chlopyvrsie

Tatapan mata Eunice terlihat sangat kosong. Entah apa yang ia pikirkan sekarang, pikirannya sangat kalut. Tidak tahu harus bagaimana lagi meninggalkan orang-orang yang sudah mengisi kehidupannya penuh warna.

Sempat gadis itu berpamitan dengan Sang Papa yang tidak sengaja bertemu sedang duduk dipinggiran jalan tadi. Sakit perih hati Eunice melihat Sang Papa yang terlihat cukup biasa-biasanya saat ia bilang kalau dirinya tidak akan lagi tinggal di sini.

Ia peluk dan usap punggungnya sekilas sebelum benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Tak juga Eunice memberikan sedikit uang untuk pria paruh baya agar tetap bertahan hidup.

Dan kini, dirinya sudah tiba di bandara Soekarno Hatta. Tidak ada yang spesial dari hari ini, hanya ada perasaan sedih yang terus singgah di hatinya. Aksa yang tengah duduk di sebelahnya tertawa gelak yang membuat gadis itu mengernyitkan alisnya bingung.

“Kerasukan lo?” Eunice mendelik sinis ke arah lelaki di sebelahnya.

“Lo ketawa dong! Jangan menyedihkan banget, Ce,” ujar Aksa yang kini sudah berkacak pinggang berdiri di depan Eunice.

Gadis itu mengembuskan nafas kesal. Tak membalas ucapan temannya.

Kaki jenjang Glen datang dari arah selatan dengan membawa 2 gelas merek Starbucks, gadis itu tersenyum melihat kehadiran Glen.

“Nih, matcha latte buat yang terakhir kalinya gue beliin,” ucap Glen dramatis yang membuat Aksa membuat ekspresi ingin muntah.

Gadis itu meraih segelas minuman kesukaannya dengan senyuman merekah dibibirnya. “Thank youuu!” ucapnya seraya menyeruput minuman.

Glen mengangguk lalu ikut menyeruput minuman yang ia beli sama rasa. Aksa melirik Glen tidak suka. “Duh, enak banget, yaaa,” sindirinya halus tersenyum, namun dengan ekspresi mata yang sinis.

Glen dan Eunice tertawa serentak melihat ekspresi Aksa yang sangat menyebalkan. “Nih, mau gak?” tawar gadis itu memberikan minumannya kepada Aksa.

Namun tangan Glen dengan cepat menyela tangan Eunice yang ingin memberikan minumannya. “Punya gue aja nih! Jangan punya Cece.”

Deg!

Eunice merasa adegan ini pernah terjadi sebelumnya saat bersama—Ragaska—dejavu. Gadis itu kembali menyeruput minumannya, melihat ke arah datangnya orang-orang, berharap satu dari mereka adalah orang yang sudah ia tunggu-tunggu kehadirannya.

Suara panggilan untuk melakukan boarding sudah terdengar. Eunice menelan ludahnya kasar dengan netranya yang masih mencari-cari keberadaan lelaki itu gelisah.

Glen mengusap pelan pundak Eunice untuk menenangkannya. “Macet kayaknya Si Ragas, Ce,” ucapnya menenangkan gadis itu.

Eunice mengangguk dengan tundukkan kepalanya dengan perasaan yang cukup campur aduk. Ia tidak bisa menghubungi lelaki itu, karena ia sudah meminta izin kepada Sang Bunda untuk menghancurkan ponsel itu sebelumnya. Kalau ditanya apa alasannya? Eunice hanya ingin pergi dengan tenang—meninggalkan semua rasa yang pernah ada di kota ini.

Pukulan pelan dari pundaknya terasa, Eunice mengalihkan pandangannya kepada empunya. Kemudian teman lelakinya itu menunjuk seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari mereka dengan senyuman manisnya.

Sontak Eunice berdiri dan ingin menghampiri lelaki itu, namun ia menyuruhnya untuk berdiam diri di tempatnya menggunakan isyarat. Eunice menaikkan kedua alisnya seakan bertanya kepada lelaki itu, namun ia hanya tersenyum lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas yang tertulis di sana.

Gua nggak bisa kasih pelukan selamat tinggal, Ce. Nggak apa-apa, kan?

Kata-kata itu yang tertulis di sana membuat hati Eunice sesak. Padahal orang yang ia sangat tunggu kehadirannya tidak mau menghampirinya untuk sekedar kasih peluk perpisahaan. Namun gadis itu bisa apa? Kedatangannya kemari saja Eunice sudah bersyukur, karena ia pikir ternyata masih ada orang yang mau menemaninya di sini.

Kertas itu berganti di depan dadanya, menunjukkan kata-kata selanjutnya.

Kaki gua terlalu berat buat jalan ke arah cewek cantik soalnya.

Eunice terkekeh pelan bersamaan dengan dua lelaki yang berdiri di sampingnya. Ada-ada saja memang Ragaska.

Gua berharap setelah ini kita masih bisa bertemu, agar ada pelukan jumpa, bukan pelukan selamat tinggal.

Gadis itu mengangguk sebagai jawabannya dengan buliran air mata yang sudah mengalir deras.

Ragaska masih tersenyum dengan sorot mata fokus ke arah gadis di depannya, kemudian kembali membalikan kertas selanjutnya.

Jaga diri baik-baik, ya?

Sampai bertemu lagi di titik terbaik menurut takdir.

Gadis itu mengangguk lagi dengan mata yang sudah sembab merah menatap ke arah lelaki itu. Bahunya sudah bergetar hebat karena tangisannya, Glen berusaha menenangkan gadis itu dengan merangkulnya, memberikannya usapan pelan agar tenang.

Ragaska masih saja tersenyum, kemudian ia menaruh kertas-kertas itu dihampitan lengannya. Kedua telunjuk bergerak seraya menunjuk dirinya sendiri, kemudian membuat bentuk hati lalu menunjuk gadis itu. Seakan-akan dari gerakan itu Ragaska mengatakan ‘aku sayang kamu’.

Bibir lelaki itu terlalu keluh untuk mengatakannya sendiri, ia berusaha menggambarkannya dengan gerak tangan. Eunice semakin dibuat menangis pilu dengan lelaki itu, hampir saja ia terjatuh karena kakinya sudah mulai merasa lemas. Untung saja ada Glen yang sudah menahan tubuh gadis itu. Sedangkan lelaki sebelahnya—Aksa—juga meneteskan air matanya tak sadar kalau kepergiaan keduanya cukup sangat menyedihkan.

Melihat Eunice menangis saja hati Ragaska seperti tidak tega. Ingin, ingin sekali ia menghampiri gadis itu lalu memberikannya pelukan penenang. Tapi dirinya ini seakan tidak mau diajak berkerja sama, langkahnya kemari sudah cukup berat, apalagi haru menghampiri gadis itu. Ia tidak bisa.

Diam-diam satu buliran air mata sudah menetes membasahi pipi Ragaska, namun ia tetap menutupinya dengan senyuman manisnya. Sesak rasanya harus berdiri berdiam diri seperti orang bodoh menontoni gadis itu tengah menangis.

Suara pengeras suara kembali mengeluarkan pengumumannya, menyuruh semua orang untuk segera memasuki pesawat. Eunice mempejamkan matanya sejenak lalu mengangguk. Ia rasa sudah waktunya untuk pergi.

Gadis itu tidak terlalu berharap bahwa teman perempuannya itu akan datang, kehadiran Ragaska di sini dan temannya yang saja sudah cukup. Gadis itu mengucapkan pamitan kepada Ragaska tanpa suara, kemudian lelaki itu mengangguk mengizinkannya untuk pergi.

Netra gadis itu menatap kedua teman lelakinya secara bergantian, meminta izin untuk berpamitan lewat kontak mata. Keduanya mengangguk kemudian memeluk tubuh kecil Eunice bersamaan.

“Hati-hati. Main lagi ke sini, gue tunggu,” ujar Aksa mengacak rambut Eunice pelan.

Gadis itu mengangguk lemah kemudian memukul dada Glen pelan. “Pergi dulu,” ucapnya dengan suara seraknya.

Pemuda tinggi itu mengangguk tanpa menjawab, Eunice melambaikan tangan kepada lelaki yang berada jauh di belakang seraya berjalan menarik koper besarnya.

Ragaska masih dengan senyuman lebarnya menatap kepergiaan sang pasang mantan wakilnya dari jauh. Perlahan-lahan bayangan gadis itu hilang bersamaan dengan senyumannya itu. Hatinya terasa sangat kosong ketika gadis itu pergi.

“Cece mana, Ska?! Cece mana anjing!” kata Gizelle menarik kerah baju Ragaska brutal dengan nafas tidak beraturnya, bersamaan dengan Shakila yang berdiri di sebelah gadis itu.

Ragaska tidak menjawabnya melainkan melepaskan tangan Gizelle dari kerah bajunya, berbalik badan pergi meninggalkan teman-temannya. Pemuda itu berlari cepat ke arah jalan keluar dengan semua rasa campur aduk yang ia bawa.

Merasa perginya Ragaska jawaban bahwa temannya itu sudah berangkat. Gizelle mempejamkan matanya pedih bersamaan dengan tetesan air mata, ia menggeram kesal seraya mengacak rambutnya asal.

Shakila yang masih mencerna semuanya duduk di kursi tunggu dengan tatapan kosong. Kedua lelaki itu menghampiri keduanya, menyampaikan kepadanya bahawasanya satu-satu temannya itu sudah berangkat pergi.

Gua nggak bisa kasih pelukan selamat tinggal, Ce. Nggak apa-apa, kan? Kaki gua terlalu berat buat jalan ke arah cewek cantik soalnya. Gua berharap setelah ini kita masih bisa bertemu, agar ada pelukan jumpa, bukan pelukan selamat tinggal. Jaga diri baik-baik, ya? Sampai bertemu lagi di titik terbaik menurut takdir.

Apartemen yang ruangannya cukup luas sekarang sudah di isi ramai teman-temannya berdatangan. Walaupun hanya bisa terhitung jari, namun suasana hati Eunice senang, bahwasanya masih ada orang yang mau mendengarkannya di sini.

Eunice berkacak pinggang memandangi wajah temannya satu persatu dengan tatapan memincing yang sedang duduk di sofa. Bahkan ada yang duduk di bawah (lesehan) sambi memakan pizza yang di pesan oleh Eunice dan Ragaska sebelum ke sini.

“Kenape lu? Mau ngomong apa buru!” ujar Winda dengan nada khas betawinya.

Eunice mengembuskan nafasnya sejenak, kemudian mengambil surat kertas yang terletak di meja dekat TV. Kini ia meletakkannya di depan meja yang terdapat teman-temannya duduk melingkar.

