Menurut Takdir

Tatapan mata Eunice terlihat sangat kosong. Entah apa yang ia pikirkan sekarang, pikirannya sangat kalut. Tidak tahu harus bagaimana lagi meninggalkan orang-orang yang sudah mengisi kehidupannya penuh warna.

Sempat gadis itu berpamitan dengan Sang Papa yang tidak sengaja bertemu sedang duduk dipinggiran jalan tadi. Sakit perih hati Eunice melihat Sang Papa yang terlihat cukup biasa-biasanya saat ia bilang kalau dirinya tidak akan lagi tinggal di sini.

Ia peluk dan usap punggungnya sekilas sebelum benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Tak juga Eunice memberikan sedikit uang untuk pria paruh baya agar tetap bertahan hidup.

Dan kini, dirinya sudah tiba di bandara Soekarno Hatta. Tidak ada yang spesial dari hari ini, hanya ada perasaan sedih yang terus singgah di hatinya. Aksa yang tengah duduk di sebelahnya tertawa gelak yang membuat gadis itu mengernyitkan alisnya bingung.

“Kerasukan lo?” Eunice mendelik sinis ke arah lelaki di sebelahnya.

“Lo ketawa dong! Jangan menyedihkan banget, Ce,” ujar Aksa yang kini sudah berkacak pinggang berdiri di depan Eunice.

Gadis itu mengembuskan nafas kesal. Tak membalas ucapan temannya.

Kaki jenjang Glen datang dari arah selatan dengan membawa 2 gelas merek Starbucks, gadis itu tersenyum melihat kehadiran Glen.

“Nih, matcha latte buat yang terakhir kalinya gue beliin,” ucap Glen dramatis yang membuat Aksa membuat ekspresi ingin muntah.

Gadis itu meraih segelas minuman kesukaannya dengan senyuman merekah dibibirnya. “Thank youuu!” ucapnya seraya menyeruput minuman.

Glen mengangguk lalu ikut menyeruput minuman yang ia beli sama rasa. Aksa melirik Glen tidak suka. “Duh, enak banget, yaaa,” sindirinya halus tersenyum, namun dengan ekspresi mata yang sinis.

Glen dan Eunice tertawa serentak melihat ekspresi Aksa yang sangat menyebalkan. “Nih, mau gak?” tawar gadis itu memberikan minumannya kepada Aksa.

Namun tangan Glen dengan cepat menyela tangan Eunice yang ingin memberikan minumannya. “Punya gue aja nih! Jangan punya Cece.”

Deg!

Eunice merasa adegan ini pernah terjadi sebelumnya saat bersama—Ragaska—dejavu. Gadis itu kembali menyeruput minumannya, melihat ke arah datangnya orang-orang, berharap satu dari mereka adalah orang yang sudah ia tunggu-tunggu kehadirannya.

Suara panggilan untuk melakukan boarding sudah terdengar. Eunice menelan ludahnya kasar dengan netranya yang masih mencari-cari keberadaan lelaki itu gelisah.

Glen mengusap pelan pundak Eunice untuk menenangkannya. “Macet kayaknya Si Ragas, Ce,” ucapnya menenangkan gadis itu.

Eunice mengangguk dengan tundukkan kepalanya dengan perasaan yang cukup campur aduk. Ia tidak bisa menghubungi lelaki itu, karena ia sudah meminta izin kepada Sang Bunda untuk menghancurkan ponsel itu sebelumnya. Kalau ditanya apa alasannya? Eunice hanya ingin pergi dengan tenang—meninggalkan semua rasa yang pernah ada di kota ini.

Pukulan pelan dari pundaknya terasa, Eunice mengalihkan pandangannya kepada empunya. Kemudian teman lelakinya itu menunjuk seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari mereka dengan senyuman manisnya.

Sontak Eunice berdiri dan ingin menghampiri lelaki itu, namun ia menyuruhnya untuk berdiam diri di tempatnya menggunakan isyarat. Eunice menaikkan kedua alisnya seakan bertanya kepada lelaki itu, namun ia hanya tersenyum lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas yang tertulis di sana.

Gua nggak bisa kasih pelukan selamat tinggal, Ce. Nggak apa-apa, kan?

Kata-kata itu yang tertulis di sana membuat hati Eunice sesak. Padahal orang yang ia sangat tunggu kehadirannya tidak mau menghampirinya untuk sekedar kasih peluk perpisahaan. Namun gadis itu bisa apa? Kedatangannya kemari saja Eunice sudah bersyukur, karena ia pikir ternyata masih ada orang yang mau menemaninya di sini.

Kertas itu berganti di depan dadanya, menunjukkan kata-kata selanjutnya.

Kaki gua terlalu berat buat jalan ke arah cewek cantik soalnya.

Eunice terkekeh pelan bersamaan dengan dua lelaki yang berdiri di sampingnya. Ada-ada saja memang Ragaska.

Gua berharap setelah ini kita masih bisa bertemu, agar ada pelukan jumpa, bukan pelukan selamat tinggal.

