Happy Birthday
Tak berangsur lama setelah Rizky Febian tampil acara Arcade Musik Festival resmi selesai. Semua koordinator acara diminta untuk berkumpul ke dalam belakang panggung untuk melakukan pengarahan.
Eunice dan Ragaska berjalan bersama memasuki belakang panggung. Semua wajah anggotanya terlihat sangat senang, namun juga terlihat sangat lelah dengan mata sayu dan keringat yang bercucuran.
Selagi menunggu beberapa koordinator yang belum sampai, Ragaska menghampir Gibran dengan senyuman lebar melakukan first bump kemudian berpelukan layaknya sesama lelaki. “Keren! Keren, Pak Gibran!” serunya menepuk punggung koordinator acara itu.
Gibran membalas senyuman sama lebarnya dan menepuk pundak Ragaska. “Lo juga, thanks, ya, Ska! Kalo bukan karna bantuan lo sama anak-anak juga nggak bakal seberhasil ini acaranya,” katanya terharu.
Ragaska memasang ekspresi sedih samanya dengan Gibran kemudian terkekeh meledek. “Udah selesai, Gib! Tinggal lo healing aja ke Bali sana!” canda Ragaska.
“Skripsi anjing! Healing! Healing!“ umpat Gibran memukul lengan Ragaska kasar sampai membuatnya meringis. Keduanya tertawa bahagia meninggalkan Eunice yang sedang duduk di samping Mahes yang enggan untuk berbicara dengannya.
Dengan segala keberanian yang terkumpul di dirinya, Eunice mendekatkan diri dengan Mahes. “Yang lain pada kemana?” tanyanya berbisik.
Mahes yang merasa terganggu sedikit menjauhkan diri dengan Eunice seraya mengangkat kedua bahunya tanpa berkata apapun. Eunice mengembuskan nafasnya pasrah kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku jaket, kemudian betapa matanya terbelalak ketika melihat notifikasi dari pengingat yang tertulis ‘Happy birthday, Eunice! Let’s make some goals in this years!’
Satu yang terlintas di dalam otaknya sekarang adalah, ia melupakan hari ulang tahunnya karena terlalu sibuk dengan kerjaan. Matanya memanas bak sudah memerah karena ia sekuat mungkin menahannya agar tidak terlihat oleh teman-temannya. Eunice mengambil nafasnya pelan seraya menetralkan perih di dalam hatinya.
Suara orang yang sedang berkumpul tawa canda yang menggelegar mereka terdengar sampai ke dalam tenda. Eunice dapat mengetahui siapa pemilik suara tawa itu yang sedang merayakan hari ulang tahun—yang ia sendiri tidak menyangka—Helenna—hari ini sedang berulang tahun juga.
Mereka berdiri di depan tenda yang sedikit terbuka, Eunice dapat melihat mereka sedang bernyanyi lagu selamat ulang tahun untuk Helenna dengan sebuah kue mewah nan indah di tangan Shakila. Mereka bertiga menarik atensi orang-orang yang sedang di dalam tenda keluar, melihat apa yang terjadi di luar sana dan ikut bergabung merayakan ulang tahun Helenna.
“HAPPY BIRTHDAYYY, HELENNA CANTIKK!” serunya yang berada di luar sana.
Diam-diam Eunice menelan ludahnya kasar seraya meneteskan air matanya pedih. Gadis itu meremas kemaja abu-abunya kencang untuk melampiaskan amarahnya. Sesak di dadanya tidak dapat tertahan, bibir Eunice sudah bergetar karena menahan tangis, air mata sudah mengalir deras membasahi pipinya. Ia berusaha menangis tanpa suara namun…
“Ce? Kenapa? Lo sakit?” Ragaska menghampirinya dengan bersimpuh di depan Eunice yang pundaknya sudah bergetar hebat.
Eunice menggeleng lemah seraya menyeka air matanya yang hampir membasah ID CARD pengenal dirinya. Ragaska sekilas melirik di luar tenda yang sedang ribut-ribut, kemudian ia mengangguk.
Seakan paham apa yang Eunice rasakan, Ragaska menarik Eunice ke dalam dekapannya seraya mengelus sorai panjang gadis itu untuk menenangkannya.
Tangisan Eunice tak berlangsung bersuara karena ia masih menahannya. Ia tidak mau orang-orang tahu kalau dirinya menangis, apalagi teman-temannya yang sedang merayakan ulang tahun Helenna di depan sana.