Aksa yang duduk di bawah meraih cepat surat tersebut dan membacanya dengan mata yang terbelalak, seraya dengan mulut yang mengangga, namun Icaal yang duduk di sebelahnya memasuki mulut Aksa dengan potongan pizza kecil.

Semuanya jadi mendekat ke arah Aksa untuk ikut membaca dengan seksama. Setelah selesai mereka semua memasang mata kepada gadis itu, memintanya untuk menjelaskan surat yang tertulis di sini.

“Apa maksudnya nih surat?” cerca Glen menangkat tinggi kertas yang sebelumnya ia rampas dari Aksa.

“Santai aja nada lo.” Ragaska melemparkan kulit kacang ke arah Glen, untung saja kena.

Eunice berdehem cukup lama sebelum menjelaskan, yang membuat Agam berdecak sebal. “Cepet, Cee…” pintanya agar gadis itu cepat menjelaskan.

“Ya… Itu… Emangnya apa? Surat? Pen-pengunduran diri? Hehehe.” Eunice memalsukan tawanya seraya menatap dinding-dinding langit, karena ia terlalu takut menatap pasang mata teman-temannya.

Hembusan nafas kasar terdengar cukup gemuruh. Semuanya berdiam diri berpikir panjang tentang ini, sama dengannya Eunice. Ia berdiri di sini dengan rasa gugupnya.

“Pengantinya? Udah dicari? Kenapa tiba-tiba banget, Ce?” ujar Juna menatap Eunice tidak percaya.

“Gak usah. Gue bisa handle himpunan sendiri,” sahut Ragaska bangkit dari duduknya untuk mendudukkan Eunice di sofa, kemudian ia duduk di sebelahnya.

Glen menatap Ragaska memincing. “Seberapa yakin elo? Nanti himpunan berhenti di tengah jalan siapa yang mau tanggung? Lo? Lo bisa diandelin emang?” ucap Glen menggebu-gebu.

Ragaska sudah mengepalkan tangannya dan beranjak berdiri, namun Eunice bergerak cepat menarik tangan lelaki itu agar tetap duduk kembali, meredakan amarahnya dengan mengusapkan tangannya. Memang akhir-akhir ini Ragaska agak sensitif, apalagi perihal membahas himpunana. Walaupun ia tahu itu sudah jadi pekerjaannya yang ia kerjakan.

“Resikonya gede banget, bro. Sekarang aja kita baru setengah jalan, kan? Kita gak tau kedepannya gimana? Dulu lo naik jadi kahim juga karena bantuan wakahim, gak mungkin lo bisa urus ginian sendirian,” ucap si baju biru, Kevin. “Banyak pertimbangan-pertimbangan yang cukup beresiko, Ska. Nggak selamanya jalan berjalan mulus, ada aja bolongnya kayak kepala Si Aksa!”

“Anjing? Maksud lo?” umpat Aksa kesal memukuli lutut Kevin yang bolong (celananya).

Semuanya tertawa menanggapi candaan Aksa perihal kepala bolongnya Si Aksa. Maksud kepala bolong di sini adalah kepala pitak bolong di tengah-tengah kepala Aksa, kelemahaan itu terus mnjadi bahan ejekan dan olokan. Tetapi Aksa hanya menanggapinya dengan sama bercandanya, ia mengerti jokes anak di sini memang sangat aneh.

“Bisa dipercaya gak, kalo lo bisa jadi ketua sendirian?” tanya Jousha memastikan temannya itu.

“Amaann. Percaya sama gue.”

Seketika suasana menjadi hening kembali, hanya ada suara lagu yang terus perputar dari radio pengeras suara. Eunice menatap satu persatu wajah teman-temannya yang sudah kalut, tidak tahu mau diapakan lagi himpunan tanpa dirinya.

Rasa bersalah terus menghantui dirinya, rasa tidak tega harus meninggalkan teman-teman seperjuangannya, rasa takut melangkah kedepan tanpa teman-temannya. Banyak sekali rasa-rasa yang tidak mengenakan hati Eunice rasakan sekarang. Apalagi teman perempuannya sedang tidak ada di sini, rasa sesaknya berkali-kali lipat lebih besar, bahwa mereka tidak sama sekali tahu tentang dirinya sekarang.

Mungkin dahulu mereka selalu menyediakan telinga untuk mendengarnya, pundak untuknya bersandar sambil bercerita, bahkan candaan lelucon untuk menghiburnya. Tapi kini, semuanya sudah berubah.

“Ce, yakin? Mau… Ninggalin kita… semua?” ujar Travis dengan pasang wajah ekspresif bersedih.

Sontak Eunice menatap Travis dengan buliran air mata yang sudah mengalir deras di sana. Menyadari akan hal itu cepat-cepat ia menghapus air mata tersebut dan menetralkan tenggorokannya dengan berdeham.

“Gue yakin,” jawabnya penuh dengan percaya diri, semuanya langsung menatapnya dengan tatapan sedu. “Karna mungkin tugas gue di sini cuman bantu kalian di setengah jalan. Tapi apa yang buat gue yakin ninggalin kalian sekarang adalah, karna kalian udah punya pikiran yang dewasa dan mau sama-sama mikirin tentang ini. Lagipula Ragas kinerjanya cukup bagus kok buat kerja sendirian, bahkan waktu itu dia bisa aja naik sendirian di himpunan tanpa gue…” sambungnya.

“Gue kalo bukan karena ada lo juga nggak bakal bisa berdiri sejauh ini sama yang lain, Ce,” ucap Ragaska dalam mengambil tangan Eunice dan meletakkannya di atas telapak tangannya, kemudian mengenggamnya erat.

“Kapan lo berangkat ke Surabaya-nya?” tanya Rewaksa yang duduk disudut ruangan.

Eunice terkekeh sambil mengambil tisu yang berada di depannya yang awalnya telah dioper oleh Aksa. “Besok sore.”

“H-hahh? B-besok banget?” sentak Icaal terkejut.

Eunice membalasnya dengan anggukan kemudian tersenyum sembari menghapus air matanya menggunakan tisu.

“Ini yang lain belum tahu? Baru kita-kita aja?” Glen bertanya.

Ragaska mengangguk. “Iya, tuh…”

“Jangan kasih tahu dulu, deh. Khususnya Giz sama Shakila, jangan! Nanti aja pas gue udah berangkat baru kalian kasih tahu.”

“Lo gak mau kasih tahu sendiri?“

“Gak,” balasnya ketus.

“Okey…”

Travis menghela nafasnya seraya bangkit dari tempat duduknya, kemudian memasang wajah ceriah untuk menghibur teman-temannya. “Foto deh ayo! Udah lama kita nggak foto bareng,” usul lelaki itu di hadapan teman-temannya.

Semuanya mengangguk setuju kemudian memasang wajah ceriah tersenyum, walaupun terpaksa untuk menghasilkan foto yang bagus untuk terakhir kalinya bersama Eunice.

Tak berangsur lama setelah Rizky Febian tampil acara Arcade Musik Festival resmi selesai. Semua koordinator acara diminta untuk berkumpul ke dalam belakang panggung untuk melakukan pengarahan.

Eunice dan Ragaska berjalan bersama memasuki belakang panggung. Semua wajah anggotanya terlihat sangat senang, namun juga terlihat sangat lelah dengan mata sayu dan keringat yang bercucuran.

Selagi menunggu beberapa koordinator yang belum sampai, Ragaska menghampir Gibran dengan senyuman lebar melakukan first bump kemudian berpelukan layaknya sesama lelaki. “Keren! Keren, Pak Gibran!” serunya menepuk punggung koordinator acara itu.

Gibran membalas senyuman sama lebarnya dan menepuk pundak Ragaska. “Lo juga, thanks, ya, Ska! Kalo bukan karna bantuan lo sama anak-anak juga nggak bakal seberhasil ini acaranya,” katanya terharu.

Ragaska memasang ekspresi sedih samanya dengan Gibran kemudian terkekeh meledek. “Udah selesai, Gib! Tinggal lo healing aja ke Bali sana!” canda Ragaska.

“Skripsi anjing! Healing! Healing!“ umpat Gibran memukul lengan Ragaska kasar sampai membuatnya meringis. Keduanya tertawa bahagia meninggalkan Eunice yang sedang duduk di samping Mahes yang enggan untuk berbicara dengannya.

Dengan segala keberanian yang terkumpul di dirinya, Eunice mendekatkan diri dengan Mahes. “Yang lain pada kemana?” tanyanya berbisik.

Mahes yang merasa terganggu sedikit menjauhkan diri dengan Eunice seraya mengangkat kedua bahunya tanpa berkata apapun. Eunice mengembuskan nafasnya pasrah kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku jaket, kemudian betapa matanya terbelalak ketika melihat notifikasi dari pengingat yang tertulis ‘Happy birthday, Eunice! Let’s make some goals in this years!

Satu yang terlintas di dalam otaknya sekarang adalah, ia melupakan hari ulang tahunnya karena terlalu sibuk dengan kerjaan. Matanya memanas bak sudah memerah karena ia sekuat mungkin menahannya agar tidak terlihat oleh teman-temannya. Eunice mengambil nafasnya pelan seraya menetralkan perih di dalam hatinya.

Suara orang yang sedang berkumpul tawa canda yang menggelegar mereka terdengar sampai ke dalam tenda. Eunice dapat mengetahui siapa pemilik suara tawa itu yang sedang merayakan hari ulang tahun—yang ia sendiri tidak menyangka—Helenna—hari ini sedang berulang tahun juga.

Mereka berdiri di depan tenda yang sedikit terbuka, Eunice dapat melihat mereka sedang bernyanyi lagu selamat ulang tahun untuk Helenna dengan sebuah kue mewah nan indah di tangan Shakila. Mereka bertiga menarik atensi orang-orang yang sedang di dalam tenda keluar, melihat apa yang terjadi di luar sana dan ikut bergabung merayakan ulang tahun Helenna.

HAPPY BIRTHDAYYY, HELENNA CANTIKK!” serunya yang berada di luar sana.

Diam-diam Eunice menelan ludahnya kasar seraya meneteskan air matanya pedih. Gadis itu meremas kemaja abu-abunya kencang untuk melampiaskan amarahnya. Sesak di dadanya tidak dapat tertahan, bibir Eunice sudah bergetar karena menahan tangis, air mata sudah mengalir deras membasahi pipinya. Ia berusaha menangis tanpa suara namun…

“Ce? Kenapa? Lo sakit?” Ragaska menghampirinya dengan bersimpuh di depan Eunice yang pundaknya sudah bergetar hebat.

