. Saat melihat bayang-bayang orang tuanya yang hampir hilang, Nora berlari ingin memeluk keduanya tapi ia tidak bisa. Kakinya seperti di membatu tidak bisa bergerak bahkan untuk melangkah sedikitpun. Nora kecil menangis meraung-raung memanggil nama Papa dan Bundanya ia tidak mau ditinggal sendirian lagi.

Nora sangat membenci rumah sakit. Sungguh tidak di sangka apa yang menimpa sang Papa pada malam hari ini membuatnya sangat ketakutan. Takut akan kehilangan sosok figuran seorang Papa. Sudah sangat cukup ia kehilangan sang Bunda di rumah sakit yang sama.

Tolong untuk kali ini Tuhan jangan rebut Papa dari aku. Aku mohon…

Nora menarik nafas panjang kemudian berlari cepat melewati koridor rumah sakit yang bernuansa putih serta bau obat-obatan antiseptik khas rumah sakit ketika ia menghirupnya. Gafa ikut berlari di belakang Nora, membawakan tas miliknya di pundak. Tak peduli orang-orang memandanginya aneh, yang terpenting ia akan selalu ada di belakang Nora sampai kapanpun.

Saat mereka sampai di depan ruang operasi Nora melihat Jake, Abang tertua Nora menangis di dalam pelukan sang istri, dan Hanniel sedang duduk menatap pandangan kosong ke lantai dengan tangan yang mengacak-acak rambutnya. Nora serasa dejavu dengan situasi ini. Seperti ia dibawa ke belasan tahun silam saat nyawa sang Bunda tidak bisa terselamatkan saat melawan penyakit yang dihadipinya.

Linda yang menyadari hadirnya Nora langsung memanggilnya dengan nada lembut. “Nora… Sini cantik.”

Nora menghamburkan ke dalam pelukan Linda. Memeluknya dengan sangat kencang dan menangis tenggelam tanpa suara di pundaknya, meremas kemeja putih Linda. Walaupun Linda sedang hamil besar ia menahan rasa sakit perutnya dan mengelus punggung Nora sebagai naluri rasa ketenangan.

“Mbak…” lirihnya.

“Nora anak baik, Nora anak kuat, Nora anak kesayangan papa…”

“Ikhlasin papa, ya?”

Deg.

Nafas Nora tercekat begitu saja saat mendengar kalimat itu. Tutur batin tidak pernah salah, lagi-lagi ia mengikhlaskan sebuah kehilangan. Itu bukanlah hal yang gampang, tapi orang-orang dengan entengnya mengucapkan kata-kata ‘ikhlaskan’ ia sangat membenci kata itu. Nora menangis sesegukan membuat hati Gafa patah berkeping-keping. Ia baru kali ini melihat Nora sangat sehancur itu, lebih hancur dari tangisan di mobil waktu itu setelah mendatangi makam sang Bunda.

Gafa menghampiri Nora kemudian menariknya dari pelukan Linda yang sudah terlihat sangat menahan rasa sesek perutnya. Gafa langsung memeluknya dan ikut menangis di dalam pelukan hangat. Nora berteriak di pundak Gafa memanggil nama sang papa seakan-akan menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini lebih lama lagi.

Jake menguatkan Adik terakhirnya yang sangat terlihat sangat hancur dengan mengusap-usap punggungnya. Diantara 3 bersaudara lainnya Hanniel lah yang sangat dekat Papa, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Papa saat rumah besar yang dihuni di isi cuma mereka berdua saja. Hanniel lah yang menemani Papa berceramah tentang pekerjaannya di kantor walaupun ia tidak mengerti tentang dunia penerbangan dan sebagainya ia tetap mendengarkan curhatan Papa yang sudah lelah berkerja seharian. Dan sekarang ia sudah tidak bisa lagi mendengarkan ceramah Papa lagi. Sepertinya rumah sekarang akan terasa kosong kembali. Tidak terasa sehangat dulu saat semuanya berkumpul untuk makan malam bersama. Kini mungkin ia hanya makan sendirian di meja makan besar.

Sekarang Nora sudah kehilangan 2 sosok figuran orang tua. Bukan, ini bukan mau Nora. Nora hanya mau melihat kedua orang tuanya hidup bahagia di bumi. Ia hanya ingin melihat itu walaupun hanya sekali. Nora sudah tidak tercontrol ia memukul-mukul kepalanya untuk menghilangkan rasa pening dan berisik isi kepalanya. Gafa menahan tangan Nora dan mengelus-ngelus kepala Nora lembut agar ia tidak memukulnya lagi.

“Pusing, ya?”

Nora mengangguk kecil di dalam pelukan. Gafa membawanya untuk duduk di kursi rumah sakit, membukakan tutup botol minum air putih yang ia bawa di mobil tadi untuk Nora. Gafa menadangi botol minum untuknya Nora sudah terlihat cukup berantakan sekarang. Bahkan, matanya sudah menyipit kerena menangis. Ia kembali memeluk Nora, menaruh dagunya di atas kepala Nora mengucapkan kata-kata penenang sampai-sampai gadis itu tertidur di dalam pelukannya.

“Nora, Papa di sini…” panggilnya berdiri di samping perempuan berpakaian putih dan muka cerahnya, itu Bunda.

“Papa sama Bunda kok pakai baju putih? Papa Bunda mau pergi kemana?” tanya Nora kecil yang tidak mengerti.

“Papa sama Bunda mau pergi jauh sekali.” Gibran tersenyum mengandeng tangan Clau sang istri.

“Aku boleh ikut nggak? Aku nggak mau sendirian lagi…”

“Nggak bisa sayang…. Waktu kamu di sana masih panjang. Mimpi-mimpi kamu masih banyak belum terwujudkan,” ucap Clau dengan lembut.

“Kalau aku udah wujudin semua mimpi aku, aku boleh ikut kalian?”

“Boleh…”

Yess! Kalau gitu aku akan lebih semangat lagi!”

Gibran dan Clau tertawa melihat kobaran api semangat dari netra gadis kecilnya.

“Kami pamit pergi dulu, ya? Boleh kan?”

Nora kecil mengangguk bersemangat.

“Jaga diri baik-baik ya anak Bunda dan Papa…”

“Kami tinggal dulu, sampai jumpa nanti!”

“Sampai jumpa Papa dan Bunda!”

Nora melambaikan tangan kecilnya dengan senyuman yang tidak pernah pudar saat bertemu dengan orang tuanya. Saat melihat bayang-bayang orang tuanya yang hampir hilang, Nora berlari ingin memeluk keduanya tapi ia tidak bisa. Kakinya seperti di membatu tidak bisa bergerak bahkan untuk melangkah sedikitpun. Nora kecil menangis meraung-raung memanggil nama Papa dan Bundanya ia tidak mau ditinggal sendirian lagi.