Eunice menenggelamkan wajahnya di dalam curuk leher Ragaska dengan tangan yang meremas kencang baju lelaki itu. Kesal, marah, sedih, lelah, ingin menghilang selamanya, itu yang Eunice rasakan sekarang.
Ragaska masih berusaha menenangkan Eunice dengan membisikkan kata-kata penenang. Tak juga banyak temannya yang bertanya ada apa dengan gadis itu, namun Ragaska menjawabnya dengan gelenggan kepala, seakan mengisyaratkannya untuk diam saja.
“Gapapa, masih ada gue? Kita temen, kan? Gapapa, Ce,” ujar Ragaska seraya menyeka air mata Eunice.
“Mau pulang…” lirih Eunice kemudian dibalas anggukan kepala oleh Ragaska.
Pemuda itu mendorong sedikit tubuh kecil Eunice yang masih bergetar. Perlahan ia menghapus jejak air mata di bawah mata gadis itu kemudian tersenyum, seakan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
“Ambil barang dulu, barang lo di mana? Nanti gue ambilin.” Ragaska bangkit lebih dulu dari sofa.
“Bareng aja,” katanya ikut bangkit dari sofa.
Ragaska mengangguk kemudian mengandeng tangan Eunice, membawanya menghampir Gibran yang sedang mengecek beberapa lembar kerja di sana. “Gue balik duluan deh, Gib. Kasihan udah malem, mau istirahat,” ujar Ragaska menepuk kertas di tangan Gibran untuk mengalihkan fokusnya.
Gibran mengangguk paham kemudian melirik gadis yang berdiri di samping Ragaska dengan mata sembabnya, kemudian tersenyum. “Iya, gapapa pulang aja duluan, kasihan. Tapi sayang banget dong, lo berdua gak ikut makan-makan? Rencana kita habis ini mau makan-makan liwetan.”
“Gapapa, deh, skip dulu. Next time aja, hahaha.”
Gibran mengangguk paham kemudian mengusap lengan Eunice pelan untuk menenangkannya. “Istirahat yang banyak, Ce! Liat tuh pucet banget lo!”
Eunice terkekeh kemudian mengangguk lemah. Ia sudah tidak ada energi untuk mengucapkan kata-kata dari bibirnya.
“Yaudah, balik, yee!” pamit Ragaska sebelum pergi meninggalkan pekarangan belakang panggung, keluar dari arah yang berlawanan dari yang sebelumnya sudah ada Gizelle, Shakila, Helenna, dan beberapa orang di sana senang sorak canda tawa.
Tiba di dalam perjalanan pulang. Tidak ada obrolan diselama perjalanan pulang itu berlangsung, hanya saja tangan kiri Ragaska yang mengusap alis Eunice yang sudah terlelap tidur di sebelahnya, dan tangan kanannya yang memegang stir mobil.
Netra Ragaska mencari-cari toko kue yang masih buka di jam 23.12 WIB, bayangkan seberapa gila dirinya mengintari daerah Jakarta Selatan untuk sekedar mencari toko kue. Untung saja Eunice masih terlelap dengan damai di sampingnya, jadi ia masih bisa mengitari daerah ini untuk mencari kue.
Hampir menyerah namun tak ingin membuat gadis itu menangis pilu. Ragaska mengembuskan nafasnya kasar menginjak pedal rem mobilnya, kemudian turun dari mobil menghampiri nenek-nenek yang masih berjualan kue kering di pinggir jalan.
“Nek, kuenya masih ada?” tanya Ragaska ramah dan dibalas senyuman penuh senang oleh nenek itu, dikarenakan pelanggan yang akhirnya menghampiri dirinya setelah berjualan dari pagi tiada yang membeli dagangannya.
“Masih, masih… Mau beli berapa, Den?” ujarnya mengeluarkan plastik bersiap melayaninya.
“Bolu kukusnya 2 aja, Nek.” Ragaska menunjuk kue bolu yang terlihat sangat mengiurkan hasrat laparnya.
Nenek itu mengangguk kemudian mengambilkan kue kukus untuknya, kemudian memberikannya kepada Ragaska. “Ini, Den. 5 ribu rupiah aja.”
Ragaska sempat terkejut ketika nenek itu mengucapkan bahwa harga dari yang ia beli hanya 5 ribu, yang bisa terbilang cukup sangat murah. Karena Ragaska mempunyai rasa simpati kemanusiaan yang tinggi, ia mengelurkan beberapa lembaran uang merah kemudian mengasihkannya kepada nenek itu dengan gulungan tangan.