Eunice menggeleng lemah seraya menyeka air matanya yang hampir membasah ID CARD pengenal dirinya. Ragaska sekilas melirik di luar tenda yang sedang ribut-ribut, kemudian ia mengangguk.

Seakan paham apa yang Eunice rasakan, Ragaska menarik Eunice ke dalam dekapannya seraya mengelus sorai panjang gadis itu untuk menenangkannya.

Tangisan Eunice tak berlangsung bersuara karena ia masih menahannya. Ia tidak mau orang-orang tahu kalau dirinya menangis, apalagi teman-temannya yang sedang merayakan ulang tahun Helenna di depan sana.

Eunice menenggelamkan wajahnya di dalam curuk leher Ragaska dengan tangan yang meremas kencang baju lelaki itu. Kesal, marah, sedih, lelah, ingin menghilang selamanya, itu yang Eunice rasakan sekarang.

Ragaska masih berusaha menenangkan Eunice dengan membisikkan kata-kata penenang. Tak juga banyak temannya yang bertanya ada apa dengan gadis itu, namun Ragaska menjawabnya dengan gelenggan kepala, seakan mengisyaratkannya untuk diam saja.

“Gapapa, masih ada gue? Kita temen, kan? Gapapa, Ce,” ujar Ragaska seraya menyeka air mata Eunice.

“Mau pulang…” lirih Eunice kemudian dibalas anggukan kepala oleh Ragaska.

Pemuda itu mendorong sedikit tubuh kecil Eunice yang masih bergetar. Perlahan ia menghapus jejak air mata di bawah mata gadis itu kemudian tersenyum, seakan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

“Ambil barang dulu, barang lo di mana? Nanti gue ambilin.” Ragaska bangkit lebih dulu dari sofa.

“Bareng aja,” katanya ikut bangkit dari sofa.

Ragaska mengangguk kemudian mengandeng tangan Eunice, membawanya menghampir Gibran yang sedang mengecek beberapa lembar kerja di sana. “Gue balik duluan deh, Gib. Kasihan udah malem, mau istirahat,” ujar Ragaska menepuk kertas di tangan Gibran untuk mengalihkan fokusnya.

Gibran mengangguk paham kemudian melirik gadis yang berdiri di samping Ragaska dengan mata sembabnya, kemudian tersenyum. “Iya, gapapa pulang aja duluan, kasihan. Tapi sayang banget dong, lo berdua gak ikut makan-makan? Rencana kita habis ini mau makan-makan liwetan.”

“Gapapa, deh, skip dulu. Next time aja, hahaha.”

Gibran mengangguk paham kemudian mengusap lengan Eunice pelan untuk menenangkannya. “Istirahat yang banyak, Ce! Liat tuh pucet banget lo!”

Eunice terkekeh kemudian mengangguk lemah. Ia sudah tidak ada energi untuk mengucapkan kata-kata dari bibirnya.

“Yaudah, balik, yee!” pamit Ragaska sebelum pergi meninggalkan pekarangan belakang panggung, keluar dari arah yang berlawanan dari yang sebelumnya sudah ada Gizelle, Shakila, Helenna, dan beberapa orang di sana senang sorak canda tawa.


Tiba di dalam perjalanan pulang. Tidak ada obrolan diselama perjalanan pulang itu berlangsung, hanya saja tangan kiri Ragaska yang mengusap alis Eunice yang sudah terlelap tidur di sebelahnya, dan tangan kanannya yang memegang stir mobil.

Netra Ragaska mencari-cari toko kue yang masih buka di jam 23.12 WIB, bayangkan seberapa gila dirinya mengintari daerah Jakarta Selatan untuk sekedar mencari toko kue. Untung saja Eunice masih terlelap dengan damai di sampingnya, jadi ia masih bisa mengitari daerah ini untuk mencari kue.

Hampir menyerah namun tak ingin membuat gadis itu menangis pilu. Ragaska mengembuskan nafasnya kasar menginjak pedal rem mobilnya, kemudian turun dari mobil menghampiri nenek-nenek yang masih berjualan kue kering di pinggir jalan.

“Nek, kuenya masih ada?” tanya Ragaska ramah dan dibalas senyuman penuh senang oleh nenek itu, dikarenakan pelanggan yang akhirnya menghampiri dirinya setelah berjualan dari pagi tiada yang membeli dagangannya.

“Masih, masih… Mau beli berapa, Den?” ujarnya mengeluarkan plastik bersiap melayaninya.

“Bolu kukusnya 2 aja, Nek.” Ragaska menunjuk kue bolu yang terlihat sangat mengiurkan hasrat laparnya.

Nenek itu mengangguk kemudian mengambilkan kue kukus untuknya, kemudian memberikannya kepada Ragaska. “Ini, Den. 5 ribu rupiah aja.”

Ragaska sempat terkejut ketika nenek itu mengucapkan bahwa harga dari yang ia beli hanya 5 ribu, yang bisa terbilang cukup sangat murah. Karena Ragaska mempunyai rasa simpati kemanusiaan yang tinggi, ia mengelurkan beberapa lembaran uang merah kemudian mengasihkannya kepada nenek itu dengan gulungan tangan.

Nenek itu sempat terkejut ketika ia membuka kepalan tangannya, menatap pemuda di hadapannya tidak percaya. “Kebanyakan atuh, Den! 5 ribu aja, kan, saya bilang!” omelnya seraya mengembalikan duit lembaran itu kepada Ragaska, namun cepat-cepat Ragaska menyembunyikan tanggany di balik punggungnya agar nenek itu tidak bisa meraih tangannya.

“Gapapa, Nek. Buat Nenek aja terima. Asal doain cewek saya, soalnya dia lagi ulang tahun hari ini!” Ragaska tersenyum bangga menyebut Eunice dengan ‘cewek saya’.

“Oalah… Aaminn, semoga ceweknya Den, sehat selalu, bahagia selalu, dimurahkan rezekinya, senyumannya tidak pernah luntur!”

“Aaaminnnn!”

Mereka tertawa bersama sebelum akhirnya Ragaska perpamitan untuk kembali ke dalam mobil, dan nenek tersebut mengiyakannya, mempersilakannya untuk kembali.

Ragaska memasuki mobilnya yang sengaja tidak ia matikan agar Eunice tidak kegerahan dan terbangun. Namun ternyata gadis itu sudah terbangun dengan sedikit kesadarannya yang belum setengahnya kembali.

Ragaska terkekeh pelan kemudian mencari-cari lilin lampu yang dulu ia belikan untuk Shakila karena kelebihan, beli 2 gratis 1 yasudah lelaki itu beli, siapa tahu perlu. Dan ternyata sangat diperlukan di situasi sekarang.

“Cari apa, sih?” tanya Eunice dengan nada sewot soalnya Ragaska mencarinya dengan sangat gegabah.

“Cari barang… Mana, ya, Ce?“ Tangan Ragaska membuka semua dashboard serta mencarinya sampai ke kursi belakang, dan ternyata ia menemukannya di tempat belakang kursinya.

Perlahan ia mengeluarkan bolu kukus yang tadi sudah ia beli, kemudian menusukan lilin angka 2, ya, hanya angka 2 yang ia dapatkan itu. Lalu tangannya mengeluarkan pematik dari saku celananya, menyalakannya di depan wajah Eunice.

Eunice yang masih tidak mengerti dengan apa yang lelaki di hadapannya itu lakukan, hanya berdiam diri bersandaran dengan jok kursi menghadap kepadanya miring, seraya melipatkan tangan di depan dadanya.

Setelah lilin berhasil dinyalakan Ragaska tersenyum lebar yang menampilkan deretan gigi rapihnya, mempersilakan Eunice untuk meniupkan lilin.

Happy birthday, Cece! Happy birthday, Cece! Happy birthday! Happy birthday! Happy birthday, Cece!” seru Ragaska menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk gadis itu dengan semangat.

Eunice tertawa gelak sampai-sampai ia memegangi bawah perutnya yang sakit karena tawanya yang cukup berlebihan. Ragaska ikut tertawa bahagia bersamanya malam hari itu.

“Ayo, make a wish dulu!” ujar pemuda itu menatap Eunice teduh.

Gadis itu mengangguk semangat kemudian mulai mempejamkan matanya seraya menggenggam kedua tangannya, berdoa meminta di hari ulang tahunnya dalam diam.

Ragaksa tersenyum menatap gadis di hadapannya yang sangat bahagia, padahal ia hanya memberikannya kue kukus kecil seadanya karena sudah tidak ada lagi toko kue yang buka malam hari ini. Tangan lelaki itu bergerak merapikan helaian rambut Eunice yang menganggunya ke belakang.

“Udah!” serunya membukakan matanya berbinar-binar menatap kue kukus yang ada di hadapanya.

“Ayo tiup!”

Eunice mengangguk kemudian meniupkan lilin itu pelan hingga api yang menyala sudah padam sempurna. Keduanya bertepuk tangan meriah diiringi gelak tawa yang cukup receh.

“Makasih, ya?” ucapnya lirih menatao Ragaska lamat-lamat.

Pemuda itu mengangguk dengan tangan yang bergerak mengusap pelan pipi Eunice, kemudian mencubitnya pelan. “Jangan nangis-nangis mulu! Bahagia terus, ketawa terus! Jangan lupa soal makan, lo tuh suka banget lupa makan, Ce!” omelnya seperti bapak yang mengomeli anaknya.

Entah sudah berapa banyak kupu-kupu yang bertebrangan di dalam tubuhnya, Eunice hanya menjawabnya dengan senyuman teduh memegang tangan Ragaska yang masih setia memegang pipinya.

“Selamat ulang tahun sekali lagi.”

Hari demi hari kini sudah berlalu. Acara Arcade Musik Festival sudah dimulai, Ragaska selaku sebagai kepala ketua yang ikut turun tangan, memberikan semangat kepada anak anggotanya yang ia temui di jalan saat memantau keadaan. Entah itu berupa tepukan semangat atau kata-kata yang membangun, bahwa hari ini adalah hari selangkah demi kemenangan mereka.

Area base stage ternyata dijaga cukup ketat oleh keamanan yang dijaga oleh Icaal, Dirma dan anak-anak lainnya yang ikut serta membantu, seperti Glen.

Ragaska di belakang panggung bersama Eunice memantau keadaan, dan kebetulan saja saat itu ada Gizelle yang sedang bersiap untuk naik ke atas panggung. Gadis itu ditemani Sang Papi bersama dengan adiknya, dan juga Shakila dan—Helenna—yang entah dari mana ia bisa berada di sini.

