All I Want is You

Sepertinya malam ini adalah malam yang terindah menurut Gafa, alasannya masih sama seperti yang sebelumnya. Nora adalah salah satu alasan ia bahagia. Tidak bisa ada yang mengalahkan tahta dihati Gafa sampai saat ini, hanya Nora seorang. Jika seseorang bertanya kepadanya ‘Kenapa harus Nora?’ Lantas Gafa menjawab ‘Karena ia adalah Nora. Perempuan yang sangat special yang diberikan kesempatan untuk tinggal bersamanya sampai takdir berkehendak.’

Di bawah sinar rebulan purnama dan suara deru ombak yang berlomba-lomba sampai ke pesisir, disitulah ada sepasang orang sedang jatuh cinta bersandar gurau bagaikan dunia ini seperti milik berdua.

Sang tuan dengan sangat tenang memandangi wajah perempuan yang berada duduk tepat di sebelahnya. “Lagi ngapain? Meditasi?” tanyanya.

“Berdoa,” jawabnya santai dengan mata yang masih tertutup.

“Kenapa tuh berdoa?”

“Berdoa supaya kita semakin deket gimana?”

“Oh gitu, yaudah di Aminin.”

“Semakin deket dalam berteman ‘kan?” candanya tertawa kecil.

“Berteman ya? Nggak dulu deh.” Gafa membalas candaan yang Nora buat.

“Kalau lebih dari temen di Aminin nggak?”

Gafa membersihkan tangannya dari pasir pantai, dan menatap netra cantik berwarna coklat dalam-dalam sampai membuat sang puan mengedipkan matanya berkali-kali.

“Aminin, Amin paling besar itu,” jawab Gafa dengan percaya diri level maksimal.

“Berarti sahabat?”

Gafa tertawa terpaksa, apa yang harus diharapakan dari seorang Nora. “Oh sahabat, yaudah deh boleh,” ujarnya lemas.

Nora tertawa seraya menutup mulutnya dan mengalihkan pandangannya menatap bintang dan bulan malam hari ini begitu cerah, sama seperti malam di taman belakang saat itu.

“Emang kalau lebih dari sahabat dibolehin ya?” tanyanya lagi.

Gafa langsung mengangguk semangat dan berkata. “Boleh! Boleh banget.”

Lagi-lagi Nora dibuat tertawa dengan kelakukan Gafa, sepertinya ia memang benar-benar suka kepadanya.

“Jadi sahabat atau lebih?”

“Lebih dari sahabat.”

“Kalau lebih dari sahabat apa?”

“Apa?” Gafa membalikan pertanyaan.

“Apa coba?”

“Apa ya…?” ucapnya mengantungkqn akhir kalimat.

Nora masih setia menunggu jawaban dari Gafa.

“Jadi teman aja deh,” ujar Gafa dengan nada pasrah.

“Oh, teman aja nih?” ucap Nora kecewa yang sebenarnya mengharapkan lebih.

“Iya, teman hidup tapi.”

Nora tersedak ludahnya sendiri saat mendengar kalimat ‘teman hidup’ dari mulut Gafa. Sehingga, membuat pria yang di sebelahnya tertawa di atas penderitaanya.

“Teman hidup banget nih?”

“Iya, kalau temen mati ‘kan nggak bisa.”

“Temen mati tuh ada bunda, kalau temen hidup ada Elle sama Dextar.”

“Berarti gue nggak dianggap?” protesnya dengan sangat dramatis.

“Ada papa, ada bang Jaw sama Hanniel.” Nora masih melanjutkan kalimatnya, pura-pura tidak mendengar ucapan Gafa tadi.

“Kalau gue apa?” Gafa masih tidak mau menyerah dan berubah tempat duduknya menjadi menghadap Nora.

Nora terkekeh dan menjawab, “Teman hidup juga.”

“Teman hidup?”

“Iya, teman hidup dan mati.”

Gafa yang merasa gemas tidak tertahan memeluk Nora erat mengalahkan pelukan orang yang takut kehilangan. Nora kaget dengan Gafa yang tiba-tiba memeluknya pun ingin membalas pelukannya tapi gengsinya cukup besar. Jadi ia hanya menepuk-nepuk punggung Gafa pelan.

“Sebentar aja,” ucap Gafa menenggelamkan wajahnya di curuk leher jenjang Nora yang ternyata ia masih memakai kalung liontin pemberiannya.

Masih dengan menepuk-nepuk punggung Gafa. “Lama juga boleh.”

Gafa terkekeh dan menyembunyikan wajah salah tingkahnya di curuk leher sebelah kanan, yang dapat membuat sang puan kegelian dan tersenyum.

“Nora,” panggilnya di dalam sadaran pelukan.

Hmm?

“Pacaran yuk.”

“Ayo.”