It’s Not The Same Anymore
Apartemen yang ruangannya cukup luas sekarang sudah di isi ramai teman-temannya berdatangan. Walaupun hanya bisa terhitung jari, namun suasana hati Eunice senang, bahwasanya masih ada orang yang mau mendengarkannya di sini.
Eunice berkacak pinggang memandangi wajah temannya satu persatu dengan tatapan memincing yang sedang duduk di sofa. Bahkan ada yang duduk di bawah (lesehan) sambi memakan pizza yang di pesan oleh Eunice dan Ragaska sebelum ke sini.
“Kenape lu? Mau ngomong apa buru!” ujar Winda dengan nada khas betawinya.
Eunice mengembuskan nafasnya sejenak, kemudian mengambil surat kertas yang terletak di meja dekat TV. Kini ia meletakkannya di depan meja yang terdapat teman-temannya duduk melingkar.
Aksa yang duduk di bawah meraih cepat surat tersebut dan membacanya dengan mata yang terbelalak, seraya dengan mulut yang mengangga, namun Icaal yang duduk di sebelahnya memasuki mulut Aksa dengan potongan pizza kecil.
Semuanya jadi mendekat ke arah Aksa untuk ikut membaca dengan seksama. Setelah selesai mereka semua memasang mata kepada gadis itu, memintanya untuk menjelaskan surat yang tertulis di sini.
“Apa maksudnya nih surat?” cerca Glen menangkat tinggi kertas yang sebelumnya ia rampas dari Aksa.
“Santai aja nada lo.” Ragaska melemparkan kulit kacang ke arah Glen, untung saja kena.
Eunice berdehem cukup lama sebelum menjelaskan, yang membuat Agam berdecak sebal. “Cepet, Cee…” pintanya agar gadis itu cepat menjelaskan.
“Ya… Itu… Emangnya apa? Surat? Pen-pengunduran diri? Hehehe.” Eunice memalsukan tawanya seraya menatap dinding-dinding langit, karena ia terlalu takut menatap pasang mata teman-temannya.
Hembusan nafas kasar terdengar cukup gemuruh. Semuanya berdiam diri berpikir panjang tentang ini, sama dengannya Eunice. Ia berdiri di sini dengan rasa gugupnya.
“Pengantinya? Udah dicari? Kenapa tiba-tiba banget, Ce?” ujar Juna menatap Eunice tidak percaya.
“Gak usah. Gue bisa handle himpunan sendiri,” sahut Ragaska bangkit dari duduknya untuk mendudukkan Eunice di sofa, kemudian ia duduk di sebelahnya.
Glen menatap Ragaska memincing. “Seberapa yakin elo? Nanti himpunan berhenti di tengah jalan siapa yang mau tanggung? Lo? Lo bisa diandelin emang?” ucap Glen menggebu-gebu.
Ragaska sudah mengepalkan tangannya dan beranjak berdiri, namun Eunice bergerak cepat menarik tangan lelaki itu agar tetap duduk kembali, meredakan amarahnya dengan mengusapkan tangannya. Memang akhir-akhir ini Ragaska agak sensitif, apalagi perihal membahas himpunana. Walaupun ia tahu itu sudah jadi pekerjaannya yang ia kerjakan.
“Resikonya gede banget, bro. Sekarang aja kita baru setengah jalan, kan? Kita gak tau kedepannya gimana? Dulu lo naik jadi kahim juga karena bantuan wakahim, gak mungkin lo bisa urus ginian sendirian,” ucap si baju biru, Kevin. “Banyak pertimbangan-pertimbangan yang cukup beresiko, Ska. Nggak selamanya jalan berjalan mulus, ada aja bolongnya kayak kepala Si Aksa!”
“Anjing? Maksud lo?” umpat Aksa kesal memukuli lutut Kevin yang bolong (celananya).