“Ayo, semangat!” ujar pria paruh baya menyemangati anaknya kemudian mereka berpelukan.

Gizelle menjawabnya dengan anggukan kepala percaya diri, kemudian ia beralih memeluk adik lelakinya dan dilanjut oleh Glen, Shakila dan Helenna.

Ragaska mengernyitkan alisnya bingung, kenapa Gizelle nggak ikut memeluk Eunice yang jaraknya tidak terlalu jauh darinya? Bahkan ia bisa melihat keberadaan gadis itu di sini. Berdiri di sampingnya.

Eunice tersenyum getir melihat adegan itu di depan matanya, hingga ia tidak menyadari bahwa buliran air mata sudah membasahi pipi merahnya. Sontak mereka sempat pasang mata seperkian detik, Eunice memberinya semangat lewat kontak mata, namun gadis itu langsung bergerak cepat mengalihkan pandangannya yang membuat dada Eunice terasa sangat sesak. Gue ada salah apa, ya, sama mereka? Batinnya berucap.

“Aku naik, ya?” katanya menatap orang-orang di lingkarannya kemudian dibalas anggukan seraya mengizinkannya.

Ketika Gizelle hendak menaiki panggung ditemani oleh Glen yang merangkul pundaknya agar tidak terjatuh, seraya memegang senter lampu yang menerangi tangga ke atas panggung yang cukup gelap. Eunice berteriak. “SEMANGATTT, GIZELLE!!” serunya membuat tangan seperti toa agar Gizelle mendengarnya yang membuat pasang mata di ruangan itu melihat ke arah dirinya.

Ragaska terkekeh mendengar pekikan Eunice, lalu ikut memberikan Gizelle semangat dengan mengepalkan tangannya dan tersenyum tulus. Gizelle menoleh lalu hanya membalasnya dengan senyuman paksaan, kemudian kembali menaiki panggung bersama Glen.

Menyadari bahu Eunice yang sudah bergetar lemah, Ragaska merangkulnya dari samping, memberikannya tepukan pelan agar sang gadis tenang.

“Gizelle pasti bisa, kan?” tanyanya berbisik dengan suara yang lirih serak.

Ragaska mengangguk lemah tanpa melihat ke arah gadis itu. “Bisa, kan, dia udah disemangatin sama lo.” Eunice tertawa miris.

“Ayo, nonton Gizelle di lapangan aja,” ajak Ragaska mengandeng tangan Eunice keluar dari belakang panggung.

Suasana di luar lapang ternyata sangat ramai lautan manusia. Tiket yang terjual berhasil terjual habis dalam kurun 3 hari yang membuat seluruh anggota ditemani senyum bangga, walaupun raganya sudah lelah hari ini.

Acara ini bisa dibilang berlangsung berhasil 95%, ia tidak bia bilang 100% berhasil karena kita tidak tahu apa yang terjadi nantinya setelah acara ini selesai.

Tema yang diambil dari acara ini adalah bertujuk ‘Be my lover or you’re ready to be mine’. Ragaska tidak melepaskan genggaman tangan Eunice hingga mereka berhasil memasuki area lapangan untuk menonton Gizelle yang sedari tadi sudah bernyanyi di atas sana.

Ragaska mencari tempat di tengah-tengah lapangan, agar jarak pandang dari panggung dapat terlihat walaupun tidak sejelas di depan sana. Suasana sempat berlangsung ricuh dan dorong-dorongan, Ragaksa yang tidak ingin tubuh kecil Eunice terombang-ambing, segera memasang badan untuknya dari belakang.

Eunice menoleh sekilas ke belakang dan pasang mata mereka bertemu. Ragaska sempat terpaku selama beberapa detik kemudian orang yang mendorongnya di belakang membuatnya sadar, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Eunice terkekeh pelan kemudian kembali menonton temannya itu yang sedang mengebrak panggung habis-habisan.

Selang beberapa waktu berbagai penyanyi musisi Indonesia telah tampil di sana, namun yang ia dan Eunice tunggu belum juga muncul batang hidungnya di atas panggung. Rasa kantuk yang terus menyerangnya membuat dirinya beberapa kali menguapkan nafas kantuknya.

Pemuda itu yang sudah tidak bisa menahan kantuk beratnya, menaruhkan kepalanya di pundak kecil Eunice seraya mempejamkan matanya sejenak. Eunice sempat tersontak kaget, namun ia cepat menyadari akan hal itu membiarkan TEMANnya itu beristirahat di pundaknya.

Nafas panas menyentuh dinding-dinding leher Eunice yang membuatnya sempat bergelitik geli, namun ia menahannya agar Ragaska tidak terganggu olehnya.

“Ini Rizky Febian jam berapa, sih?” tanyanya sendiri seraya melipatkan tangannya di depan dada.

“Habis ini,” jawabnya dengan nada lemah.

Eunice melirik Ragaska dari sudut matanya kemudian menganggukan kepalanya pelan. Tidak ada obrolan dari mereka, Eunice yang terlalu asyik menikmati acaranya dan Ragaska yang sibuk mencari tempat ternyamannya untuk terlelap di pundak Eunice.

“Lo tidur, Gas?” tanya Eunice memastikan temannya itu.

Ragaska menggeleng lemah di pundak Eunice. “Nggak. Mau meremin mata bentar, lo risih gak?”

“Nggak. Tidur aja,” ujarnya menahan senyuman yang sudah ingin terukir.

Acara masih terus berlanjut sampai tengah malam. Orang-orang yang masih setia menonton acara ini hingga selesai ternyata banyak sekali, hingga membuat gadis itu penasaran mencari-cari temannya.

Dengan Eunice yang netranya sibuk mengedarkan pandangan ke banyak arah untuk mencari temannya. Ada Ragaska yang sedang menatap setiap rinci inci wajah cantik Eunice dari bawahnya. Sempat ia tertegun menatap gadis itu hingga tak sadar bahwa dirinya menggungam, “Cantik.”

“Hahhh? Lo ngomong apa, Gas?” tanya Eunice sedikit berteriak karena suara musik yang cukup keras hingga membuat pendengarannya tidak terlalu jelas.

“H-hah? N-nggak. Gue gak ngomong apa-apa,” katanya kembali mempejamkan matanya.

Eunice mengangguk seraya lagi-lagi menahan senyumnnya. Sebenarnya ia mendengar apa yang Ragaska tadi ucapkan, hanya saja ia ingin memastikkannya kembali. Dia saja mengucapkan kata itu tepat di samping telingganya, agak tidak masuk akal jika tidak terdengar oleh sang puan.

“Gas, kalo lo nge-handle sendiri himpunan bisa gak?” ucap gadis itu tiba-tiba yang membuat kesadaran Ragaska kembali dan membenarkan posisinya bangkit dari pundak Eunice.

“Tergantung situasi, emangnya kenapa?” tanyanya balik seraya menaikkan satu alisnya bingung.

“Gue mau pamit.”

“Pamit gimana?”

“Ya, pamit? Pamit undurin diri?”

Deg!

Hati Ragaska terasa sangat kosong saat Eunice mengucapkan kata ‘pamit’. Namun ia berusaha untuk menetralkan tenggorokannya agar suaranya tidak bergetar.

“Kenapa? Apa alasannya?” ucap Ragaska seakan minta Eunice menjabarkan semua alasannya yang ingin mengundurkan diri.

“Ada yang perlu gue perbaiki,” jawabnya santai. Berbeda dengan Ragaska yang bola matanya sudah bergetar panik.

“Lo mau kemana, Ce?”

“Ke Surabaya.”

Hening seketika atmosfer terasa begitu canggung. Kedua pemuda itu sibuk tenggelam dengan pikirannya masing-masing, hingga tak menyadari suasana di lapangan kembali ricuh berlarian ke arah depan lapangan, karena penyanyi yang suda ditunggu-tunggu akhirnya naik ke atas panggung.

Ragaska memeluk Eunice menggunakan tangan kanan, membawanya agar aman disisinya. Eunice mengembuskan nafas kasar mendelik sinis ke arah orang-orang yang mendorongnya kasar.

“Nanti lagi kita omongin,” ucap Ragaska dingin.

Eunice menjadi merasa bersalah akan dirinya yang seenak jidat meminta untuk mengundurkan diri, setelah ia dan teman seperjuangannya itu merancang semua organisasinya agar berjalan dengan baik dari awal hingga akhir.

Masih dengan memeluk Eunice dengan tangan kanannya, kini tangan kirinya Ragaska ikut bergerak memeluk pundak Eunice. Gadis itu menahan nafas ketika tangan besar Ragaska melingkar di depan wajahnya, berusaha untuk tidak menahan kesalah tingkahannya dengan mengikuti lirik yang Rizky Febian itu lantunkan.

“Kau s’lalu ada, buatku tertawa dan lupakan lara.” Gadis itu mengikuti lirik yang ia nyanyikan dengan penuh menghayatan agar sampai kepada sang empunya yang berada di belakang.

Ragaska tersenyum kemudian menaruh dagunya di atas pucuk kepala Eunice, seraya bersandaran di sana.

“Tak tahu bagaimana aku tanpa dirimu, tak pernah terbayangkann!” seru Ragaska bernyanyi penuh penekanan yang membuat Eunice tertawa, dan ia mengerti akan maksud itu.

Tak tahu bagaimana Aku tanpa dirimu Tak pernah terbayangkan Sepi merindu Kumohon padamu Tetaplah kau di sampingku

Keduanya bernyanyi bersama dan berpelukan ke kanan dan kiri, tertawa bahagia seakan-akan dunia hanyalah milik berdua. Tetapi mereka lupa, bahwa hal yang seperti sekarang tidak akan pernah terulang kembali nanti.

“Ce, jangan pernah lupain gue, ya?”

Gadis itu pun menjawabnya dengan anggukan bersemangat tanpa mengucapkan balasan darinya.

Hari demi hari kini sudah berlalu. Acara Arcade Musik Festival sudah dimulai, Ragaska selaku sebagai kepala ketua yang ikut turun tangan, memberikan semangat kepada anak anggotanya yang ia temui di jalan saat memantau keadaan. Entah itu berupa tepukan semangat atau kata-kata yang membangun, bahwa hari ini adalah hari selangkah demi kemenangan mereka.

Area base stage ternyata dijaga cukup ketat oleh keamanan yang dijaga oleh Icaal, Dirma dan anak-anak lainnya yang ikut serta membantu, seperti Glen.

