Kehilangan Lagi?
Nora sangat membenci rumah sakit. Sungguh tidak di sangka apa yang menimpa sang Papa pada malam hari ini membuatnya sangat ketakutan. Takut akan kehilangan sosok figuran seorang Papa. Sudah sangat cukup ia kehilangan sang Bunda di rumah sakit yang sama.
Tolong untuk kali ini Tuhan jangan rebut Papa dari aku. Aku mohon…
Nora menarik nafas panjang kemudian berlari cepat melewati koridor rumah sakit yang bernuansa putih serta bau obat-obatan antiseptik khas rumah sakit ketika ia menghirupnya. Gafa ikut berlari di belakang Nora, membawakan tas miliknya di pundak. Tak peduli orang-orang memandanginya aneh, yang terpenting ia akan selalu ada di belakang Nora sampai kapanpun.
Saat mereka sampai di depan ruang operasi Nora melihat Jake, Abang tertua Nora menangis di dalam pelukan sang istri, dan Hanniel sedang duduk menatap pandangan kosong ke lantai dengan tangan yang mengacak-acak rambutnya. Nora serasa dejavu dengan situasi ini. Seperti ia dibawa ke belasan tahun silam saat nyawa sang Bunda tidak bisa terselamatkan saat melawan penyakit yang dihadipinya.
Linda yang menyadari hadirnya Nora langsung memanggilnya dengan nada lembut. “Nora… Sini cantik.”
Nora menghamburkan ke dalam pelukan Linda. Memeluknya dengan sangat kencang dan menangis tenggelam tanpa suara di pundaknya, meremas kemeja putih Linda. Walaupun Linda sedang hamil besar ia menahan rasa sakit perutnya dan mengelus punggung Nora sebagai naluri rasa ketenangan.
“Mbak…” lirihnya.
“Nora anak baik, Nora anak kuat, Nora anak kesayangan papa…”
“Ikhlasin papa, ya?”
Deg.
Nafas Nora tercekat begitu saja saat mendengar kalimat itu. Tutur batin tidak pernah salah, lagi-lagi ia mengikhlaskan sebuah kehilangan. Itu bukanlah hal yang gampang, tapi orang-orang dengan entengnya mengucapkan kata-kata ‘ikhlaskan’ ia sangat membenci kata itu. Nora menangis sesegukan membuat hati Gafa patah berkeping-keping. Ia baru kali ini melihat Nora sangat sehancur itu, lebih hancur dari tangisan di mobil waktu itu setelah mendatangi makam sang Bunda.
Gafa menghampiri Nora kemudian menariknya dari pelukan Linda yang sudah terlihat sangat menahan rasa sesek perutnya. Gafa langsung memeluknya dan ikut menangis di dalam pelukan hangat. Nora berteriak di pundak Gafa memanggil nama sang papa seakan-akan menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini lebih lama lagi.
Jake menguatkan Adik terakhirnya yang sangat terlihat sangat hancur dengan mengusap-usap punggungnya. Diantara 3 bersaudara lainnya Hanniel lah yang sangat dekat Papa, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Papa saat rumah besar yang dihuni di isi cuma mereka berdua saja. Hanniel lah yang menemani Papa berceramah tentang pekerjaannya di kantor walaupun ia tidak mengerti tentang dunia penerbangan dan sebagainya ia tetap mendengarkan curhatan Papa yang sudah lelah berkerja seharian. Dan sekarang ia sudah tidak bisa lagi mendengarkan ceramah Papa lagi. Sepertinya rumah sekarang akan terasa kosong kembali. Tidak terasa sehangat dulu saat semuanya berkumpul untuk makan malam bersama. Kini mungkin ia hanya makan sendirian di meja makan besar.
Sekarang Nora sudah kehilangan 2 sosok figuran orang tua. Bukan, ini bukan mau Nora. Nora hanya mau melihat kedua orang tuanya hidup bahagia di bumi. Ia hanya ingin melihat itu walaupun hanya sekali. Nora sudah tidak tercontrol ia memukul-mukul kepalanya untuk menghilangkan rasa pening dan berisik isi kepalanya. Gafa menahan tangan Nora dan mengelus-ngelus kepala Nora lembut agar ia tidak memukulnya lagi.
“Pusing, ya?”
Nora mengangguk kecil di dalam pelukan. Gafa membawanya untuk duduk di kursi rumah sakit, membukakan tutup botol minum air putih yang ia bawa di mobil tadi untuk Nora. Gafa menadangi botol minum untuknya Nora sudah terlihat cukup berantakan sekarang. Bahkan, matanya sudah menyipit kerena menangis. Ia kembali memeluk Nora, menaruh dagunya di atas kepala Nora mengucapkan kata-kata penenang sampai-sampai gadis itu tertidur di dalam pelukannya.
“Nora, Papa di sini…” panggilnya berdiri di samping perempuan berpakaian putih dan muka cerahnya, itu Bunda.
“Papa sama Bunda kok pakai baju putih? Papa Bunda mau pergi kemana?” tanya Nora kecil yang tidak mengerti.
“Papa sama Bunda mau pergi jauh sekali.” Gibran tersenyum mengandeng tangan Clau sang istri.
“Aku boleh ikut nggak? Aku nggak mau sendirian lagi…”
“Nggak bisa sayang…. Waktu kamu di sana masih panjang. Mimpi-mimpi kamu masih banyak belum terwujudkan,” ucap Clau dengan lembut.
“Kalau aku udah wujudin semua mimpi aku, aku boleh ikut kalian?”
“Boleh…”
“Yess! Kalau gitu aku akan lebih semangat lagi!”
Gibran dan Clau tertawa melihat kobaran api semangat dari netra gadis kecilnya.
“Kami pamit pergi dulu, ya? Boleh kan?”
Nora kecil mengangguk bersemangat.
“Jaga diri baik-baik ya anak Bunda dan Papa…”
“Kami tinggal dulu, sampai jumpa nanti!”
“Sampai jumpa Papa dan Bunda!”
Nora melambaikan tangan kecilnya dengan senyuman yang tidak pernah pudar saat bertemu dengan orang tuanya. Saat melihat bayang-bayang orang tuanya yang hampir hilang, Nora berlari ingin memeluk keduanya tapi ia tidak bisa. Kakinya seperti di membatu tidak bisa bergerak bahkan untuk melangkah sedikitpun. Nora kecil menangis meraung-raung memanggil nama Papa dan Bundanya ia tidak mau ditinggal sendirian lagi.