Kenangan Manis

Hari demi hari kini sudah berlalu. Acara Arcade Musik Festival sudah dimulai, Ragaska selaku sebagai kepala ketua yang ikut turun tangan, memberikan semangat kepada anak anggotanya yang ia temui di jalan saat memantau keadaan. Entah itu berupa tepukan semangat atau kata-kata yang membangun, bahwa hari ini adalah hari selangkah demi kemenangan mereka.

Area base stage ternyata dijaga cukup ketat oleh keamanan yang dijaga oleh Icaal, Dirma dan anak-anak lainnya yang ikut serta membantu, seperti Glen.

Ragaska di belakang panggung bersama Eunice memantau keadaan, dan kebetulan saja saat itu ada Gizelle yang sedang bersiap untuk naik ke atas panggung. Gadis itu ditemani Sang Papi bersama dengan adiknya, dan juga Shakila dan—Helenna—yang entah dari mana ia bisa berada di sini.

“Ayo, semangat!” ujar pria paruh baya menyemangati anaknya kemudian mereka berpelukan.

Gizelle menjawabnya dengan anggukan kepala percaya diri, kemudian ia beralih memeluk adik lelakinya dan dilanjut oleh Glen, Shakila dan Helenna.

Ragaska mengernyitkan alisnya bingung, kenapa Gizelle nggak ikut memeluk Eunice yang jaraknya tidak terlalu jauh darinya?Bahkan ia bisa melihat keberadaan gadis itu di sini. Berdiri di sampingnya.

Eunice tersenyum getir melihat adegan itu di depan matanya, hingga ia tidak menyadari bahwa buliran air mata sudah membasahi pipi merahnya. Sontak mereka sempat pasang mata seperkian detik, Eunice memberinya semangat lewat kontak mata, namun gadis itu langsung bergerak cepat mengalihkan pandangannya yang membuat dada Eunice terasa sangat sesak. *Gue ada salah apa, ya, sama mereka?” Batinnya berucap.

“Aku naik, ya?” katanya menatap orang-orang di lingkarannya kemudian dibalas anggukan seraya mengizinkannya.

Ketika Gizelle hendak menaiki panggung ditemani oleh Glen yang merangkul pundaknya agar tidak terjatuh, seraya memegang senter lampu yang menerangi tangga ke atas panggung yang cukup gelap. Eunice berteriak. “SEMANGATTT, GIZELLE!!” serunya membuat tangan seperti toa agar Gizelle mendengarnya yang membuat pasang mata di ruangan itu melihat ke arah dirinya.

Ragaska terkekeh mendengar pekikan Eunice, lalu ikut memberikan Gizelle semangat dengan mengepalkan tangannya dan tersenyum tulus. Gizelle menoleh lalu hanya membalasnya dengan senyuman paksaan, kemudian kembali menaiki panggung bersama Glen.

Menyadari bahu Eunice yang sudah bergetar lemah, Ragaska merangkulnya dari samping, memberikannya tepukan pelan agar sang gadis tenang.

“Gizelle pasti bisa, kan?” tanyanya berbisik dengan suara yang lirih serak.

Ragaska mengangguk lemah tanpa melihat ke arah gadis itu. “Bisa, kan, dia udah disemangatin sama lo.” Eunice tertawa miris.

“Ayo, nonton Gizelle di lapangan aja,” ajak Ragaska mengandeng tangan Eunice keluar dari belakang panggung.

Suasana di luar lapang ternyata sangat ramai lautan manusia. Tiket yang terjual berhasil terjual habis dalam kurun 3 hari yang membuat seluruh anggota ditemani senyum bangga, walaupun raganya sudah lelah hari ini.

Acara ini bisa dibilang berlangsung berhasil 95%, ia tidak bia bilang 100% berhasil karena kita tidak tahu apa yang terjadi nantinya setelah acara ini selesai.

Tema yang diambil dari acara ini adalah bertujuk ‘Be my lover or you’re ready to be mine’. Ragaska tidak melepaskan genggaman tangan Eunice hingga mereka berhasil memasuki area lapangan untuk menonton Gizelle yang sedari tadi sudah bernyanyi di atas sana.

Ragaska mencari tempat di tengah-tengah lapangan, agar jarak pandang dari panggung dapat terlihat walaupun tidak sejelas di depan sana. Suasana sempat berlangsung ricuh dan dorong-dorongan, Ragaksa yang tidak ingin tubuh kecil Eunice terombang-ambing, segera memasang badan untuknya dari belakang.

Eunice menoleh sekilas ke belakang dan pasang mata mereka bertemu. Ragaska sempat terpaku selama beberapa detik kemudian orang yang mendorongnya di belakang membuatnya sadar, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Eunice terkekeh pelan kemudian kembali menonton temannya itu yang sedang mengebrak panggung habis-habisan.

Selang beberapa waktu berbagai penyanyi musisi Indonesia telah tampil di sana, namun yang ia dan Eunice tunggu belum juga muncul batang hidungnya di atas panggung. Rasa kantuk yang terus menyerangnya membuat dirinya beberapa kali menguapkan nafas kantuknya.

Pemuda itu yang sudah tidak bisa menahan kantuk beratnya, menaruhkan kepalanya di pundak kecil Eunice seraya mempejamkan matanya sejenak. Eunice sempat tersontak kaget, namun ia cepat menyadari akan hal itu membiarkan TEMANnya itu beristirahat di pundaknya.

