Healed
“Lo mau kemana?” sapa Alfared basa-basi saat melihat Gafa berjalan ke parkiran mobil.
“Balik,” jawabnya dingin tanpa memperdulikan kehadiran Alfared kemudian membuka pintu mobilnya.
Alfared mendorong pintu mobil Gafa kembali tertutup. “Traktir gue kopi dulu lah, masa yang lagi ulang tahun nggak mau traktir.”
Gafa menghela nafas berat menatap muka tengil temannya seraya mengeluarkan dompet dari jas nya. “Nih, gue nggak ada waktu buat nemenin lo minum kopi.”
Alfared berdecak kesal dengan sikap Gafa yang berlagak orang sibuk. Padahal dirinya tahu bahwa ia baru saja berantem dengan sang tunangan. “Gue cuma butuh waktu lo, bukan duit lo,” ucap Alfared merangkul Gafa dan mengajaknya ke starbucks depan.
Kini mereka sudah berada di meja starbucks dengan pesanan kopi masing-masing. Alfared tertawa melihat wajah kusut Gafa yang sedang bermain ponselnya, sepertinya ia masih emosi. “Muka lo kusut banget kaya belum disetrika, kenapa sih kawan? Cerita dong,” ucap Alfared seraya meminum kopinya.
“Iya, gitulah… Namanya juga hidup, ada aja masalahnya,” ujar Gafa menaruh ponselnya di meja.
“Lo kalau lagi berantem selesain baik-baik, cari jalan tengahnya. Jangan main tinggi-tinggian emosi, yang ada malah selesai tuh hubungan.”
“Susah, Al. Gue udah coba jelasin ke dia tetep aja susah, gue kasih waktu dulu biar kita sama-sama mikir. Lagian kita juga lagi sama-sama capek.”
“Gue sampe lupa kalau ini hari ulang tahun gue. Hahahaha,” lanjutnya.
Alfared terkekeh kemudian mendekat ke ke wajah Gafa dan berbisik. “Separah itu?”
Gafa mengangguk lemas. “Iya, parah sampe mau udahan.”
“ANJINGGG?” seru Alfared reflek menepuk meja kencang yang membuat suruh pelanggan di starbucks ikut kaget dan menatapnya aneh.
“Sorry nih, tapi lo cobalah sama-sama ngerti satu sama lain. Kalian juga udah tunangan, emang lo nggak mau nikahin Nora apa?”
“Ya maulah gila. Padahal gue mau kasih dia cincin baru malam hari ini, tapi malah ribut gini akhirnya,” kata Gafa mengeluarkan box cincin dari jas kantornya.
“Gila, tidak disangka banget, ya?”
“Hahaha, mau gimana lagi.” Gafa kembali menaruh box cincin itu ke dalam jas nya.
“Gue mau minta maaf dulu ke Nora sebelum balik,” ujar Gafa bangkit dari duduknya.
“Gih sana. Selesain baik-baik.”
Nora yang baru saja menekan pintu lift untuk turun menemui Gafa. Tapi sekarang mata ia bertemu dengannya di depan lift. Gafa keluar dari lift dan berdiri di depan Nora.
“Aku mau balik lagi ke Bandung sekarang.”
Nora hanya diam mendundukan kepalanya. Ia tidak cukup berani harus beradu tatapan bersama Gafa semenjak kejadian tadi.
Gafa menghela nafas berat kemudian menarik Nora dalam pelukannya. “Aku minta maaf kalau aku udah emosi sama kamu tadi, aku minta maaf,” ucap Gafa di telinga Nora dengan penuh rasa bersalahnya.
Nora meneteskan air matanya. Ia jadi merasa bersalah juga karena harus membuat kejadian yang seperti ini yang hampir membuatnya pisah dengan sang tunangan. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunnya. “Aku juga minta maaf…”
“Gapapa, kita sama-sama lagi capek. Aku juga ngerti.” Gafa mengusap punggung Nora untuk menenangkannya.
“Happy birthday, Gafa.”
“Ini masih belum telat kan?” sambungnya.
Gafa melepaskan terkekeh. “Belum, untung kamu inget.”
“Aku inget.”
“Iya, iya kamu inget.”
Gafa melepaskan pelukannya kemudian menghapus air mata yang membasahi pipi sang gadis. “Makasih, ya?”
Nora mengangguk. “Ikut aku dulu tapi.”
“Kemana?”
“Rahasia.” Nora mengambil sapu tangan hitam dari tas nya kemudian mengikatnya di kepala Gafa hingga matanya tertutup.
“Harus banget ditutup gini?” tanya Gafa penasaran.
“Kan aku bilang ini rahasia.”
Gafa hanya bisa pasrah dan menuruti perintah Nora yang entah akan membawanya pergi kemana.