Let’s break up

Gafa menekan pedal gas mobil hingga menjadi 100 kilometer perjam. Ia tidak memperdulikan berapa kali ia mendapatkan lemparan bunyi klakson mobil dan motor dari orang-orang disekitarnya, Gafa hanya ingin bertemu Nora sekarang. Ia sudah menelepon Nora beberapa kali di dalam perjalanan tapi tidak aja jawaban yang membuat Gafa semakin panik. Ini baru sekalinya mereka berantem dan baru kali ini Nora mengatakan ‘kita selesai aja’.

Kata-kata ‘kita selesai aja’ terus berbayang-bayang di kepala Gafa membuatnya semakin lagi dan lagi menambah kecepatan mobil. Namun, ia harus menahannya demi keselamatan. Gafa memarkir sembarang mobilnya ketika sudah sampai diperkarangan apartemen yang ia tinggali bersama Nora. Gafa melangkahkan kakinya cepat memasuki lift dengan perasaan campur aduk. Ketika pintu lift di buka Gafa berlari ke depan pintu, menekan pin apartemen Nora yang sebelumnya ia pernah kasih tahu. Pintu berhasil di buka Gafa segera masuk dan menemukan Nora yang sedang merapihkan baju ke dalam koper.

“Nora, kamu mau kemana?” tanya Gafa panik duduk di depan Nora seraya berusaha memberhentikannya.

“Mau pulang,” jawabnya singkat tanpa memperdulikannya.

“Nggak, nggak boleh. Kamu dengerin aku dulu.” Gafa meraih tangan Nora yang sedang merapihkan koper.

Nora menghempas tangannya dari genggaman Gafa kemudian menatapnya sinis. “Apalagi sih?!” ucap Nora meninggikan suara seraya bangkit dari duduknya mengacak pinggang.

“Kita nggak seharusnya kaya gini. Kamu itu salah paham,” ucap Gafa dengan nada memohon berdiri di hadapan Nora.

“Salah paham gimana maksud kamu? Orang itu jelas-jelas kamu kok.”

“Kamu dapet dari mana foto itu?”

“Dari orang suruhan aku. Udahlah kamu jujur aja sama aku sekarang.”

Gafa menghela nafasnya berat sebelum berbicara. “Iya aku minum waktu aku di Bandung. Tapi kemaren bukan tadi, dan yang di foto itu bukan aku.”

“Maaf aku nggak bilang ke kamu waktu itu karena aku udah pusing banget sama kerjaan,” sambungnya.

Nora membulatkan matanya kaget. Ia tidak menyangka bahwa Gafa beneran minum tanpa memberi tahunya. Nora kira ini hanya sebatas prank namun kini dirinya ikut terprank.

“K—kamu serius?” tanya Nora berbata-bata.

“Iya, maaf…. Tapi aku nggak mace—“

Omongan Gafa terpotong digantikan dengan bunyi tamparan keras di pipi kanan Gafa. Nora sudah tidak bisa menahan amarahnya. Laki-laki itu tersenyum kecut seraya memegang pipi kanannya yang memerah.

“Gunanya aku di sini itu apa sih, Gaf? Pajangan semata kalau aku ini tunangan kamu? Iya?”

“Sesusah itu ya buat cerita ke aku? Bahkan kamu cabut kontrak sama agensi kamu aja nggak izin dulu sama aku, jangankan izin, bilang sama aku aja nggak!” jerit Nora diakhir kalimat membuat Gafa tercengang.

“Aku nggak kamu ikut capek karena aku, Nora…” jelas Gafa menahan rasa emosinya.

“Itu doang?”

“Kamu ngomong apa sih?!” Gafa menatap netra Nora tidak percaya bahwa dirinya dan Nora sekarang sedang berada di titik ujung sebuah hubungan.

“Nora, aku…” Gafa menghela nafas berat. “Aku minta maaf kalau aku buat kamu sedih. Tapi itu semua aku lakuin karena aku nggak mau lagi kamu ngerasa sakit karena hujatan mereka ke kamu. Namun, nyatanya dia semakin buat kamu sakit dan merasa kehilangan seorang papa.”

“Setiap malam aku ngerasa bersalah sama kamu karena aku yang buat dia jadi ngelakuin itu buat aku. Ini juga kesalahan aku di masa lalu, aku minta maaf banget sama kamu…”

Nora mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan. Ia tidak cukup berani untuk menatap netra Gafa yang sangat menusuk hatinya.

“Aku juga punya alasan tersendiri kenapa aku nggak mau cerita masa sulit aku ke kamu. Aku nggak mau kamu ngerasain hal yang sama, Nora. Aku juga ngerasa bersalah karena harus ninggalin kamu sendirian di sini, dan aku juga minta bawahan aku buat jagain kamu. Tapi kamu tolak itu mentah-mentah yang semakin buat aku ngerasa bersalah sama kamu.”

“Kamu kayanya nggak bisa ya ngertiin aku sedikitpun?” lirih Gafa yang wajahnya sudah merah berusaha menahan emosi.

“Kamu juga nggak bisa ngertiin aku sekarang…. Ngertiin? Ngertiin emang sesusah itu ya?”

Nora mengambil jeda untuk menghela nafasnya agar tidak memuncak. “Kamu beneran cinta nggak sih sama aku?”

Gafa menatap Nora tidak percaya kalau ia baru saja meragukan rasa cintanya yang tidak main-main. “Jaga omongan kamu, Nora.”

“SEHARUSNYA KITA NOLAK PERJODOHAN INI DAN NGGAK USAH SALING KENAL!!” jerit Nora meluapkan emosi yang sudah berbendung di kepalanya.

Gafa tertawa sarkas seraya memainkan lidah di dalam mulutnya. “Iya kamu bener. Nggak seharusnya kita sampe sejauh ini,” ucap Gafa terakhir sebelum meninggalkan Nora yang sedang menangis dan membanting pintu apartemennya.