Nafas panas menyentuh dinding-dinding leher Eunice yang membuatnya sempat bergelitik geli, namun ia menahannya agar Ragaska tidak terganggu olehnya.

“Ini Rizky Febian jam berapa, sih?” tanyanya sendiri seraya melipatkan tangannya di depan dada.

“Habis ini,” jawabnya dengan nada lemah.

Eunice melirik Ragaska dari sudut matanya kemudian menganggukan kepalanya pelan. Tidak ada obrolan dari mereka, Eunice yang terlalu asyik menikmati acaranya dan Ragaska yang sibuk mencari tempat ternyamannya untuk terlelap di pundak Eunice.

“Lo tidur, Gas?” tanya Eunice memastikan temannya itu.

Ragaska menggeleng lemah di pundak Eunice. “Nggak. Mau meremin mata bentar, lo risih gak?”

“Nggak. Tidur aja,” ujarnya menahan senyuman yang sudah ingin terukir.

Acara masih terus berlanjut sampai tengah malam. Orang-orang yang masih setia menonton acara ini hingga selesai ternyata banyak sekali, hingga membuat gadis itu penasaran mencari-cari temannya.

Dengan Eunice yang netranya sibuk mengedarkan pandangan ke banyak arah untuk mencari temannya. Ada Ragaska yang sedang menatap setiap rinci inci wajah cantik Eunice dari bawahnya. Sempat ia tertegun menatap gadis itu hingga tak sadar bahwa dirinya menggungam, “Cantik.”

“Hahhh? Lo ngomong apa, Gas?” tanya Eunice sedikit berteriak karena suara musik yang cukup keras hingga membuat pendengarannya tidak terlalu jelas.

“H-hah? N-nggak. Gue gak ngomong apa-apa,” katanya kembali mempejamkan matanya.

Eunice mengangguk seraya lagi-lagi menahan senyumnnya. Sebenarnya ia mendengar apa yang Ragaska tadi ucapkan, hanya saja ia ingin memastikkannya kembali. Dia saja mengucapkan kata itu tepat di samping telingganya, agak tidak masuk akal jika tidak terdengar oleh sang puan.

“Gas, kalo lo nge-handle sendiri himpunan bisa gak?” ucap gadis itu tiba-tiba yang membuat kesadaran Ragaska kembali dan membenarkan posisinya bangkit dari pundak Eunice.

“Tergantung situasi, emangnya kenapa?” tanyanya balik seraya menaikkan satu alisnya bingung.

“Gue mau pamit.”

“Pamit gimana?”

“Ya, pamit? Pamit undurin diri?”

Deg!

Hati Ragaska terasa sangat kosong saat Eunice mengucapkan kata ‘pamit’. Namun ia berusaha untuk menetralkan tenggorokannya agar suaranya tidak bergetar.

“Kenapa? Apa alasannya?” ucap Ragaska seakan minta Eunice menjabarkan semua alasannya yang ingin mengundurkan diri.

“Ada yang perlu gue perbaiki,” jawabnya santai. Berbeda dengan Ragaska yang bola matanya sudah bergetar panik.

“Lo mau kemana, Ce?”

“Ke Surabaya.”

Hening seketika atmosfer terasa begitu canggung. Kedua pemuda itu sibuk tenggelam dengan pikirannya masing-masing, hingga tak menyadari suasana di lapangan kembali ricuh berlarian ke arah depan lapangan, karena penyanyi yang suda ditunggu-tunggu akhirnya naik ke atas panggung.

Ragaska memeluk Eunice menggunakan tangan kanan, membawanya agar aman disisinya. Eunice mengembuskan nafas kasar mendelik sinis ke arah orang-orang yang mendorongnya kasar.

“Nanti lagi kita omongin,” ucap Ragaska dingin.

Eunice menjadi merasa bersalah akan dirinya yang seenak jidat meminta untuk mengundurkan diri, setelah ia dan teman seperjuangannya itu merancang semua organisasinya agar berjalan dengan baik dari awal hingga akhir.

Masih dengan memeluk Eunice dengan tangan kanannya, kini tangan kirinya Ragaska ikut bergerak memeluk pundak Eunice. Gadis itu menahan nafas ketika tangan besar Ragaska melingkar di depan wajahnya, berusaha untuk tidak menahan kesalah tingkahannya dengan mengikuti lirik yang Rizky Febian itu lantunkan.

“Kau s’lalu ada, buatku tertawa dan lupakan lara.” Gadis itu mengikuti lirik yang ia nyanyikan dengan penuh menghayatan agar sampai kepada sang empunya yang berada di belakang.

Ragaska tersenyum kemudian menaruh dagunya di atas pucuk kepala Eunice, seraya bersandaran di sana.

“Tak tahu bagaimana aku tanpa dirimu, tak pernah terbayangkann!” seru Ragaska bernyanyi penuh penekanan yang membuat Eunice tertawa, dan ia mengerti akan maksud itu.

Tak tahu bagaimana Aku tanpa dirimu Tak pernah terbayangkan Sepi merindu Kumohon padamu Tetaplah kau di sampingku

Keduanya bernyanyi bersama dan berpelukan ke kanan dan kiri, tertawa bahagia seakan-akan dunia hanyalah milik berdua. Tetapi mereka lupa, bahwa hal yang seperti sekarang tidak akan pernah terulang kembali nanti.

“Ce, jangan pernah lupain gue, ya?”

Gadis itu pun menjawabnya dengan anggukan bersemangat tanpa mengucapkan balasan darinya.