Pamit
Pagi-pagi sekali Nora sudah terbangun dari tidurnya untuk sekedar berpamitan kepada sang tunangan yang akan pergi meninggalkannya karena pekerjaan. Perempuan dengan pakaian piyama putih dibaluti cardingan pink membuka pintu apart dan mendapati bunga bucket mawar merah yang tergeletak di depan pintunya. Ia segera mengambil bucket bunga yang tergeletak dan membaca surat yang ada di sana.
Dear, Seinora. Selamat atas kesehatanmu. Semoga kamu sehat selalu dan bahagia disepanjang hidupmu, Adik Kecilku. Kenzo.
“Dari siapa?” tanya Gafa yang baru saja menutup pintu apartemen yang sudah mengenakan kemeja putih dengan blazer jas hitam yang mengantung di lengannya.
“Kak Kenzo,” jawab Nora dengan perasaan sedikit takut. Takut Gafa akan mengira dirinya dekat kembali dengan Kenzo.
Gafa membaca surat yang berada di tangan Nora sekilas, kemudian ia merampas bucket bunga dari tangan Nora dan melemparnya ke tong sampah.
“Zaman kaya gini gamon? Mainnya kurang jauh si Kenzo,” sarkas Gafa.
Nora terkekeh mendengar ledekan Gafa untuk Kenzo. Ia kira Gafa akan marah kepadanya karena mengira yang nggak-nggak. Tapi nyatanya ia salah.
“Nanti aku beliin yang lebih bagus dari itu.”
Nora mengangguk pasrah. Sudahlah kalau Gafa sudah cemburu seperti ini lebih baik ia tidak menjawabnya.
“Kok blazernya nggak dipake?”
“Sengaja, biar kamu yang pakein.”
Nora melirik Gafa dari atas sampai bawah sepertinya ada yang kurang dari penampilannya. “Oh iya! Dasi kamu mana ini kok nggak ada.”
“Ini, pakein sekalian hehe…” Gafa mengeluarkan dasi biru dari kantong celana.
Nora menggelengkan kepalanya seraya berdecak sebal. Sepertinya ini gambaran Nora di masa depan di setiap paginya untuk mengurusi pakaian sang suami. Nora menaiki kerah kemeja Gafa dan memakaikannya dasi secara telaten. Sedangkan Gafa menaiki sudut bibirnya memperhatikan wajah serius Nora yang sedang memakaikannya dasi.
“Udah, sini blazer kamu,” pinta Nora mengambil blazer dari lengan Gafa dan memakaikannya sampai ia harus berbalik dari badan Gafa.
“Selesai! Udah ganteng banget ini,” ujar Nora menepuk-nepuk pundak Gafa seraya membersihkan dari debu kecil.
“Makasih, sayang,” ucap Gafa mengacak atas kepala Nora gemas.
“Ayo turun,” ajak Gafa mengenggam tangan Nora.
“Koper kamu dimana?”
“Udah aku masukin bagasi mobil semalem.”
Nora ber-oh ria dan mereka menaiki lift memencet tombol lift paling bawah yang menuju langsung ke parkiran. Tidak ada yang berbicara sampai lift itu bunyi dan membuka pintu. Mereka berjalan berdampingan mencari dimana letak parkiran mobil Gafa.
Gafa menyalakan mesin mobil dari kunci dan memberhentikan langkahnya di belakang mobil.
Kini ia berdiri di depan Nora seraya menaruh tangannya di pundak Nora. “Kamu jaga diri ya? Aku udah telepon suruhan ayah buat jadi bodyguard kamu selama aku nggak ada disamping kamu. Nanti dia dateng buat nganterin kamu kerja.”
“Seriously kamu sampe segininya?” tanya Nora yang tidak menyangka kalau Gafa super protektif kepada dirinya setelah kejadian itu.
“Itu juga demi kamu, Nora,” ucap Gafa menatap netra Nora dalam untuk menyakinkannya.
“Tapi aku sekarang udah gapapa, Gafa. Bahkan dia udah di dalam penjara kan? Kamu nggak perlu sampe segininya buat aku,” ujar Nora yang sedikit emosi.
“Aku cuma takut itu kejadian lagi sama kamu. Aku nggak mau kamu kaya gitu lagi untuk kedua kalinya.”
“Iya aku paham kamu takut aku kaya gitu lagi. Tapi sifat kamu seakan-akan kamu nggak bisa percaya sama aku, kalau aku ini bisa jaga diri aku sendiri,” katanya dengan emosi yang sudah di atas ubun-ubun kepala.
“Aku baru mau pergi buat ninggalin kamu sebulan tapi kamu malah ngajak ribut kaya gini? Kamu sebenarnya ngerti nggak sih seberapa takutnya dan traumanya aku?” ucap Gafa kepancing emosi.
“Iya aku ngerti. Tap—“
Gafa menarik badan kecil Nora ke dalam pelukannya agar tidak melanjutkan pertingkaian kecil ini. “Okay, aku minta maaf. Aku minta maaf kalau sikap aku ini seakan-akan nggak bisa percaya sama kamu, aku minta maaf.”
“Nanti aku suruh dia buat nggak jadi jemput kamu,” sambungnya.
Nora menghela nafasnya berat di dalam sana. “Maafin aku juga udah marah sama kamu…”
“It’s okay.”
“Aku pamit dulu, ya?” pamit Gafa melepaskan pelukan.
Nora mengangguk seraya mendundukan kepala untuk menghapus air mata yang menetes membasahi pipinya.
“Jangan nangis, anak kecil,” katanya dengan kekehan mengacak rambut Nora sampai ia kesal dan memukul pundaknya kencang.
“Jahat!”
“Okay-okay, maaf…” ucap Gafa yang tidak tega melihat Nora menangis dan kembali memeluknya seperti teddy bear.
Setelah puas berpelukan ria. Gafa kembali melepaskan pelukan.
Cuups Kecupan di pipi kanan. “Jaga diri.”
Cuups Kecupan di pipi kiri. “Jangan lupa makan.”
Cuups Kecupan di dahi. “Aku sayang kamu.”
Cuups Kecupan di hidung. “Jangan genit ke cowok lain. Inget kamu punya aku.”
Cuups Kecupan terakhir di bibir. “I love you.”
Hingga kecupan terakhir jantung Nora berkerja dengan sangat cepat. Ia dapat merasakan berapa puluhan kupu-kupu berterbangan di dalam tubuhnya. Mungkin saja sekarang wajah Nora sudah menjadi buah peach.
Nora bergerak berjinjit dan menaruh tangannya di pundak Gafa untuk membalas kecupan manis bibirnya. “I love you too.”
Gafa tersenyum puas dengan sikap agresif Nora yang membalas kecupannya tadi. “Aku pergi dulu.” Gafa berjalan menghadap Nora seraya melambaikan tangan.
“Dadah! Hati-hati dijalan!” seru Nora melambaikan tangan di udara.
Gafa mengangguk kemudian membuka pintu mobil untuk masuk ke dalamnya. Ia menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan perkarangan parkiran apartemen dan juga meninggalkan Nora sendirian di sini.