Ragaska di belakang panggung bersama Eunice memantau keadaan, dan kebetulan saja saat itu ada Gizelle yang sedang bersiap untuk naik ke atas panggung. Gadis itu ditemani Sang Papi bersama dengan adiknya, dan juga Shakila dan—Helenna—yang entah dari mana ia bisa berada di sini.

“Ayo, semangat!” ujar pria paruh baya menyemangati anaknya kemudian mereka berpelukan.

Gizelle menjawabnya dengan anggukan kepala percaya diri, kemudian ia beralih memeluk adik lelakinya dan dilanjut oleh Glen, Shakila dan Helenna.

Ragaska mengernyitkan alisnya bingung, kenapa Gizelle nggak ikut memeluk Eunice yang jaraknya tidak terlalu jauh darinya?Bahkan ia bisa melihat keberadaan gadis itu di sini. Berdiri di sampingnya.

Eunice tersenyum getir melihat adegan itu di depan matanya, hingga ia tidak menyadari bahwa buliran air mata sudah membasahi pipi merahnya. Sontak mereka sempat pasang mata seperkian detik, Eunice memberinya semangat lewat kontak mata, namun gadis itu langsung bergerak cepat mengalihkan pandangannya yang membuat dada Eunice terasa sangat sesak. *Gue ada salah apa, ya, sama mereka?” Batinnya berucap.

“Aku naik, ya?” katanya menatap orang-orang di lingkarannya kemudian dibalas anggukan seraya mengizinkannya.

Ketika Gizelle hendak menaiki panggung ditemani oleh Glen yang merangkul pundaknya agar tidak terjatuh, seraya memegang senter lampu yang menerangi tangga ke atas panggung yang cukup gelap. Eunice berteriak. “SEMANGATTT, GIZELLE!!” serunya membuat tangan seperti toa agar Gizelle mendengarnya yang membuat pasang mata di ruangan itu melihat ke arah dirinya.

Ragaska terkekeh mendengar pekikan Eunice, lalu ikut memberikan Gizelle semangat dengan mengepalkan tangannya dan tersenyum tulus. Gizelle menoleh lalu hanya membalasnya dengan senyuman paksaan, kemudian kembali menaiki panggung bersama Glen.

Menyadari bahu Eunice yang sudah bergetar lemah, Ragaska merangkulnya dari samping, memberikannya tepukan pelan agar sang gadis tenang.

“Gizelle pasti bisa, kan?” tanyanya berbisik dengan suara yang lirih serak.

Ragaska mengangguk lemah tanpa melihat ke arah gadis itu. “Bisa, kan, dia udah disemangatin sama lo.” Eunice tertawa miris.

“Ayo, nonton Gizelle di lapangan aja,” ajak Ragaska mengandeng tangan Eunice keluar dari belakang panggung.

Suasana di luar lapang ternyata sangat ramai lautan manusia. Tiket yang terjual berhasil terjual habis dalam kurun 3 hari yang membuat seluruh anggota ditemani senyum bangga, walaupun raganya sudah lelah hari ini.

Acara ini bisa dibilang berlangsung berhasil 95%, ia tidak bia bilang 100% berhasil karena kita tidak tahu apa yang terjadi nantinya setelah acara ini selesai.

Tema yang diambil dari acara ini adalah bertujuk ‘Be my lover or you’re ready to be mine’. Ragaska tidak melepaskan genggaman tangan Eunice hingga mereka berhasil memasuki area lapangan untuk menonton Gizelle yang sedari tadi sudah bernyanyi di atas sana.

Ragaska mencari tempat di tengah-tengah lapangan, agar jarak pandang dari panggung dapat terlihat walaupun tidak sejelas di depan sana. Suasana sempat berlangsung ricuh dan dorong-dorongan, Ragaksa yang tidak ingin tubuh kecil Eunice terombang-ambing, segera memasang badan untuknya dari belakang.

Eunice menoleh sekilas ke belakang dan pasang mata mereka bertemu. Ragaska sempat terpaku selama beberapa detik kemudian orang yang mendorongnya di belakang membuatnya sadar, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Eunice terkekeh pelan kemudian kembali menonton temannya itu yang sedang mengebrak panggung habis-habisan.

Selang beberapa waktu berbagai penyanyi musisi Indonesia telah tampil di sana, namun yang ia dan Eunice tunggu belum juga muncul batang hidungnya di atas panggung. Rasa kantuk yang terus menyerangnya membuat dirinya beberapa kali menguapkan nafas kantuknya.

Pemuda itu yang sudah tidak bisa menahan kantuk beratnya, menaruhkan kepalanya di pundak kecil Eunice seraya mempejamkan matanya sejenak. Eunice sempat tersontak kaget, namun ia cepat menyadari akan hal itu membiarkan TEMANnya itu beristirahat di pundaknya.

Nafas panas menyentuh dinding-dinding leher Eunice yang membuatnya sempat bergelitik geli, namun ia menahannya agar Ragaska tidak terganggu olehnya.

“Ini Rizky Febian jam berapa, sih?” tanyanya sendiri seraya melipatkan tangannya di depan dada.

“Habis ini,” jawabnya dengan nada lemah.

Eunice melirik Ragaska dari sudut matanya kemudian menganggukan kepalanya pelan. Tidak ada obrolan dari mereka, Eunice yang terlalu asyik menikmati acaranya dan Ragaska yang sibuk mencari tempat ternyamannya untuk terlelap di pundak Eunice.

“Lo tidur, Gas?” tanya Eunice memastikan temannya itu.

Ragaska menggeleng lemah di pundak Eunice. “Nggak. Mau meremin mata bentar, lo risih gak?”

“Nggak. Tidur aja,” ujarnya menahan senyuman yang sudah ingin terukir.

Acara masih terus berlanjut sampai tengah malam. Orang-orang yang masih setia menonton acara ini hingga selesai ternyata banyak sekali, hingga membuat gadis itu penasaran mencari-cari temannya.

Dengan Eunice yang netranya sibuk mengedarkan pandangan ke banyak arah untuk mencari temannya. Ada Ragaska yang sedang menatap setiap rinci inci wajah cantik Eunice dari bawahnya. Sempat ia tertegun menatap gadis itu hingga tak sadar bahwa dirinya menggungam, “Cantik.”

“Hahhh? Lo ngomong apa, Gas?” tanya Eunice sedikit berteriak karena suara musik yang cukup keras hingga membuat pendengarannya tidak terlalu jelas.

“H-hah? N-nggak. Gue gak ngomong apa-apa,” katanya kembali mempejamkan matanya.

Eunice mengangguk seraya lagi-lagi menahan senyumnnya. Sebenarnya ia mendengar apa yang Ragaska tadi ucapkan, hanya saja ia ingin memastikkannya kembali. Dia saja mengucapkan kata itu tepat di samping telingganya, agak tidak masuk akal jika tidak terdengar oleh sang puan.

“Gas, kalo lo nge-handle sendiri himpunan bisa gak?” ucap gadis itu tiba-tiba yang membuat kesadaran Ragaska kembali dan membenarkan posisinya bangkit dari pundak Eunice.

“Tergantung situasi, emangnya kenapa?” tanyanya balik seraya menaikkan satu alisnya bingung.

“Gue mau pamit.”

“Pamit gimana?”

“Ya, pamit? Pamit undurin diri?”

Deg!

Hati Ragaska terasa sangat kosong saat Eunice mengucapkan kata ‘pamit’. Namun ia berusaha untuk menetralkan tenggorokannya agar suaranya tidak bergetar.

“Kenapa? Apa alasannya?” ucap Ragaska seakan minta Eunice menjabarkan semua alasannya yang ingin mengundurkan diri.

“Ada yang perlu gue perbaiki,” jawabnya santai. Berbeda dengan Ragaska yang bola matanya sudah bergetar panik.

“Lo mau kemana, Ce?”

“Ke Surabaya.”

Hening seketika atmosfer terasa begitu canggung. Kedua pemuda itu sibuk tenggelam dengan pikirannya masing-masing, hingga tak menyadari suasana di lapangan kembali ricuh berlarian ke arah depan lapangan, karena penyanyi yang suda ditunggu-tunggu akhirnya naik ke atas panggung.

Ragaska memeluk Eunice menggunakan tangan kanan, membawanya agar aman disisinya. Eunice mengembuskan nafas kasar mendelik sinis ke arah orang-orang yang mendorongnya kasar.

“Nanti lagi kita omongin,” ucap Ragaska dingin.

Eunice menjadi merasa bersalah akan dirinya yang seenak jidat meminta untuk mengundurkan diri, setelah ia dan teman seperjuangannya itu merancang semua organisasinya agar berjalan dengan baik dari awal hingga akhir.

Masih dengan memeluk Eunice dengan tangan kanannya, kini tangan kirinya Ragaska ikut bergerak memeluk pundak Eunice. Gadis itu menahan nafas ketika tangan besar Ragaska melingkar di depan wajahnya, berusaha untuk tidak menahan kesalah tingkahannya dengan mengikuti lirik yang Rizky Febian itu lantunkan.

“Kau s’lalu ada, buatku tertawa dan lupakan lara.” Gadis itu mengikuti lirik yang ia nyanyikan dengan penuh menghayatan agar sampai kepada sang empunya yang berada di belakang.

Ragaska tersenyum kemudian menaruh dagunya di atas pucuk kepala Eunice, seraya bersandaran di sana.

“Tak tahu bagaimana aku tanpa dirimu, tak pernah terbayangkann!” seru Ragaska bernyanyi penuh penekanan yang membuat Eunice tertawa, dan ia mengerti akan maksud itu.

Tak tahu bagaimana Aku tanpa dirimu Tak pernah terbayangkan Sepi merindu Kumohon padamu Tetaplah kau di sampingku

Keduanya bernyanyi bersama dan berpelukan ke kanan dan kiri, tertawa bahagia seakan-akan dunia hanyalah milik berdua. Tetapi mereka lupa, bahwa hal yang seperti sekarang tidak akan pernah terulang kembali nanti.

“Ce, jangan pernah lupain gue, ya?”

Gadis itu pun menjawabnya dengan anggukan bersemangat tanpa mengucapkan balasan darinya.

TW // mature content

Pintu ruangan Gafa terbuka menunjukan gadis berambut panjang dengan penampilan yang sedikit terbuka. Laras dipersilahkan masuk oleh Bryan kemudian meninggalkan dua insang itu saling bertukar tatap.

Laras duduk di sofa dekat dengan meja kerja Gafa, ia memperhatikan tangan kekar Gafa memegang berbagai kertas di atas sana. Gafa belum menyambut kehadirannya sama sekali.

“Kamu ada perlu apa?” tanya Gafa tanpa melihat ke arah Laras.