Nenek itu sempat terkejut ketika ia membuka kepalan tangannya, menatap pemuda di hadapannya tidak percaya. “Kebanyakan atuh, Den! 5 ribu aja, kan, saya bilang!” omelnya seraya mengembalikan duit lembaran itu kepada Ragaska, namun cepat-cepat Ragaska menyembunyikan tanggany di balik punggungnya agar nenek itu tidak bisa meraih tangannya.
“Gapapa, Nek. Buat Nenek aja terima. Asal doain cewek saya, soalnya dia lagi ulang tahun hari ini!” Ragaska tersenyum bangga menyebut Eunice dengan ‘cewek saya’.
“Oalah… Aaminn, semoga ceweknya Den, sehat selalu, bahagia selalu, dimurahkan rezekinya, senyumannya tidak pernah luntur!”
“Aaaminnnn!”
Mereka tertawa bersama sebelum akhirnya Ragaska perpamitan untuk kembali ke dalam mobil, dan nenek tersebut mengiyakannya, mempersilakannya untuk kembali.
Ragaska memasuki mobilnya yang sengaja tidak ia matikan agar Eunice tidak kegerahan dan terbangun. Namun ternyata gadis itu sudah terbangun dengan sedikit kesadarannya yang belum setengahnya kembali.
Ragaska terkekeh pelan kemudian mencari-cari lilin lampu yang dulu ia belikan untuk Shakila karena kelebihan, beli 2 gratis 1 yasudah lelaki itu beli, siapa tahu perlu. Dan ternyata sangat diperlukan di situasi sekarang.
“Cari apa, sih?” tanya Eunice dengan nada sewot soalnya Ragaska mencarinya dengan sangat gegabah.
“Cari barang… Mana, ya, Ce?“ Tangan Ragaska membuka semua dashboard serta mencarinya sampai ke kursi belakang, dan ternyata ia menemukannya di tempat belakang kursinya.
Perlahan ia mengeluarkan bolu kukus yang tadi sudah ia beli, kemudian menusukan lilin angka 2, ya, hanya angka 2 yang ia dapatkan itu. Lalu tangannya mengeluarkan pematik dari saku celananya, menyalakannya di depan wajah Eunice.
Eunice yang masih tidak mengerti dengan apa yang lelaki di hadapannya itu lakukan, hanya berdiam diri bersandaran dengan jok kursi menghadap kepadanya miring, seraya melipatkan tangan di depan dadanya.
Setelah lilin berhasil dinyalakan Ragaska tersenyum lebar yang menampilkan deretan gigi rapihnya, mempersilakan Eunice untuk meniupkan lilin.
“Happy birthday, Cece! Happy birthday, Cece! Happy birthday! Happy birthday! Happy birthday, Cece!” seru Ragaska menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk gadis itu dengan semangat.
Eunice tertawa gelak sampai-sampai ia memegangi bawah perutnya yang sakit karena tawanya yang cukup berlebihan. Ragaska ikut tertawa bahagia bersamanya malam hari itu.
“Ayo, make a wish dulu!” ujar pemuda itu menatap Eunice teduh.
Gadis itu mengangguk semangat kemudian mulai mempejamkan matanya seraya menggenggam kedua tangannya, berdoa meminta di hari ulang tahunnya dalam diam.
Ragaksa tersenyum menatap gadis di hadapannya yang sangat bahagia, padahal ia hanya memberikannya kue kukus kecil seadanya karena sudah tidak ada lagi toko kue yang buka malam hari ini. Tangan lelaki itu bergerak merapikan helaian rambut Eunice yang menganggunya ke belakang.
“Udah!” serunya membukakan matanya berbinar-binar menatap kue kukus yang ada di hadapanya.
“Ayo tiup!”
Eunice mengangguk kemudian meniupkan lilin itu pelan hingga api yang menyala sudah padam sempurna. Keduanya bertepuk tangan meriah diiringi gelak tawa yang cukup receh.
“Makasih, ya?” ucapnya lirih menatao Ragaska lamat-lamat.
Pemuda itu mengangguk dengan tangan yang bergerak mengusap pelan pipi Eunice, kemudian mencubitnya pelan. “Jangan nangis-nangis mulu! Bahagia terus, ketawa terus! Jangan lupa soal makan, lo tuh suka banget lupa makan, Ce!” omelnya seperti bapak yang mengomeli anaknya.
Entah sudah berapa banyak kupu-kupu yang bertebrangan di dalam tubuhnya, Eunice hanya menjawabnya dengan senyuman teduh memegang tangan Ragaska yang masih setia memegang pipinya.
“Selamat ulang tahun sekali lagi.”