Semuanya tertawa menanggapi candaan Aksa perihal kepala bolongnya Si Aksa. Maksud kepala bolong di sini adalah kepala pitak bolong di tengah-tengah kepala Aksa, kelemahaan itu terus mnjadi bahan ejekan dan olokan. Tetapi Aksa hanya menanggapinya dengan sama bercandanya, ia mengerti jokes anak di sini memang sangat aneh.
“Bisa dipercaya gak, kalo lo bisa jadi ketua sendirian?” tanya Jousha memastikan temannya itu.
“Amaann. Percaya sama gue.”
Seketika suasana menjadi hening kembali, hanya ada suara lagu yang terus perputar dari radio pengeras suara. Eunice menatap satu persatu wajah teman-temannya yang sudah kalut, tidak tahu mau diapakan lagi himpunan tanpa dirinya.
Rasa bersalah terus menghantui dirinya, rasa tidak tega harus meninggalkan teman-teman seperjuangannya, rasa takut melangkah kedepan tanpa teman-temannya. Banyak sekali rasa-rasa yang tidak mengenakan hati Eunice rasakan sekarang. Apalagi teman perempuannya sedang tidak ada di sini, rasa sesaknya berkali-kali lipat lebih besar, bahwa mereka tidak sama sekali tahu tentang dirinya sekarang.
Mungkin dahulu mereka selalu menyediakan telinga untuk mendengarnya, pundak untuknya bersandar sambil bercerita, bahkan candaan lelucon untuk menghiburnya. Tapi kini, semuanya sudah berubah.
“Ce, yakin? Mau… Ninggalin kita… semua?” ujar Travis dengan pasang wajah ekspresif bersedih.
Sontak Eunice menatap Travis dengan buliran air mata yang sudah mengalir deras di sana. Menyadari akan hal itu cepat-cepat ia menghapus air mata tersebut dan menetralkan tenggorokannya dengan berdeham.
“Gue yakin,” jawabnya penuh dengan percaya diri, semuanya langsung menatapnya dengan tatapan sedu. “Karna mungkin tugas gue di sini cuman bantu kalian di setengah jalan. Tapi apa yang buat gue yakin ninggalin kalian sekarang adalah, karna kalian udah punya pikiran yang dewasa dan mau sama-sama mikirin tentang ini. Lagipula Ragas kinerjanya cukup bagus kok buat kerja sendirian, bahkan waktu itu dia bisa aja naik sendirian di himpunan tanpa gue…” sambungnya.
“Gue kalo bukan karena ada lo juga nggak bakal bisa berdiri sejauh ini sama yang lain, Ce,” ucap Ragaska dalam mengambil tangan Eunice dan meletakkannya di atas telapak tangannya, kemudian mengenggamnya erat.
“Kapan lo berangkat ke Surabaya-nya?” tanya Rewaksa yang duduk disudut ruangan.
Eunice terkekeh sambil mengambil tisu yang berada di depannya yang awalnya telah dioper oleh Aksa. “Besok sore.”
“H-hahh? B-besok banget?” sentak Icaal terkejut.
Eunice membalasnya dengan anggukan kemudian tersenyum sembari menghapus air matanya menggunakan tisu.
“Ini yang lain belum tahu? Baru kita-kita aja?” Glen bertanya.
Ragaska mengangguk. “Iya, tuh…”
“Jangan kasih tahu dulu, deh. Khususnya Giz sama Shakila, jangan! Nanti aja pas gue udah berangkat baru kalian kasih tahu.”
“Lo gak mau kasih tahu sendiri?“
“Gak,” balasnya ketus.
“Okey…”
Travis menghela nafasnya seraya bangkit dari tempat duduknya, kemudian memasang wajah ceriah untuk menghibur teman-temannya. “Foto deh ayo! Udah lama kita nggak foto bareng,” usul lelaki itu di hadapan teman-temannya.
Semuanya mengangguk setuju kemudian memasang wajah ceriah tersenyum, walaupun terpaksa untuk menghasilkan foto yang bagus untuk terakhir kalinya bersama Eunice.