“hhnngggg, saya hanya mau melihat-lihat kantor kamu yang di sini, sih. Bagus juga ternyata,” ucapnya bangkit dari sofa dan berkeliling ruang kerja Gafa.

“Jangan ganggu saya,” ucap Gafa ketus.

Laras tertawa sarkas kemudian berdiri di depan meja kerja Gafa seraya berkecak pinggang. “Kamu ingat nggak malam terakhir kita waktu itu?”

Tangan Gafa seketika berhenti. Ia menatap Laras tajam. “Get out here.”

“Hahaha, kenapa? Saya hanya berbicara fakta.”

“Saya tidak pernah tidur dengan kamu! Jangan berbicara omong kosong.”

Laras menghela nafasnya kesal seraya memutarkan matanya malas. “Saya yakin Nora belum tahu tentang ini.”

Gafa bangkit dari kursinya dengan tangan yang mengepal sempurna. “Kapan saya meniduri kamu?”

“Bahkan saya tidak bilang kalau kamu meniduri saya loh? Anda sendiri yang bilang soal itu dari tadi.” Laras terkekeh karena melihat Gafa yang sepertinya sudah terjebak dengan permainannya.

Sial.

“Terus mau kamu apa?” tanya Gafa mengacak rambutnya berantakan.

Laras berjalan berdiri di depan Gafa kemudian ia mendorong Gafa hingga ia terjatuh di kursi. Laras mengangkat senyumnya miring. Ia kini duduk dipangkuan Gafa.

“Aku mau kamu,” ucapnya seraya melepaskan dasi yang mengikatnya dikerah kemeja Gafa.

Gafa hanya diam membatu. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang, pikirannya tiba-tiba saja kosong. Laras melemparkan dasi biru milik Gafa ke sudut ruangan, tangannya bergerak untuk membuka kancing demi kancing kemeja Gafa hingga dada bidang Gafa terlihat.

Laras menyandarkan kepalanya di pundak Gafa seraya tangannya mengelus pelan dada bidang Gafa dengan sensual. Gafa masih belum berkutik ia hanya menatap kosong dinding putih polos tanpa ekspersi sedikit pun.

Can I kiss you?” bisik Laras tepat di telinga Gafa.

Gafa mengangguk pelan dan Laras tersenyum senang.

Ia menarik tengkuk Gafa ke arah bibirnya. Laras menempelkan bibirnya tepat dengan bibir Gafa yang menggoda. Ia melumatnya pelan dan menggigit untuk memancing Gafa.

Gafa mendesah kesakitan kemudian ia mendorong kepala Laras agar memperdalam ciuaman tersebut. Ia membalas lumatan demi lumatan yang dibuat olehnya. Entahlah apa yang dipikiran Gafa sekarang. Mungkin ia sudah gila karena melakukan hal senonoh tanpa pengetahuan sang istri yang ia tinggalkan bersama anak-anaknya.

Hari ini Halingga berkeluarga sedang mengadakan acara tahunan, yaitu kumpul keluarga di rumah milik Galang dan Sarah. Nora yang notabede-nya sudah mengelar marga Halingga di belakang namanya, jadi ia bersama sang suami dan anak gadisnya harus ikut kumpul bersama dengan yang lain di Bandung.

Kini Nora yang sedang hamil 5 bulan kumpul bersama gadis-gadis—saudara Gafa kumpul di ruang keluarga lantai atas, membicarakan tentang skincare, tas-tas branded, hingga ke gosip tentang perselingkuhan yang terjadi di dunia maya. Ini bukan obrolan yang tidak biasa bagi para perempuan saat kumpul bersama. Walaupun awalnya Nora agak kikuk sedikit malu untuk sekedar mengobrol bersama, untungnya saudara-saudara Gafa sangat welcome dan banyak mengajaknya bicara tentang dunia model.

Sedangkan para lelaki sedang berbincang tentang pekerjaan bisnis di area rooftop atas. Gafa dan Alfared ada di sana sebagai anggota baru yang terjun ke dunia bisnis. Jika kalian bertanya kenapa Alfared ikut kumpul di sini? Alfared merupakan saudara jauh dari Halingga berkeluarga. Walaupun ia tidak mengelar marga Halingga di belakang namanya karena sang Bapak bercerai dengan istrinya saat mengandung Alfared, tetapi jasa Bapak Alfared tidak akan terlupakan saat keluarga Halingga berada di kritis ekonomi. Dan beliau sudah tiada saat ini.

“Gizelle sama siapa, Kak?” tanya Aleyyah yang sedari tadi tidak melihat keberadaan sang keponakan.

“Sama mama deh kalau nggak salah,” jawab Nora dengan mata yang mengitari seluruh ruangan mencari keberadaan sang mertua dan anaknya.

“Nah itu dia,” seru Nora melihat Sarah mengendong Gizelle dan Tante Adel yang berjalan bersama.

“Cantik-cantik pada ngobrol apa, sih? Kayanya seru banget,” ujar Sarah duduk di sofa putih dengan Gizelle dipangkuannya.

“Ngomongin tentang dunia model, Tante! Seru banget deh kayanya jadi model. Aku jadi pengen,” ucap Fiona, salah satu saudara Gafa yang masih berkuliah.

Nora tersenyum malu karena kini seluruh mata menatapnya kagum.

“Jangan deh! Mending kamu kuliah dulu yang bener biar jadi wanita Independent!” sahut Tante Adel dengan ketus.

“Jadi model juga bisa jadi Independent women kali, Bu,” kata Berrly, anak dari Adel dan tunangan Alfared.

“Iya, tapi kerja kantoran lebih baguslah! Daripada jadi model foto seksi.” Adel menatap Nora sinis tidak suka.

Nora diam sejenak dan menggigit bawah bibirnya seraya memainkan cincin pernikahannya yang berada di jemari manis dengan gugup. Ia merasa tersindir dengan ucapan Tante Adel barusan. Memang sepertinya dari penampilannya saja Tante Adel seperti wanita kantor pekerja keras. Sangat berbanding balik dengan dirinya.

“Oh iya, Nora, saya dengar-dengar kamu masih ambil job kerjaan photoshoot gitu, ya?” tanya Tante Adel.

“Iya, Tante, hehehe.”

“Waduuhh?! Emangnya kamu nggak ngurusin suami dan anak kamu? Sampai-sampai kamu ngambil job kerjaan?”

“Buat ngisi waktu luang aja sih, Tante. Itu juga aku nggak ngambil all time kok, cuma beberapa aja,” jawab Nora sebisa mungkin untuk mengurangi rasa harga dirinya di injak-injak di sini.

“Tapi kamu lagi hamil loh? Udah berapa? Lima bukan ya katanya?”

“Iya, memang menantuku lagi hamil anak kedua. Kenapa emangnya?” sahut Sarah tidak senang karena menantunya di jelek-jelekan olehnya.

“Tapi kok itu perutnya kecil, ya? Kamu beneran hamil atau nggak? Mending kamu cek ke dokter deh, takutnya terjadi yang nggak-nggak, kan?” tanya Tante Adel diiringi dengan kekehan.

Seketika jantung Nora berdegup kencang. Ia merasa angin-angin memasuki wilayah matanya sampai memerah. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak meneteskannya agar tidak dipandang baperan kepada keluarga Halingga.

“Kak Nora hamil kok! Aku waktu itu nemenin Kak Nora USG, kata dokter anaknya laki-laki!” seru Aleyyah membela Nora.

Tante Adel ber-oh ria lalu tertawa kecil. “Tapi ada baiknya kamu berhenti kerja Nora, apa kamu nggak kasihan sama Gafa? Dia rela berhenti menyanyi demi menafkahi dan menikah dengan kamu! Masa kamu nggak ngurusin Gafa dan meremehkan pekerjaan Gafa sekarang dengan kamu ngambil job foto seksi itu!”

“Bu! Udah! Apaa—“

“Adel! Ambilkan Mama air tolong,” ucap Opung datang dengan kursi roda yang di dorong oleh Geral memotong pembicaraan Berrly tiba-tiba.

“Berrly ambilkan Opung air,” perintah Adel yang sedang emosi seraya memakan kue buatan Sarah di meja.

Berrly hendak bangkit dari duduknya. Namun, Nora bangkit lebih dulu dan memegang pundak Berrly seraya menyuruhnya untuk tetap diam di tempat. Nora berjalan ke arah dapur dengan perasaan yang tidak bisa dikondisikan. Ia marah tapi ia tidak bisa melawan Adel, yang notabede-nya adalah Adik dari Sarah. Mau tidak mau ia harus menghormatinya karena ia salah satu keluarga Halingga.

Nora memegang dadanya. Ia merasa sesak sesaat mengingat ucapan Tante Adel yang sangat meremehkan dirinya. Nora perlahan meneteskan air mata, ia sudah tidak bisa lagi menahannya. Belakangan ini Nora juga sangat cukup sensitif, mungkin karena ia sedang mengandung anak kedua dan mendengar ucapan Tante Adel.

Jadi model juga bukan melakukan hal kotor sampai-sampai ia dibilang tidak mengurusi suami dan anaknya.

Nak, yang sabar, ya? Mami tahu kamu dan Mami kuat.

“Kak?!! Kakak gapapa?” tanya Aleyyah panik menghampiri Nora yang sedang menunggu air terisi di dispenser dengan wajah mendunduk menutupi seluruh wajahnya.

Nora menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya seraya merapikan rambut-rambut yang menempel di wajahnya.

“Gapapa kok. Ini tadi aku kelilipan mata aku perih,” ucap Nora dengan senyuman.

Aleyyah menghela nafasnya kasar kemudian mengambil gelas yang sudah terisi air untuk Opung. “Biar aku aja yang nganterin. Kakak istirahat aja di atas, okay?”

“Tapi—“

“Gapapa,” ucap Aleyyah dengan senyuman untuk menenangkan hati Nora.

Nora mengangguk lemas dan beralih menaiki setiap tangga rumah, berjalan memasuki kamar Gafa kemudian membantingnya keras.

Ia di sana menangis sejadi mungkin dengan bantal sebagai alasan agar tangisannya tidak terdengar oleh orang luar.

Hari ini Halingga berkeluarga sedang mengadakan acara tahunan, yaitu kumpul keluarga di rumah milik Galang dan Sarah. Nora yang notabede-nya sudah mengelar marga Halingga di belakang namanya, jadi ia bersama sang suami dan anak gadisnya harus ikut kumpul bersama dengan yang lain di Bandung.