Gadis itu mengangguk sebagai jawabannya dengan buliran air mata yang sudah mengalir deras.

Ragaska masih tersenyum dengan sorot mata fokus ke arah gadis di depannya, kemudian kembali membalikan kertas selanjutnya.

Jaga diri baik-baik, ya?

Sampai bertemu lagi di titik terbaik menurut takdir.

Gadis itu mengangguk lagi dengan mata yang sudah sembab merah menatap ke arah lelaki itu. Bahunya sudah bergetar hebat karena tangisannya, Glen berusaha menenangkan gadis itu dengan merangkulnya, memberikannya usapan pelan agar tenang.

Ragaska masih saja tersenyum, kemudian ia menaruh kertas-kertas itu dihampitan lengannya. Kedua telunjuk bergerak seraya menunjuk dirinya sendiri, kemudian membuat bentuk hati lalu menunjuk gadis itu. Seakan-akan dari gerakan itu Ragaska mengatakan ‘aku sayang kamu’.

Bibir lelaki itu terlalu keluh untuk mengatakannya sendiri, ia berusaha menggambarkannya dengan gerak tangan. Eunice semakin dibuat menangis pilu dengan lelaki itu, hampir saja ia terjatuh karena kakinya sudah mulai merasa lemas. Untung saja ada Glen yang sudah menahan tubuh gadis itu. Sedangkan lelaki sebelahnya—Aksa—juga meneteskan air matanya tak sadar kalau kepergiaan keduanya cukup sangat menyedihkan.

Melihat Eunice menangis saja hati Ragaska seperti tidak tega. Ingin, ingin sekali ia menghampiri gadis itu lalu memberikannya pelukan penenang. Tapi dirinya ini seakan tidak mau diajak berkerja sama, langkahnya kemari sudah cukup berat, apalagi haru menghampiri gadis itu. Ia tidak bisa.

Diam-diam satu buliran air mata sudah menetes membasahi pipi Ragaska, namun ia tetap menutupinya dengan senyuman manisnya. Sesak rasanya harus berdiri berdiam diri seperti orang bodoh menontoni gadis itu tengah menangis.

Suara pengeras suara kembali mengeluarkan pengumumannya, menyuruh semua orang untuk segera memasuki pesawat. Eunice mempejamkan matanya sejenak lalu mengangguk. Ia rasa sudah waktunya untuk pergi.

Gadis itu tidak terlalu berharap bahwa teman perempuannya itu akan datang, kehadiran Ragaska di sini dan temannya yang saja sudah cukup. Gadis itu mengucapkan pamitan kepada Ragaska tanpa suara, kemudian lelaki itu mengangguk mengizinkannya untuk pergi.

Netra gadis itu menatap kedua teman lelakinya secara bergantian, meminta izin untuk berpamitan lewat kontak mata. Keduanya mengangguk kemudian memeluk tubuh kecil Eunice bersamaan.

“Hati-hati. Main lagi ke sini, gue tunggu,” ujar Aksa mengacak rambut Eunice pelan.

Gadis itu mengangguk lemah kemudian memukul dada Glen pelan. “Pergi dulu,” ucapnya dengan suara seraknya.

Pemuda tinggi itu mengangguk tanpa menjawab, Eunice melambaikan tangan kepada lelaki yang berada jauh di belakang seraya berjalan menarik koper besarnya.

Ragaska masih dengan senyuman lebarnya menatap kepergiaan sang pasang mantan wakilnya dari jauh. Perlahan-lahan bayangan gadis itu hilang bersamaan dengan senyumannya itu. Hatinya terasa sangat kosong ketika gadis itu pergi.

“Cece mana, Ska?! Cece mana anjing!” kata Gizelle menarik kerah baju Ragaska brutal dengan nafas tidak beraturnya, bersamaan dengan Shakila yang berdiri di sebelah gadis itu.

Ragaska tidak menjawabnya melainkan melepaskan tangan Gizelle dari kerah bajunya, berbalik badan pergi meninggalkan teman-temannya. Pemuda itu berlari cepat ke arah jalan keluar dengan semua rasa campur aduk yang ia bawa.

Merasa perginya Ragaska jawaban bahwa temannya itu sudah berangkat. Gizelle mempejamkan matanya pedih bersamaan dengan tetesan air mata, ia menggeram kesal seraya mengacak rambutnya asal.

Shakila yang masih mencerna semuanya duduk di kursi tunggu dengan tatapan kosong. Kedua lelaki itu menghampiri keduanya, menyampaikan kepadanya bahawasanya satu-satu temannya itu sudah berangkat pergi.

Gua nggak bisa kasih pelukan selamat tinggal, Ce. Nggak apa-apa, kan? Kaki gua terlalu berat buat jalan ke arah cewek cantik soalnya. Gua berharap setelah ini kita masih bisa bertemu, agar ada pelukan jumpa, bukan pelukan selamat tinggal. Jaga diri baik-baik, ya? Sampai bertemu lagi di titik terbaik menurut takdir.