Kini Nora yang sedang hamil 5 bulan kumpul bersama gadis-gadis—saudara Gafa kumpul di ruang keluarga lantai atas, membicarakan tentang skincare, tas-tas branded, hingga ke gosip tentang perselingkuhan yang terjadi di dunia maya. Ini bukan obrolan yang tidak biasa bagi para perempuan saat kumpul bersama. Walaupun awalnya Nora agak kikuk sedikit malu untuk sekedar mengobrol bersama, untungnya saudara-saudara Gafa sangat welcome dan banyak mengajaknya bicara tentang dunia model.

Sedangkan para lelaki sedang berbincang tentang pekerjaan bisnis di area rooftop atas. Gafa dan Alfared ada di sana sebagai anggota baru yang terjun ke dunia bisnis. Jika kalian bertanya kenapa Alfared ikut kumpul di sini? Alfared merupakan saudara jauh dari Halingga berkeluarga. Walaupun ia tidak mengelar marga Halingga di belakang namanya karena sang Bapak bercerai dengan istrinya saat mengandung Alfared, tetapi jasa Bapak Alfared tidak akan terlupakan saat keluarga Halingga berada di kritis ekonomi. Dan beliau sudah tiada saat ini.

“Gizelle sama siapa, Kak?” tanya Aleyyah yang sedari tadi tidak melihat keberadaan sang keponakan.

“Sama mama deh kalau nggak salah,” jawab Nora dengan mata yang mengitari seluruh ruangan mencari keberadaan sang mertua dan anaknya.

“Nah itu dia,” seru Nora melihat Sarah mengendong Gizelle dan Tante Adel yang berjalan bersama.

“Cantik-cantik pada ngobrol apa, sih? Kayanya seru banget,” ujar Sarah duduk di sofa putih dengan Gizelle dipangkuannya.

“Ngomongin tentang dunia model, Tante! Seru banget deh kayanya jadi model. Aku jadi pengen,” ucap Fiona, salah satu saudara Gafa yang masih berkuliah.

Nora tersenyum malu karena kini seluruh mata menatapnya kagum.

“Jangan deh! Mending kamu kuliah dulu yang bener biar jadi wanita Independent!” sahut Tante Adel dengan ketus.

“Jadi model juga bisa jadi Independent women kali, Bu,” kata Berrly, anak dari Adel dan tunangan Alfared.

“Iya, tapi kerja kantoran lebih baguslah! Daripada jadi model foto seksi.” Adel menatap Nora sinis tidak suka.

Nora diam sejenak dan menggigit bawah bibirnya seraya memainkan cincin pernikahannya yang berada di jemari manis dengan gugup. Ia merasa tersindir dengan ucapan Tante Adel barusan. Memang sepertinya dari penampilannya saja Tante Adel seperti wanita kantor pekerja keras. Sangat berbanding balik dengan dirinya.

“Oh iya, Nora, saya dengar-dengar kamu masih ambil job kerjaan photoshoot gitu, ya?” tanya Tante Adel.

“Iya, Tante, hehehe.”

“Waduuhh?! Emangnya kamu nggak ngurusin suami dan anak kamu? Sampai-sampai kamu ngambil job kerjaan?”

“Buat ngisi waktu luang aja sih, Tante. Itu juga aku nggak ngambil all time kok, cuma beberapa aja,” jawab Nora sebisa mungkin untuk mengurangi rasa harga dirinya di injak-injak di sini.

“Tapi kamu lagi hamil loh? Udah berapa? Lima bukan ya katanya?”

“Iya, memang menantuku lagi hamil anak kedua. Kenapa emangnya?” sahut Sarah tidak senang karena menantunya di jelek-jelekan olehnya.

“Tapi kok itu perutnya kecil, ya? Kamu beneran hamil atau nggak? Mending kamu cek ke dokter deh, takutnya terjadi yang nggak-nggak, kan?” tanya Tante Adel diiringi dengan kekehan.

Seketika jantung Nora berdegup kencang. Ia merasa angin-angin memasuki wilayah matanya sampai memerah. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak meneteskannya agar tidak dipandang baperan kepada keluarga Halingga.

“Kak Nora hamil kok! Aku waktu itu nemenin Kak Nora USG, kata dokter anaknya laki-laki!” seru Aleyyah membela Nora.

Tante Adel ber-oh ria lalu tertawa kecil. “Tapi ada baiknya kamu berhenti kerja Nora, apa kamu nggak kasihan sama Gafa? Dia rela berhenti menyanyi demi menafkahi dan menikah dengan kamu! Masa kamu nggak ngurusin Gafa dan meremehkan pekerjaan Gafa sekarang dengan kamu ngambil job foto seksi itu!”

“Bu! Udah! Apaa—“

“Adel! Ambilkan Mama air tolong,” ucap Opung datang dengan kursi roda yang di dorong oleh Geral memotong pembicaraan Berrly tiba-tiba.

“Berrly ambilkan Opung air,” perintah Adel yang sedang emosi seraya memakan kue buatan Sarah di meja.

Berrly hendak bangkit dari duduknya. Namun, Nora bangkit lebih dulu dan memegang pundak Berrly seraya menyuruhnya untuk tetap diam di tempat. Nora berjalan ke arah dapur dengan perasaan yang tidak bisa dikondisikan. Ia marah tapi ia tidak bisa melawan Adel, yang notabede-nya adalah Adik dari Sarah. Mau tidak mau ia harus menghormatinya karena ia salah satu keluarga Halingga.

Nora memegang dadanya. Ia merasa sesak sesaat mengingat ucapan Tante Adel yang sangat meremehkan dirinya. Nora perlahan meneteskan air mata, ia sudah tidak bisa lagi menahannya. Belakangan ini Nora juga sangat cukup sensitif, mungkin karena ia sedang mengandung anak kedua dan mendengar ucapan Tante Adel.

Jadi model juga bukan melakukan hal kotor sampai-sampai ia dibilang tidak mengurusi suami dan anaknya.

Nak, yang sabar, ya? Mami tahu kamu dan Mami kuat.

“Kak?!! Kakak gapapa?” tanya Aleyyah panik menghampiri Nora yang sedang menunggu air terisi di dispenser dengan wajah mendunduk menutupi seluruh wajahnya.

Nora menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya seraya merapikan rambut-rambut yang menempel di wajahnya.

“Gapapa kok. Ini tadi aku kelilipan mata aku perih,” ucap Nora dengan senyuman.

Aleyyah menghela nafasnya kasar kemudian mengambil gelas yang sudah terisi air untuk Opung. “Biar aku aja yang nganterin. Kakak istirahat aja di atas, okay?”

“Tapi——“

“Gapapa,” ucap Aleyyah dengan senyuman untuk menenangkan hati Nora.

Nora mengangguk lemas dan beralih menaiki setiap tangga rumah, berjalan memasuki kamar Gafa kemudian membantingnya keras.

Ia di sana menangis sejadi mungkin dengan bantal sebagai alasan agar tangisannya tidak terdengar oleh orang luar.

Hari ini Halingga berkeluarga sedang mengadakan acara tahunan, yaitu kumpul keluarga di rumah milik Galang dan Sarah. Nora yang notabede-nya sudah mengelar marga Halingga di belakang namanya, jadi ia bersama sang suami dan anak gadisnya harus ikut kumpul bersama dengan yang lain di Bandung.

Kini Nora yang sedang hamil 5 bulan kumpul bersama gadis-gadis—saudara Gafa kumpul di ruang keluarga lantai atas, membicarakan tentang skincare, tas-tas branded, hingga ke gosip tentang perselingkuhan yang terjadi di dunia maya. Ini bukan obrolan yang tidak biasa bagi para perempuan saat kumpul bersama. Walaupun awalnya Nora agak kikuk sedikit malu untuk sekedar mengobrol bersama, untungnya saudara-saudara Gafa sangat welcome dan banyak mengajaknya bicara tentang dunia model.

Sedangkan para lelaki sedang berbincang tentang pekerjaan bisnis di area rooftop atas. Gafa dan Alfared ada di sana sebagai anggota baru yang terjun ke dunia bisnis. Jika kalian bertanya kenapa Alfared ikut kumpul di sini? Alfared merupakan saudara jauh dari Halingga berkeluarga. Walaupun ia tidak mengelar marga Halingga di belakang namanya karena sang Bapak bercerai dengan istrinya saat mengandung Alfared, tetapi jasa Bapak Alfared tidak akan terlupakan saat keluarga Halingga berada di kritis ekonomi. Dan beliau sudah tiada saat ini.

“Gizelle sama siapa, Kak?” tanya Aleyyah yang sedari tadi tidak melihat keberadaan sang keponakan.

“Sama mama deh kalau nggak salah,” jawab Nora dengan mata yang mengitari seluruh ruangan mencari keberadaan sang mertua dan anaknya.

“Nah itu dia,” seru Nora melihat Sarah mengendong Gizelle dan Tante Adel yang berjalan bersama.

“Cantik-cantik pada ngobrol apa, sih? Kayanya seru banget,” ujar Sarah duduk di sofa putih dengan Gizelle dipangkuannya.

“Ngomongin tentang dunia model, Tante! Seru banget deh kayanya jadi model. Aku jadi pengen,” ucap Fiona, salah satu saudara Gafa yang masih berkuliah.

Nora tersenyum malu karena kini seluruh mata menatapnya kagum.

“Jangan deh! Mending kamu kuliah dulu yang bener biar jadi wanita *Independent!” sahut Tante Adel dengan ketus.

“Jadi model juga bisa jadi Independent women kali, Bu,” kata Berrly, anak dari Adel dan tunangan Alfared.

“Iya, tapi kerja kantoran lebih baguslah! Daripada jadi model foto seksi.” Adel menatap Nora sinis tidak suka.

Nora diam sejenak dan menggigit bawah bibirnya seraya memainkan cincin pernikahannya yang berada di jemari manis dengan gugup. Ia merasa tersindir dengan ucapan Tante Adel barusan. Memang sepertinya dari penampilannya saja Tante Adel seperti wanita kantor pekerja keras. Sangat berbanding balik dengan dirinya.

“Oh iya, Nora, saya dengar-dengar kamu masih ambil job kerjaan photoshoot gitu, ya?” tanya Tante Adel.

“Iya, Tante, hehehe.”

“Waduuhh?! Emangnya kamu nggak ngurusin suami dan anak kamu? Sampai-sampai kamu ngambil job kerjaan?”

“Buat ngisi waktu luang aja sih, Tante. Itu juga aku nggak ngambil all time kok, cuma beberapa aja,” jawab Nora sebisa mungkin untuk mengurangi rasa harga dirinya di injak-injak di sini.

“Tapi kamu lagi hamil loh? Udah berapa? Lima bukan ya katanya?”

“Iya, memang menantuku lagi hamil anak kedua. Kenapa emangnya?” sahut Sarah tidak senang karena menantunya di jelek-jelekan olehnya.

“Tapi kok itu perutnya kecil, ya? Kamu beneran hamil atau nggak? Mending kamu cek ke dokter deh, takutnya terjadi yang nggak-nggak, kan?” tanya Tante Adel diiringi dengan kekehan.

Seketika jantung Nora berdegup kencang. Ia merasa angin-angin memasuki wilayah matanya sampai memerah. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak meneteskannya agar tidak dipandang baperan kepada keluarga Halingga.

“Kak Nora hamil kok! Aku waktu itu nemenin Kak Nora USG, kata dokter anaknya laki-laki!” seru Aleyyah membela Nora.

Tante Adel ber-oh ria lalu tertawa kecil. “Tapi ada baiknya kamu berhenti kerja Nora, apa kamu nggak kasihan sama Gafa? Dia rela berhenti menyanyi demi menafkahi dan menikah dengan kamu! Masa kamu nggak ngurusin Gafa dan meremehkan pekerjaan Gafa sekarang dengan kamu ngambil job foto seksi itu!”

“Bu! Udah! Apaa—“

“Adel! Ambilkan Mama air tolong,” ucap Opung datang dengan kursi roda yang di dorong oleh Geral memotong pembicaraan Berrly tiba-tiba.

“Berrly ambilkan Opung air,” perintah Adel yang sedang emosi seraya memakan kue buatan Sarah di meja.

Berrly hendak bangkit dari duduknya. Namun, Nora bangkit lebih dulu dan memegang pundak Berrly seraya menyuruhnya untuk tetap diam di tempat. Nora berjalan ke arah dapur dengan perasaan yang tidak bisa dikondisikan. Ia marah tapi ia tidak bisa melawan Adel, yang notabede-nya adalah Adik dari Sarah. Mau tidak mau ia harus menghormatinya karena ia salah satu keluarga Halingga.

Nora memegang dadanya. Ia merasa sesak sesaat mengingat ucapan Tante Adel yang sangat meremehkan dirinya. Nora perlahan meneteskan air mata, ia sudah tidak bisa lagi menahannya. Belakangan ini Nora juga sangat cukup sensitif, mungkin karena ia sedang mengandung anak kedua dan mendengar ucapan Tante Adel.

Jadi model juga bukan melakukan hal kotor sampai-sampai ia dibilang tidak mengurusi suami dan anaknya.

Nak, yang sabar, ya? Mami tahu kamu dan Mami kuat.

“Kak?!! Kakak gapapa?” tanya Aleyyah panik menghampiri Nora yang sedang menunggu air terisi di dispenser dengan wajah mendunduk menutupi seluruh wajahnya.

Nora menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya seraya merapikan rambut-rambut yang menempel di wajahnya.

“Gapapa kok. Ini tadi aku kelilipan mata aku perih,” ucap Nora dengan senyuman.

Aleyyah menghela nafasnya kasar kemudian mengambil gelas yang sudah terisi air untuk Opung. “Biar aku aja yang nganterin. Kakak istirahat aja di atas, okay?”

“Tapi——“

“Gapapa,” ucap Aleyyah dengan senyuman untuk menenangkan hati Nora.

Nora mengangguk lemas dan beralih menaiki setiap tangga rumah, berjalan memasuki kamar Gafa kemudian membantingnya keras.

Ia di sana menangis sejadi mungkin dengan bantal sebagai alasan agar tangisannya tidak terdengar oleh orang luar.

Saat mereka sampai di studio panggung yang Nora sewa untuk merayakan ulang tahun sang tunangan, Aji datang bersama Bevan dan Thea menghampiri Nora untuk membantu Gafa menunjukan jalan. Mereka semua menahan tawa dan enggan untuk mengeluarkan suara karena takut Gafa tahu soal ini. Tapi tiba-tiba saja Bevan tersandung batu tapi Thea dengan gerak cepatnya menutup mulutnya agar tidak bersuara.

“Kita mau kemana sih, Nor? Kok kaya rame orang di sini,” ujar Gafa yang merasa ada kehadiran orang lain.

Thea dan Alfared menahan tawanya sekuat mungkin tapi tidak bisa. Ia malah mengeluarkan suara ngik-ngik seperti bebek.

“Hah? Nggak kok cuma ada kita bertiga aja,” ucap Nora yang sedikit panik dan mempercepat langkahnya menuntun Gafa.

Mereka berhasil membawa Gafa berada di atas panggung. Aji menaruh telunjuknya di depan mulut seraya menyuruh fans untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Mereka meninggalkan Gafa di atas panggung, hanya menyisakan Aji untuk membuka ikatan sapu tangan di kepala Gafa dan lampu tiba-tiba saja redup digantikan dengan tayangan video yang berada di layar besar.

Gafa membulatkan matanya sempurna saat melihat video tayangan saat waktunya bersama Nora terpapang jelas di sana. Dan lagi yang membuat Gafa kaget adalah saat ia berbalik badan, ia melihat fansnya yang mengisi tempat duduk di sana sambil memegang banner yang tertulis ‘Happy Birthday Gafabel’. Gafa menutup mulutnya menggunakan tangan kanan. Ia masih tidak menyangka apa yang sebenarnya terjadi.

Putaran video telah selesai. Lampu kembali menyala keluarlah Seinora dari pinggir panggung dengan membawakan kue serta lilin yang menyala diatasnya. Nora tersenyum menghampiri Gafa hingga berdiri di sebelahnya. Bevan datang menghampiri mereka dengan membawakan microphone.

Fans mulai bernyanyi dan diikuti dengan Nora yang sedang memegang kue. “Happy birthday to you, happy birthday to Gafabel.” Gafa senyum salah tingkah kemudian menatap ke arah langit-langit untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.

Make a wish dulu dong,” pinta Nora menatap kue dan Gafa bergantian.

“Hahaha, aduh,” ujar Gafa mengangkat mic yang masih salah tingkah.

“Cepet keburu meleleh lilin-nya.”

Gafa menggigit bibirnya ragu kemudian mengangkat kembali mic nya untuk berbicara. “Semoga aku besok nikah sama kamu,” ucap Gafa sebelum meniup lilin-nya.

Fans dibuat berteriak salah tingkah ketika Gafa mengucapkan kalimat itu dan ada juga yang sedang mengambil video pasangan tersebut dari atas panggung sambil menepuk teman sebelahnya salah tingkah.

“Makasih, sayang.” Gafa memeluk Nora paksa hingga membuat Nora kaget hampir membuat kue nya terjatuh. Tapi untungnya segera diambil alih oleh Thea untuk diamankan.

“Iya, sama-sama juga,” ucap Nora seraya membalas pelukan Gafa terharu.

Ia awalnya tidak yakin rencananya akan berhasil seperti ini. Tapi ternyata dengan bantuan temen-temen ia bisa kasih kejutan untuk Gafa hari ini. Nora merasa pundaknya basah karena air mata segera mengusap-usap punggungnya pelan.

“Gafa nangis guys, cengeng kan?” ejek Nora yang berbicara menggunakan mic.

Fans tertawa sekaligus haru karena bisa menonton pasangan ini eksekutif di atas panggung sana.

“Kamu diem, aku lagi terharu,” imbuhnya menyembunyikan wajahnya di pundak Nora agar tidak tersorot kamera.

“Iya, tapi ini lepas dong aku sesek.” Gafa akhirnya melepaskan pelukan kemudian menghapus air mata di pelupuk matanya agar tidak menetes lagi.

“GAFA NYANYI DONG BUAT NORAA!!” seru salah satu fans.

“Mau?” tanya Gafa seraya menaikkan alis menatap Nora dan fansnya bergantian.

“MAUUUUU!! MAUU!!”

“IYAA MAU!! NYANYI DONGG!!”

Gafa membentuk jemarinya menjadi bentuk ok dan segera kepinggir panggung untuk meminta play instrumental sebuah lagu yang akan ia nyanyikan. Kemudian ia kembali ke tengah panggung dan meraih tangan Nora menatapnya dalam-dalam.

“Ini lagu special malam ini yang akan gue nyanyiin buat Seinora.”

“Pertama-tama aku ucapin banyak terimakasih kepada Tuhan, bunda dan papa yang berhasil membuat perempuan secantik ini dan dibawanya untuk aku dan untuk hidup bersama di hari tua nanti.”

Nora tertawa kecil seraya memukul pundak Gafa pelan. Instrumental lagu sudah dimulai fans-fans berteriak histeris dan mulai mengambil video. Lampu panggung kembali gelap dan hanya menerangi di tengah-tengah panggung yang di isi mereka berdua.

  • It's a beautiful night, we're looking for something dumb to do Hey baby, I think I wanna marry you*

Gafa bernyanyi menatap Nora dalam sambil memainkan genggaman tangannya ke kanan dan kiri di udara. Gafa malam hari ini berniatan untuk mengajak Nora menikah.

Sudah tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata perasaan Nora sekarang. Perasaan ini sungguh campur aduk. Ada sedih, bahagia, haru, dan masih banyak lagi. Ia tidak pernah melunturkan senyumannya sedari tadi.

'Cause it's a beautiful night, we're looking for something dumb to do Hey baby, I think I wanna marry you Is it the look in your eyes or is it this dancing juice? Who cares, baby, I think I wanna marry you Just say I do Tell me right now, baby Tell me right now, baby, baby

Gafa mengeluarkan box cincin dari jas nya kemudian membukanya secara perlahan dan memperlihatkannya kepada Nora. Nora membulatkan matanya kaget seraya menutup mulutnya menggunakan tangan. Ia menatap Gafa tidak percaya bahwa ia membelikannya cincin yang lebih bagus dari sebelumnnya.

Selesainya di bait terakhir lagu. Gafa duduk berjongkok dengan kaki kanan memapah agar tidak terjatuh. Nora sudah meneteskan air mata bahagianya sedari tadi.

“Seinora, will you marry me?

Yes.

Yes, i do.

Gafa bangkit dari posisinya dan memeluk Nora kencang seakan-akan tidak ingin kehilangan lagi sosok dirinya sebagai semangat hidup. Nora terkekeh dan membalas pelukan membawanya ke kanan dan kiri karena gemas.

Fans sudah ricuh dan menangis haru. Begitu juga dengan Bevan, Thea, Alfared, Aji, dan seluruh staff yang menyaksikan acara lamaran yang secara tiba-tiba ini.

Selamat kamu telah membaca akhir cerita dari Seinora & Gafabel.